Sudah Tujuh Belas Tahun
Perjuangkan keadilan boleh jadi masih ilusi, tetapi korban adalah fakta. Transisi politik terjadi, korban tetap korban.
”.... Sepanjang Tuhan masih menganugerahi nyawa dan kesehatan, saya akan terus melakukan sesuatu. Entah berupa apa saja, termasuk Aksi Kamisan untuk melanjutkan perjuangan Wawan dan kawan-kawan yang belum selesai....”
Itulah jawaban Maria Katarina Sumarsih ketika saya tanya, ”Sampai kapan menggelar Aksi Kamisan di Istana?” Jumat, 19 Januari 2024, hujan mengguyur Jakarta. Saya melihat foto Kompas, aktivis dan masyarakat peduli hak asasi manusia berunjuk rasa di seberang Istana Merdeka, 18 Januari 2024, untuk ke-802 kalinya. Aksi itu sudah berlangsung 17 tahun.
Aksi Kamisan dengan ciri kaus dan payung hitam tak bisa dilepaskan dari sosok Maria Katarina Sumarsih. Sumarsih adalah ibu dari Bernardino Norma Imawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta, yang tewas ditembak aparat pada 13 November 1998. Peristiwa itu dikenal sebagai Tragedi Semanggi I. Pada saat itu puluhan ribu mahasiswa menentang Sidang Istimewa MPR 1998. Aksi unjuk rasa itu dihadang aparat keamanan. Lima mahasiswa tewas.
Baca juga: Aksi Kamisan, 17 Tahun Perjuangan Menuntut Keadilan
Perlawanan rakyat atas Orde Baru dari tahun 1997 memuncak pada Mei 1998. Mahasiswa Trisakti tewas ditembak aparat dan terjadi kerusuhan Mei 1998. Kekerasan politik terjadi. Tragedi Semanggi I dan Semanggi II. Orde Baru tumbang dan berakhir dengan mundurnya Soeharto. Keran kebebasan terbuka. Demokrasi tumbuh di Mei 1998. Demokrasi dilahirkan dengan pengorbanan masyarakat.
Perjuangan Sumarsih adalah menuntut keadilan atas penembakan Wawan dan sejumlah korban pelanggaran hak asasi manusia. Memperjuangkan keadilan boleh jadi masih menjadi ilusi di negeri ini, tetapi yang pasti adalah korban adalah fakta. Transisi politik terjadi, tetapi korban tetap korban meski ada juga korban telah jadi elite.
Sumarsih mengakui, 30 November 1998 ada petugas Kementerian Sosial membawa cek uang duka Rp 5 juta. ”Cek itu saya tanda tangani karena ada persetujuan cek akan diserahkan kepada prajurit yang menembak Wawan atau prajurit yang ditahan. Saya tidak tahu cek itu diberikan kepada prajurit atau tidak.” Arief Priyadi, suami Sumarsih, dalam surat pembacanya di Kompas, 13 Desember 1998, menulis, ”Dengan rendah hati kami mohon pertolongan Ibu Mensos agar bantuan itu diberikan kepada penembak anak kami. Apabila tidak ditemukan penembak anak kami, mohon disumbangkan kepada aparat keamanan yang ditugaskan di Jembatan Semanggi Jakarta pada hari penembakan itu terjadi, terutama kepada prajurit yang dikenai sanksi atas ’Tragedi Semanggi Berdarah’. Bantuan berupa cek sudah langsung kami serahkan kembali (saat itu juga 1 Desember 1998) kepada petugas PMI DKI Jakarta yang ditugasi Ibu Mensos.”
Sumarsih usianya sudah 71 tahun. Rambutnya memutih, tetapi elan perjuangannya untuk mendapatkan keadilan luar biasa. Berunjuk rasa menuntut keadilan selama 17 tahun, sebanyak 802 kali, membutuhkan energi besar. ”Saya cinta Wawan dan saya yakin Wawan mencintai saya,” ucapnya.
Sumarsih memilih nama baptis serta penguatan Maria dan Katarina. Katarina dari Siena adalah seorang Santa atau orang suci. Paus Pius II menganonisasi Katarina pada 1461. Santa Katarina kelahiran tahun 1347 adalah orang yang pantang menyerah. Gigih dan jujur. Boleh jadi nama baptis dan penguatan Sumarsih menjadi Maria Katarina menginspirasi daya juang Sumarsih memperjuangkan keadilan bagi Wawan dan sesama manusia. Pada 2004, Sumarsih mendapat penghargaan Yap Thiam Hien ke-14.
Bagi Sumarsih, pengikut Katolik taat, perjuangan akan keadilan dan perjuangan akan hak asasi manusia selalu diucapkan dalam pembaharuan janji baptis. ”Apakah saudara menolak segala tindakan dan kebiasaan tidak adil dan tidak jujur yang melanggar hak-hak asasi manusia?” Dan selalu ditanyakan, ”Saya sanggup.” Boleh jadi spriritualitas itulah yang menjelaskan energi Sumarsih memperjuangkan ketidakadilan.
Baca juga: Empat Pelanggaran HAM Berat, Hanya Satu Bersalah
Tragedi Trisakti dan Semanggi adalah perjuangan rakyat mendapatkan demokrasi. Demokrasi dilahirkan dengan korban jiwa yang begitu banyak. Demokrasi didapat dengan bayaran mahal ketika terjadi kerusuhan sosial di Jakarta. Reformasi 1998 melahirkan demokrasi dan semangat antikorupsi dan nepotisme.
Sindhunata dalam ”Amanah Ratu Adil” di Kompas, 9 Januari 2024, menulis, ”Penderitaan itu disertai pertumpahan darah dan lenyapnya nyawa lumayan banyak anak bangsa karena kekejaman rezim penguasa yang tak ingin demokrasi lahir. Kita sungguh berutang pada ibu penderitaan itu. Caranya, tak lain tak bukan, menuntaskan apa yang ingin dilahirkan oleh penderitaan itu, yakni demokrasi yang sejati. Namun, apa nyatanya? Demokrasi tidak dibuat tegak, tapi diinjak-injak dan dijadikan turun derajat untuk melulu menjadi alat.”
Kamisan dan Sumarsih adalah gerakan perlawanan rakyat menuntut keadilan. Saya bertanya kepada Sumarsih, adakah caleg atau capres yang datang menemui Aksi Kamisan, Sumarsih menjawab, ”Tidak ada.” Meski dipusatkan di depan Istana Negara, Aksi Kamisan terasa seperti isu pinggiran yang tak teperhatikan elite. Padahal, orang-orang yang patut dimintai tanggung jawab berada di dalam kekuasaan.
Aksi Kamisan selaras dengan perjuangan ibu-ibu di Buenos Aries, Argentina, yang dikenal Ibu dari Plaza de Majo. Plaza de Mayo terletak di tengah kota Buenos Aires, Argentina. Plaza de Majo menjadi pusat gerakan monumental para ibu yang bergema di seluruh Amerika Latin dan menyita perhatian internasional sampai akhirnya meruntuhkan kekuasaan militer di Argentina.
Baca juga: Negara Akui Terjadinya Pelanggaran HAM Berat
Keberanian dan kegigihan Sumarsih memperjuangkan keadilan mengingatkan saya pada esai Maria Hartiningsih di Kompas, 13 Mei 1999. Maria menulis, ”Kesadaran perempuan yang kemudian berkembang menjadi kekuatan ini muncul dari ruang-ruang tersembunyi (hidden fears). Ketika muncul bersama menjadi kekuatan besar, para perempuan ”berpolitik” bukan atas dasar kesadaran abstrak, melainkan karena hidden fears tadi, yakni kesadaran atas pengalaman yang dialaminya, yang dampaknya teramat dahsyat.”
Sumarsih begitu lantang menuntut keadilan. Itu memang seharusnya diperjuangkan. Boleh jadi, Sumarsih telah kehilangan rasa takut. Jika mengutip Hebe de Bonafini, aktivis Plaza de Majo, ”Ketakutan adalah penjara tanpa pengadilan.”
Pelanggaran HAM yang terjadi pada Orde Baru dan seterusnya adalah fakta. Presiden Jokowi sendiri mengakui dan menyesalkan terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu. Pengakuan dan penyesalan Presiden Jokowi disampaikan setelah Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat melaporkan rekomendasinya kepada Presiden, 11 Januari 2023. Masalahnya, bagaimana tindak lanjut rekomendasi itu ketika korban merasakan belum ada keadilan, sementara pihak yang seharusnya bertanggung jawab ongkang-ongkang kaki.
Hormat pada hak asasi adalah prasyarat tegaknya demokrasi. Ketika demokrasi mengubur masalah hak asasi, demokrasi sedang menggali kuburnya sendiri.