logo Kompas.id
OpiniArah Kuasa Elektoral
Iklan

Arah Kuasa Elektoral

Metode oligarkis efektif mengarahkan hasil pemilu dengan bertumpu pada kemampuan meminimalkan risiko persaingan.

Oleh
WAWAN SOBARI
· 4 menit baca
Ilustrasi
HERYUNANTO

Ilustrasi

Spekulasi politik deras bermunculan menjelang Pemilu 2024. Ada narasi yang menyebut hasil pemilu bukan proses politik demokratis semata.

Muncul dugaan upaya elite politik mengarahkan hasil pemilu, tetapi tak mudah bagi publik membaca arah dinamika politik pilpres. Derasnya informasi, data, dan analisis, terutama yang dilontarkan tim pemenangan capres dan parpol, menyulitkan publik.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Sukar bagi publik menakar konsistensi gagasan dan tindakan para elite politik yang sedang berkompetisi.

Tiga penjelasan

Pendekatan pertama menilai hasil pemilu ditentukan oleh politik populisme. Kontestan memengaruhi keputusan pemilih dengan menawarkan gagasan yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil.

Narasi gagasan afirmatif itu tertuang dalam program para kandidat. Marketing program populis sejalan dengan respons publik yang memersepsikan kepuasan terhadap kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Survei nasional Indikator (23 November-1 Desember 2023) dan LSI Lembaga (3-5 Desember 2023) menemukan alasan kepuasan terhadap kinerja presiden tertinggi karena memberi bantuan kepada rakyat kecil (33,6 persen dan 33,4 persen).

Wajah populisme hadir pula dalam strategi politik (Oswald dkk, 2022). Beberapa strategi populis yang biasa diterapkan saat kampanye ialah mengandalkan mobilisasi massa, memanfaatkan kedekatan sosiokultural, dan gaya komunikasi politik merakyat.

Dalam praktik kebanyakan, populisme menjadi strategi kandidat ”penantang” dengan menunjukkan sikap ”antipetahana”, ”antikemapanan”, atau ”antiarus utama”.

Muncul dugaan upaya elite politik mengarahkan hasil pemilu, tetapi tak mudah bagi publik membaca arah dinamika politik pilpres.

Faktor kedua ialah politik kenampakan (tangibility). Pendekatan kedua menjelaskan janji manfaat kebijakan secara langsung mampu memengaruhi pemilih. Tangibility mengacu pada kemampuan kandidat/partai politik untuk menjanjikan keluaran kebijakan yang nyata bagi para pemilih.

Contoh konkretnya seperti janji membangun infrastruktur atau mendistribusikan barang/jasa. Kepuasan terhadap Presiden Jokowi menurut jajak pendapat Indikator (23 November-1 Desember 2023) dan LSI Lembaga (3-5 Desember 2023) didukung aspek tangibility.

Persepsi kepuasan kepemimpinan Presiden Jokowi kedua tertinggi berasal dari capaian pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, bendungan, dan lainnya (Indikator 25,1 persen; LSI Lembaga 24,9 persen).

Ketiga, pengelolaan rivalitas (rivalry). Ketimbang dua penjelasan pertama yang menyerahkan hasil pemilu pada kapasitas individu pemilih, penjelasan ketiga mempertimbangkan kekuatan di luar pemilih.

Mengelola rivalitas merupakan upaya elitis kandidat menjalankan manajemen oposisi dan dukungan.

Para elite politik, terutama dengan bisnis, bekerja sama menentukan arah hasil pemilu. Segelintir elite oligarkis yang memiliki kekuatan besar mampu mengarahkan hasil pemilu sesuai dengan kepentingannya.

Pasangan capres cawapres mengambil nomor urut saat rapat pleno terbuka pengundian dan penetapan nomor urut dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Selasa (14/11/2023).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pasangan capres cawapres mengambil nomor urut saat rapat pleno terbuka pengundian dan penetapan nomor urut dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Selasa (14/11/2023).

Tidak mudah melacak jejak aksi mereka. Namun, temuan Masyarakat Antikorupsi Indonesia tentang dugaan aliran dana Rp 400 miliar dari pertambangan ilegal untuk kampanye pasangan capres-cawapres menjadi indikasi penting (Kompas, 21/12/2023).

Iklan

Metode oligarkis efektif mengarahkan hasil pemilu dengan bertumpu pada kemampuan meminimalkan risiko persaingan. Dengan kata lain, mendapatkan dukungan dan perlindungan dari aktor-aktor formal dan informal partisan hingga ke daerah lebih penting daripada memersuasi pemilih secara kompetitif.

Faktanya, keterlibatan oligarki efektif mendominasi pemilu tingkat lokal (pilkada) (Mietzner, 2010; Sobari, 2023).

Kecerdasan informasi

Memasuki era internet, otomasi, dan artifisialisasi, teknologi politik menjadi kuasa elektoral keempat. Dalam praktiknya, kandidat dan pendukung menggunakan teknologi (TIK) untuk memenangi pemilu. Guna merebut hati pemilih, teknologi politik berperan memahami dinamika perilaku, mendesain strategi, dan taktik.

Teknologi politik diaplikasikan guna meningkatkan popularitas, like-abilitas (tingkat kesukaan dan penerimaan), dan elektabilitas (kelayakan dipilih) kandidat/parpol. Bahkan praktik politik curang memanfaatkan teknologi politik, seperti kampanye hitam, penyebaran berita bohong dan/menyesatkan, dan praktik politik transaksional.

Teknologi politik juga memanfaatkan kekuatan narasi digital dan mampu merajut tiga kuasa sebelumnya secara konektif. Strategi oligarkis tak melulu berupaya mengelola rivalitas antarelite. Sejak sepuluh tahun lalu, kekuatan-kekuatan oligarkis juga menggunakan teknologi politik.

Dengan kata lain, mendapatkan dukungan dan perlindungan dari aktor-aktor formal dan informal partisan hingga ke daerah lebih penting daripada memersuasi pemilih secara kompetitif.

Dengan memanfaatkan media sosial, para elite melakukan manipulasi politik untuk memengaruhi pemilih. Contohnya dipraktikkan saat pilpres Amerika Serikat (2016) dan referendum Britania Raya saat keluar dari Uni Eropa (2016).

Narasi digital dengan sengaja memanipulasi populisme, kenampakan, dan rivalitas persaingan elektoral dengan menyebarkan ”kebencian” dan ”ketakutan”, terutama di kalangan pemilih muda.

Perubahan perilaku memilih yang tak lagi bersandar pada pertimbangan kesamaan aspek sosial dan sikap politik terhadap parpol/kandidat mendorong efektivitas teknologi politik. Pemilih cenderung mengikuti model psikologis. Keputusan memilih kandidat/parpol merupakan dampak dari pemrosesan informasi (Gabriel, 2020).

Sayangnya, pemilih tak selamanya memutuskan memilih kandidat/parpol atas dasar informasi lengkap dan akurat. Pemilih lebih mempertimbangkan informasi dengan tujuan terarah (tendensius). Pemilih memperlakukan informasi apa pun secara afektif, menyederhanakan situasi, dan malas mempertimbangkan alternatif pilihan yang tersedia. Situasi inilah yang sulit dihindari pemilih.

Guna melepaskan diri dari jebakan pemrosesan informasi yang mengonstruksi secara berlebihan politik populisme, tangibility, dan rivalitas, dibutuhkan kecerdasan informasi.

Bendera partai politik peserta Pemilu 2024 dipasang di sepanjang jalan layang di kawasan Karet, Jakarta, Selasa (22/8/2023).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Bendera partai politik peserta Pemilu 2024 dipasang di sepanjang jalan layang di kawasan Karet, Jakarta, Selasa (22/8/2023).

Berbeda dengan literasi informasi yang berpijak pada kemampuan memahami kebutuhan, menemukan, mengevaluasi informasi, dan menggunakannya secara efektif. Pemilih harus lantip saat memproses informasi sebelum menentukan pilihan kandidat/parpol.

Kecerdasan informasi menunjukkan kemampuan bereaksi dengan cepat dan tepat terhadap kabar yang beredar mengenai kandidat/parpol. Tidak hanya mengandalkan logika kritis, pemilih selalu belajar dari informasi baru. Lalu, memanfaatkan berita anyar itu untuk mengantisipasi narasi-narasi jenuh dan tidak prospektif.

Terakhir, kecerdasan bergandengan dengan kearifan memanfaatkan nilai informasi.

Mengingat situasi kesempurnaan informasi tidak mudah dicapai, pemilik hak suara perlu memegang standar etis perolehan informasi. Intinya, pemilih selalu berusaha secara produktif menggali informasi yang relevan dan terseleksi mengenai kandidat/parpol sebagai dasar pilihannya.

Baca juga : Polemik soal Saling Serang Saat Debat Capres Berlanjut

Wawan Sobari,Dosen Bidang Politik Kreatif FISIP Universitas Brawijaya, Malang

Wawan Sobari
DOKUMENTASI WAWAN SOBARI

Wawan Sobari

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000