Sepuluh Tahun Undang-Undang Desa
Satu dasawarsa UU Desa mengajarkan, kebijakan atas desa mesti mencakup dimensi demokrasi, ekonomi lokal, sosial budaya.
Diberlakukan sejak 15 Januari 2014, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menapaki usia satu dasawarsa pada 15 Januari 2024. UU Desa mengandung paradigma baru, yang membalik secara radikal pemikiran lama sejak 1979.
Tandanya adalah pertimbangan konstitusionalnya merujuk pada UUD 1945 Pasal 18b Ayat 2, yaitu mendudukkan desa sebagai wilayah istimewa sesuai dengan adat dan hak tradisinya.
Konsekuensinya, kewenangan desa turut istimewa saat berhadapan dengan negara. Regulasi lama memosisikan desa secara regulatif persis di bawah pemerintah daerah, sementara UU Desa Pasal 5 menegaskan posisi spasialnya saja yang ada di dalam kabupaten/kota.
Sebagaimana diramalkan Thomas S Kuhn, normalisasi paradigma baru ke dalam implementasi segera berhadapan dengan kuasa eksponen paradigma lama. Itulah dinamika diskursus desa, bahkan setelah satu dasawarsa. Maka, refleksi masih layak difokuskan pada upaya lanjutan guna menormalkan wewenang baru desa dan desa adat.
Maka, refleksi masih layak difokuskan pada upaya lanjutan guna menormalkan wewenang baru desa dan desa adat.
Paradigma baru
Mantan tenaga ahli penyusunan UU Desa, R Yando Zakaria, menegaskan lima sisi pandang baru. Pertama, penguatan kewenangan desa berasas rekognisi dan subsidiaritas.
Kewenangan desa bersifat istimewa sesuai dengan UUD 1945 Pasal 18B. Negara wajib mengakuinya, lalu diikat dengan asas rekognisi dalam UU Desa. Negara pun harus memelihara wewenang asli dan tradisi desa berupa asas subsidiaritas.
Dalam bukunya, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) melokalkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) menjadi SDGs Desa.
Yang inovatif, diciptakan Tujuan 18: Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif. Inilah regulasi yang membentengi asimetri pembangunan desa agar senantiasa bertumpu pada 741 budaya dan lembaga lokal.
Kedua, pengakuan keberagaman jenis desa pemegang fungsi pemerintahan tingkat terbawah, yang meliputi (1) local state government, berupa 8.498 kelurahan yang diatur dengan undang-undang lain.
Kemudian, (2) local self government sebagai wujud rekognisi negara atas subsidiaritas hak dan wewenang asli 75.251 desa. Inilah desa yang lazim dikenal, yang sebenarnya diakui konstitusi sebagai wilayah istimewa yang otonom.
Tingkat otonominya ditentukan oleh regulasi rincian wewenang, baik dalam peraturan bupati, Peraturan Menteri Dalam Negeri No 44/2016, maupun sebelumnya Peraturan Menteri Desa No 1/2015.
Selanjutnya, (3) self governing community bagi 14 kampung adat di Jayapura, Papua. Melalui rekognisi kode wilayah desa adat, hak asal-usul dan tradisi desa diakui sepenuhnya. UU Desa hanya menambah amanat agar desa turut menjalankan fungsi pemerintahan.
Sebenarnya, lebih dari 350 desa masuk draf hingga penetapan peraturan daerah kabupaten/kota ataupun provinsi. Artinya, nomor kode desa adat mestinya naik 20 kali lipat.
Siapa pun yang menghampiri desa pasti akan mendapati lompatan pembangunan desa dibandingkan dengan kondisi awal 2014. Desa mandiri bertambah 11.282 desa, menjadi 11.456 desa. Desa maju bertambah 19.427 desa, menjadi 23.035 desa.
BPS bahkan menggolongkan 22.417 desa sebagai wilayah perkotaan lantaran fasilitas warga dinilai lengkap.
Menteri Desa PDTT menautkan kemandirian desa dengan peningkatan kapasitas mengelola otoritas. Maka, dana desa mandiri cair hanya dalam dua tahap. Ketika pendapatan aslinya meningkat, hal itu berpeluang mendapatkan dana insentif. Dana desa juga boleh dimanfaatkan untuk perbaikan kantor desa.
Menteri Desa PDTT bahkan mengupayakan pengalihan sebagian wewenang pemerintah pusat dan pemda menjadi otoritas pemerintah desa, yaitu yang langsung berhubungan dengan warga, seperti penyaluran seluruh jenis bantuan sosial.
Konsolidasi fiskal desa
Ketiga, konsolidasi keuangan dan aset desa, baik konsolidasi anggaran beragam kementerian dan lembaga maupun konsolidasi aset milik desa sendiri. UU Desa mengucurkan Rp 610 triliun dana desa hingga tahun anggaran 2024.
Alokasi dana desa dari pemda kabupaten/kota juga terakumulasi Rp 326 triliun. Bahkan, Peraturan Menteri Keuangan No 130/2023 memuat sanksi pemotongan dan penundaan dana alokasi umum bagi pemda yang mengurangi alokasi dana desa.
Siapa pun yang menghampiri desa pasti akan mendapati lompatan pembangunan desa dibandingkan dengan kondisi awal 2014.
Konsolidasi aset desa menciptakan pendapatan asli desa Rp 33 triliun. Alhasil, total Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa meningkat dari Rp 24 triliun menjadi Rp 126 triliun. Artinya, kapasitas fiskal desa melonjak dengan rata-rata APB Desa berlipat dari Rp 329 juta/desa menjadi Rp 1,67 miliar/desa.
Yang menarik, Staf Ahli Kemendesa PDTT Samsul Widodo mencatat akumulasi dana desa, dana alokasi khusus yang tersalur ke desa, serta alokasi dari kementerian dan lembaga mencapai Rp 422 triliun pada 2022. Jika komponen anggaran ini dikonsolidasikan ulang, kiranya dana desa tersalur bisa mencapai rata-rata Rp 5,6 miliar per desa.
Pembangunan asimetris
Keempat, integrasi perencanaan desa, antara mode pembangunan desa yang bersifat top down dan mode desa membangun bersifat bottom up.
Aspek top down sebetulnya baru muncul mulai 2020. Sebagian dana desa wajib dibelanjakan guna penanganan pandemi Covid-19 dan bantuan langsung tunai (BLT) dana desa, kemudian diikuti penanganan ketahanan pangan level desa.
Hal itu muncul sebagai reaksi bergemingnya kegiatan dalam APB Desa, padahal negara dilanda pandemi, ancaman kenaikan jumlah warga miskin, dan kelangkaan bahan pangan. Karena alasan ini, implementasi perencanaan top down tetap menyejahterakan warga.
Sejak 2018, pemerintah desa bersama pemda memusatkan perencanaan sesuai dengan rekomendasi Indeks Desa Membangun (IDM). Rinciannya berbeda saban desa sehingga mewujudkan pembangunan asimetris. Hasilnya, 14.051 desa tertinggal dan sangat tertinggal terentaskan menjadi desa maju dan mandiri.
Kelima, penguatan demokratisasi desa, dengan meninggikan musyawarah desa menjadi forum keputusan tertinggi. Rata-rata tujuh musyawarah per desa tiap tahun, mengundang beragam profesi dari seluruh wilayah desa, termasuk perempuan, golongan miskin, dan marjinal. Warga pun tetap berhak menyaksikan jalannya acara. Kini, 71.209 desa atau 95 persen mengumumkan hasilnya di papan pengumuman, baliho, dan laman desa.
Satu dasawarsa UU Desa mengajarkan, kebijakan atas desa jangan direduksi sekadar menjadi dimensi pemerintahan, tetapi mesti mencakup dimensi demokrasi, ekonomi lokal, dan sosial budaya pengikat komunalitasnya.
Baca juga: Revisi Luas UU Desa
Ivanovich Agusta, Sosiolog Pedesaan Kementerian Desa PDTT