logo Kompas.id
OpiniAmanat Ratu Adil
Iklan

Amanat Ratu Adil

Bagi rakyat, sejauh penderitaan dan kemiskinan masih mendera, Ratu Adil takkan pernah hilang dari hadapan mata.

Oleh
SINDHUNATA
· 6 menit baca
Ilustrasi
KOMPAS/HERYUNANTO

Ilustrasi

Studi sejarah yang panjang tentang visi dan gerakan Ratu Adil ternyata mengantarkan saya bukan pada penemuan sosok Ratu Adil, melainkan pada ditemukannya penderitaan dan kemiskinan yang ditindaskan kepada rakyat berabad-abad.

Kalau toh Ratu Adil seakan-akan ada, sebabnya adalah penderitaan dan kemiskinan rakyat itu memang senyata-nyatanya ada. Jadi, bagi rakyat, sejauh penderitaan dan kemiskinan masih mendera, Ratu Adil takkan pernah hilang dari hadapan mata.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Memakai metafora Bung Karno: penderitaan yang menantikan pembebasan dari Ratu Adil bagaikan kegelapan yang menantikan terbitnya matahari. Sebagai sosok, Ratu Adil memang tak pernah datang menolong. Akan tetapi, jeritan penderitaan rakyat itu tak harus menjadi sia-sia. Artinya, penderitaan itu suatu saat akan lenyap. Persis seperti tak selamanya hari akan gelap.

Dengan kata lain, penderitaan itu sesungguhnya mengandung harapan. Betapa pun gelapnya penderitaan, harapan itu tak pernah terlelap. Harapan itu terus menggeliat, bahkan memberontak, seperti malam yang tak sabar menunggu datangnya pagi agar segera alam terang dengan sinar matahari. Di sini letaknya relevansi, mengapa sejarah Ratu Adil layak dan perlu dipelajari.

Jadi, bagi rakyat, sejauh penderitaan dan kemiskinan masih mendera, Ratu Adil takkan pernah hilang dari hadapan mata.

Utang pada penderitaan rakyat

Jika tak malas menggali harapan yang tersembunyi dalam penderitaan rakyat, kita akan menemukan banyak manfaat, juga visi-visi kritis dan alternatif bagi politik di masa kini.

Visi kritis itu, misalnya, mengajak agar politik kita tidak hanya memandang ke depan, tetapi juga berani menengok ke belakang. Namun, yang ditengok di belakang bukanlah nilai-nilai nostalgia yang luhur mulia, tetapi penderitaan rakyat yang sengsara dan nista.

Jika dipeluk dan dimengerti, penderitaan itu akan menjeritkan harapan yang menegur kita. Tegurannya keras, yakni jangan kita asal maju. Kemajuan kita hanyalah palsu jika tak bisa memenuhi kebahagiaan dan kesejahteraan yang hilang di masa lalu karena penderitaan rakyat yang harus menanggung penindasan, pembungkaman, dan peniadaan kebebasan.

Visi harapan Ratu Adil itu mengingatkan, bahkan kemakmuran dan keamanan sekarang ini masih ”berutang” pada penderitaan rakyat di masa silam.

Penderitaan rakyat di masa silam telah benar-benar menghadiahkan harapan bagi generasi rakyat di masa sekarang. Maka, ”utang” kita terhadap penderitaan rakyat di masa silam sesungguhnya telah menjadi makin dalam apabila di masa sekarang masih banyak rakyat yang ternista, menderita, dan berkekurangan.

Kiranya kita tidak boleh abai pada ”utang” terhadap penderitaan itu. Sebab, sampai sekarang masih ada 25 juta rakyat yang hidup dalam kemiskinan.

Hunian semipermanen berdiri di tepian Kali Ciliwung yang melintasi kawasan Kebon Manggis, Matraman, Jakarta, Senin (10/7/2023).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Hunian semipermanen berdiri di tepian Kali Ciliwung yang melintasi kawasan Kebon Manggis, Matraman, Jakarta, Senin (10/7/2023).

Belum lagi terhitung, mayoritas rakyat yang kelihatannya ”cukup”, tetapi terjauhkan dari hak untuk menentukan hidup menurut kemerdekaan dan cita-cita kebahagiaan dan kebebasannya.

Politik kita optimistis dengan glamor cita-cita ke depan yang kenyataannya belum terbukti, sementara leleh-luweh, abai terhadap ”utang kemanusiaan” yang nyata-nyata masih harus dilunasi.

Elite masyarakat, lebih-lebih para intelektual sebagai fokus nurani bangsa, kiranya perlu mewaspadai terus perilaku politik yang cenderung lupa akan penderitaan di masa lalu. Berkaitan dengan itu, kita boleh berpaling pada visi tradisi Ratu Adil. Visi itu jelas mengajak kita merefleksikan sejarah dengan titik pandang penderitaan seperti dikerjakan misalnya oleh filsuf Walter Benjamin.

Untuk itu, kita perlu menjadi ”malaikat sejarah” yang menatapkan muka ke masa lalu. Di hadapan kita menghampar tumpukan puing-puing malapetaka dan penderitaan.

Kita tak boleh lelah untuk menyusun kembali apa yang luluh lantak itu walaupun angin kemajuan menderu dengan keras memaksa kita untuk maju ke depan tanpa peduli dengan penderitaan di masa lalu. Kendati sayap terasa patah menahan deru angin itu, kita akan terus memunggungi masa depan, sejauh puing-puing penderitaan di hadapan kita belum tertebuskan dan terselamatkan.

Gambaran demikian itu kiranya pas untuk menjadi gambaran tugas kita di masa kini. Kita perlu mengingat, demokrasi yang sekarang kita nikmati lahir dari ibu bernama reformasi. Dan ibu itu adalah ibu yang menderita demi melahirkan anak-anak demokrasi yang bebas dan bahagia.

Kita perlu mengingat, demokrasi yang sekarang kita nikmati lahir dari ibu bernama reformasi.

Penderitaan itu disertai pertumpahan darah dan lenyapnya nyawa lumayan banyak anak-anak bangsa karena kekejaman rezim penguasa yang tak ingin demokrasi lahir.

Iklan

Kita sungguh berutang pada ibu penderitaan itu. Caranya, tak lain tak bukan, menuntaskan apa yang ingin dilahirkan oleh penderitaan itu, yakni demokrasi yang sejati. Tapi, apa nyatanya?

Demokrasi tidak dibuat tegak, tapi diinjak-injak, dan dijadikan turun derajat untuk melulu menjadi alat. Otoritarianisme tidak lagi hanya pelan-pelan menggeliat, tapi terang-terangan mendongak dengan sombong dan cepat.

Kekuasaan tak punya muka lagi. Malunya hilang. Nafsunya tidak ditutup-tutupi lagi. Katanya, siap mendengarkan kritik, tapi sebenarnya mbudheg, menutup telinga tak mendengarkannya.

Mereka yang pernah hidup sebelum reformasi tiba-tiba merasa roh Orde Baru sudah gentayangan di setiap sudut lembaga-lembaga kekuasaan yang ada.

Zaman kutukan

Demokrasi yang dilahirkan reformasi seharusnya menciptakan apa yang dalam tradisi Ratu Adil disebut sebagai kertayuga, zaman kebahagiaan, di mana rakyat tak hanya sejahtera, tetapi juga bebas dan merdeka.

Ternyata yang terjadi justru demokrasi salah kedaden, demokrasi sukerta, demokrasi kesetanan, demokrasi cacat. Tak heran dalam alam demikian kita pun terjebak masuk ke dalam kalabendu, zaman kutukan, zaman petaka.

Perempuan Rempang memegang spanduk pesan damai seusai pentas seni dan budaya Melayu di Dataran Muhammad Musa di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (9/11/2023).
KOMPAS/PANDU WIYOGA

Perempuan Rempang memegang spanduk pesan damai seusai pentas seni dan budaya Melayu di Dataran Muhammad Musa di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (9/11/2023).

Karena petaka dan bebendu itu, banyak orang kehilangan pegangan, tak tahu lagi mana yang baik dan mana yang jahat, orang-orang baik pun tiba-tiba malik tingal, berubah jadi jahat, di mana-mana orang saling curiga, kebohongan jadi kebenaran, kuasa uang merajalela, membujuk yang jujur jadi culas.

Adakah ini serapah yang harus ditanggung oleh anak yang mengkhianati penderitaan ibunya? Adakah ini adalah kutukan terhadap anak demokrasi yang mengkhianati cita-cita reformasi?

Rupanya sebagai bangsa, kita gampang lupa akan pengorbanan di masa silam. Karena itu, seperti dikutip surat pembaca harian Kompas (5/1/2024), pantas jika Bapak TNI Jenderal Sudirman berpesan, ”Bahwa kemerdekaan suatu negara, yang didirikan di atas timbunan runtuhan ribuan jiwa-harta-benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia pun juga.”

Pesan Jenderal Besar itu kiranya boleh menjadi pegangan bagi kita bersama agar kita jangan sampai lupa bahwa demokrasi yang sekarang kita miliki ini sungguh didirikan di timbunan puing-puing jiwa-harta-benda yang menjadi korban dalam tragedi reformasi.

Dengan pesan di atas, kiranya kita perlu yakin, manusia siapa pun, juga kekuasaan apa pun, tak akan pernah bisa melenyapkan kemerdekaan dan demokrasi yang dicita-citakan reformasi. Sehubungan dengan ini, kita perlu menyampaikan hikmah dan amanat ramalan Jajabaya yang ada dalam tradisi Ratu Adil kepada mereka yang haus kekuasaan.

Pesan Jenderal Besar itu kiranya boleh menjadi pegangan bagi kita bersama agar kita jangan sampai lupa bahwa demokrasi yang sekarang kita miliki ini sungguh didirikan di timbunan puing-puing jiwa-harta-benda yang menjadi korban dalam tragedi reformasi.

Amanat itu ialah bahwa kekuasaan tidak pernah terus lestari. Kekuasaan tak mungkin dipertahankan dengan cara apa pun, apalagi dengan akal-akalan. Sebab, tak mungkin kekuasaan mengalahkan kuasa zaman yang pada kodratnya menghendaki pergantian. Kuasa zaman itu tak hanya ditentukan oleh manusia, tapi juga oleh ”siklus yuga”, daya waktu dan alam yang mengharuskan pergantian.

Di sanalah letak pandangan Jawa seturut tradisi ramalan Jayabaya tentang kekuasaan. Kekuasaan dalam konsep Jawa itu lain dengan konsep kekuasaan machiavellis. Kekuasaan machiavellis boleh lupa akan apa pun, atau malah harus melupakan apa pun, asal kekuasaan itu bisa makin kuat dan lestari.

Paham Jawa justru mengingatkan, penyakit kekuasaan itu adalah lupa, karena itu siapa yang berkuasa, dia harus selalu paling eling lan waspada, jangan sampai lupa bahwa kekuasaan itu ada batas dan waktunya. Jika tak eling lan waspada, kekuasaan itu akan membusukkan dan menghancurkan dirinya sendiri.

Eling lan waspada itu sebuah konsep yang ekskhatologis dan apokaliptis. Dengan eling lan waspada, manusia diingatkan bahwa musuh kekuasaan adalah kekuasaan sendiri.

Kekuasaan yang menjunjungnya tinggi-tinggi, tapi kekuasaan pula yang menjungkirkannya ke dalam aib yang terhina dan ternista. Kebijakan Jawa ini kiranya peringatan keras bagi kekuasaan yang bermegah diri dengan kesombongannya yang machiavellis.

Baca juga: Ilusi Kenegarawanan

Baca juga: Merawat Memori Reformasi 1998

Sindhunata, Wartawan

Sindhunata
FERGANATA INDRA RIATMOKO

Sindhunata

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000