Banyak penyakit baru pada manusia disebabkan perubahan ekosistem dan penularan patogen satwa liar. Ini hendaknya masuk dalam kurikulum pengajaran, terutama di universitas.
Oleh
SILVERIUS OSCAR UNGGUL
·3 menit baca
Mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa memisahkan kedokteran umum, kedokteran hewan, kesehatan masyarakat, dan pusat studi lingkungan merupakan sebuah langkah yang dirasa kurang tepat saat ini. Pandemi Covid-19 memberikan kesadaran mendalam bahwa ternyata kesehatan manusia, biodiversitas atau keanekaragaman hayati (hewan, baik liar maupun domestik, dan tanaman) serta kesehatan lingkungan ternyata tidak bisa dipisahkan. Walaupun bukan isu yang baru, pemikiran tentang one health (satu kesehatan) sekarang jauh lebih mengemuka daripada sebelumnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan one health sebagai sebuah pendekatan yang terpadu dengan menggabungkan semua pendekatan untuk mencapai keseimbangan berkelanjutan (sustainably balance) dan optimalisasi kesehatan manusia, biodiversitas (hewan dan tanaman), serta ekosistem.
Mengingat urgensi dari isu ini, empat organisasi dunia—WHO, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH), dan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP)— sepakat dan telah selesai menyusun sebuah panduan untuk mengimplementasikan one health pada level negara.
Zoonosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh agen patogen seperti bakteri, virus, parasit, dan ditularkan secara alami dari hewan ke manusia (zooanthroponosis) atau sebaliknya dari manusia ke hewan (anthroponosis atau reverse zoonosis). Apa yang membuat penyakit zoonosis sangat penting diperhatikan dalam kesehatan manusia adalah karena lebih dari 60 persen penyakit manusia dianggap zoonosis.
Dalam beberapa tahun terakhir, penyakit zoonosis berdampak terhadap kesehatan global dengan sekitar 1 miliar kasus penyakit dan jutaan kematian setiap tahun. Selain itu, zoonosis berdampak signifikan terhadap mata pencarian manusia dan perekonomian global, seperti pandemi Covid-19.
Semua spesies hewan mempunyai patogen spesifik masing-masing dan biasanya hewan akan kebal terhadap patogen yang menginfeksi mereka secara endemik. Patogen ini hidup dalam keseimbangan dalam ekosistemnya sendiri. Ketika ekosistem dirusak, diubah, atau ketika hewan dipindahkan keluar dari ekosistemnya, patogen ini dapat ditularkan ke hewan lain atau, ke manusia, melalui apa yang disebut dengan ”tumpahan patogen”.
Apa yang membuat penyakit zoonosis sangat penting diperhatikan dalam kesehatan manusia adalah karena lebih dari 60 persen penyakit manusia dianggap zoonosis.
Konversi lahan, penggundulan hutan, pembangunan infrastruktur, perluasan wilayah perkotaan atau pertanian merupakan beberapa faktor yang mendekatkan manusia pada titik kontak penularan patogen hewan ke manusia, khususnya penularan penyakit satwa liar. Patogen yang ”menular” dari hewan ke manusia ini dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan menjadi penyakit menular baru (emerging infectious diseases/EID). EID adalah penyakit baru yang diakibatkan oleh peristiwa limpahan (spillover events), dengan patogen tertentu dari inang alami, melalui berbagai tahap penularan, berkembang menjadi penyakit manusia.
Lebih dari 60 persen EID dianggap zoonosis dan lebih dari 70 persen berasal dari satwa liar. Beberapa contoh penyakit manusia yang berasal dari hewan adalah human immunodeficiency (HIV) tipe I, ebola dan nipah (yang berasal dari kelelawar) atau west Nile, dan yang terbaru adalah penyakit SARS, avian influenza, dan Covid-19. Beberapa di antaranya, seperti HIV atau Covid-19, mempunyai proporsi pandemi.
Kesiapan Indonesia
Jika begitu banyak penyakit baru yang muncul pada manusia disebabkan oleh perubahan ekosistem dan penularan patogen satwa liar ke manusia, cara terbaik dan paling efisien untuk mencegah pandemi di masa depan adalah dengan memastikan bahwa hewan tetap berada dalam ekosistem yang sehat dan mengurangi peluang munculnya penyakit dan pandemi terjadi.
Ekosistem alami, baik hutan maupun laut, harus dijaga dengan sungguh-sungguh. Pembangunan yang dilakukan harus memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan. Pembukaan lahan besar-besaran harus dihentikan dan secara bersamaan proses restorasi dan pemulihan kawasan harus dilakukan. Kekayaan biodiversitas harus dilindungi dengan melindungi habitatnya.
Perdagangan dan pencurian satwa liar secara ilegal juga harus segera dihentikan, perlu penegakan hukum yang setegak-tegaknya agar hal ini tidak terjadi lagi. Membawa hewan liar ke lingkungan manusia tanpa terkontrol akan memberikan peluang yang besar untuk terjadinya zoonosis.
Sumber daya manusia juga harus disiapkan. Sudah saatnya kurikulum pengajaran (khususnya di universitas) mulai menerapkan prinsip-prinsip one health, seorang mahasiswa kedokteran umum harus diberikan pendidikan terkait biodiversitas ataupun pendidikan lingkungan, begitu pula sebaliknya untuk mahasiswa kedokteran hewan, kesehatan masyarakat, ataupun pusat studi lingkungan.
Khusus untuk mahasiswa kedokteran hewan, sudah saatnya tidak hanya fokus pada hewan domestik (kucing, anjing peliharaan), tetapi harus mulai diberikan kurikulum tentang satwa liar dan habitat alaminya.
”Time to action”
Sudah saatnya Indonesia memulai penerapan one health di tingkat nasional. Panduan yang sudah disusun oleh WHO, FAO, UNEP, dan WOAH dapat dijadikan acuan untuk memulai. Tentu saja dalam perjalanannya pasti akan ada perbaikan-perbaikan yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi Indonesia, tetapi yang lebih penting adalah memulai agar bencana kemanusiaan, seperti Covid-19 yang lalu, dapat kita cegah sedini mungkin.
Silverius Oscar Unggul, Mahasiswa Doktoral Pusat Studi Lingkungan IPB University, Ketua Yayasan YIARI, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan