Timur Tengah Membara
Seluruh dunia mengalami krisis nilai dan tatanan internasional gara-gara Israel, AS, dan Barat menghancurkan marwahnya.
Ilustrasi/Supriyanto
Perang Hamas-Israel telah meluas hingga ke Iran dan berpotensi membakar seluruh Timur Tengah. Bahkan membahayakan perdamaian dunia. Kendati demikian, semua warga dunia tak mampu menghentikannya.
Demi kelangsungan karier politik Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu dan kekuasaan Presiden Amerika Serikat Joe Biden, makna kemanusiaan, keamanan internasional, dan jeritan dunia pun dikesampingkan.
Ironisnya, Konvensi Genosida yang diadopsi PBB pasca-Perang Dunia II sebagai ungkapan simpati atas holocaust yang diderita bangsa Yahudi oleh Nazi Jerman kini justru dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina. Lebih ironis lagi, AS ”memaksa” seluruh dunia menonton pembantaian terhadap Palestina.
Kerentanan kawasan
Di tengah kecemasan internasional tersebut, pada 16 Januari lalu pemerintahan ekstrem kanan Israel pimpinan PM Benjamin Netanyahu menyetujui peningkatan belanja militer secara signifikan hingga 2025.
Ini menunjukkan bahwa Israel siap untuk perang panjang demi membasmi Hamas dan membebaskan tawanan warga Israel di Gaza sebagai tujuan perang merupakan tekad yang serius.
Sementara perang telah menewaskan lebih dari 25.000 warga Palestina, sekitar 60.000 orang terluka, 1,9 juta dari 2,3 juta populasi Gaza kehilangan tempat tinggal, dan nyaris seluruh infrastruktur sipil vital beserta warisan kebudayaan Gaza telah hancur lebur.
Pada hari yang sama, Iran menembakkan beberapa rudal balistik ke kantor badan intelijen Israel, Mossad, di Erbil di wilayah pemerintahan Kurdistan, Irak. Baghdad mengecam tindakan Iran ini dan akan membawa masalah ini ke Dewan Keamanan PBB.
Sebelumnya, akibat perang Hamas-Israel, proksi-proksi Iran di Irak telah terlibat konflik bersenjata dengan militer AS di Irak sebagai protes atas dukungan militer dan politik AS terhadap Israel. Serangan Iran ke kantor Mossad tak lepas dari pembunuhan Razi Mousavi, komandan pasukan elite Quds dari Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC).
Perang Hamas-Israel telah meluas hingga ke Iran dan berpotensi membakar seluruh Timur Tengah.
Pasukan elite Quds bertanggung jawab dalam mengoordinasi dan melaksanakan kebijakan Teheran di kawasan melalui proksi-proksinya di Irak, Suriah, Lebanon, Hamas dan Jihad Islam di Gaza, serta Houthi di Yaman. Sebagai pembalasan, pada 20 Januari lalu, Israel menyerang sebuah gedung di Damaskus, menewaskan lima perwira IRGC.
Presiden Iran Ebrahim Raisi langsung menyatakan pasti akan ada pembalasan Iran atas pembunuhan ini. Beberapa jam kemudian, proksi Iran di Irak menyerang pangkalan militer AS di sana.
Di Laut Merah, situasi tak kurang genting sejak AS dan Inggris menyerang target-target milisi Houthi dukungan Iran di Yaman untuk membalas serangan Houthi terhadap kapal-kapal kargo dan tanker internasional yang melintasi Laut Merah dari Asia dan Teluk Persia ke Israel dan Eropa. Houthi yang bersemangat tinggi bertekad akan terus menembakkan rudal-rudal balistik ke semua kapal militer ataupun sipil sampai Israel menghentikan perang di Gaza.
Akibat eskalasi di Laut Merah, sebagian besar kapal tak lagi mau berlayar melalui Laut Merah dan memilih jalan memutar ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan yang memakan waktu sepuluh hari lebih lama. Ini menyebabkan meningkatnya biaya transportasi dan asuransi yang memicu peningkatan inflasi global. Pada saat yang sama, AS menyatakan telah menahan kapal asal Iran di Laut Arab yang dikatakan membawa senjata untuk Houthi.
Dengan menghadirkan kekuatan militer di Laut Merah untuk memitigasi disrupsi perdagangan global—12 persen perdagangan global lewat Laut Merah—koalisi pimpinan AS hendak memisahkan aksi Houthi dari perang Gaza.
Di palagan perbatasan Israel-Lebanon, eskalasi konflik militer Hezbollah pro-Iran dan Israel terus meningkat, terutama setelah Israel membunuh Saleh al-Arouri, petinggi Hamas di Lebanon. Hamas adalah sekutu Hezbollah.
Sebenarnya Iran menahan diri untuk tak terlibat perang langsung dengan AS dan Israel. Proksi-proksinya di kawasan hanya dikerahkan untuk membantu menekan Israel.
Konflik Israel-Hezbollah telah memaksa 90.000 warga Yahudi di kota-kota di utara mengungsi. Sementara puluhan ribu warga Yahudi di selatan, dekat Gaza, mengungsi menyusul serangan tak terduga Hamas ke wilayah Israel pada 7 Oktober, yang memicu perang saat ini.
Perang untuk bertahan
Israel menekan AS untuk menghentikan serangan Hezbollah kalau tidak ingin melihat Israel melancarkan perang skala penuh ke Lebanon dalam beberapa hari mendatang. Kalau itu terjadi, sulit membayangkan apa yang akan terjadi di Timur Tengah, yang akan melahirkan dampak ekonomi dan keamanan global yang mengerikan. Iran tak akan diam.
Dengan drone canggih yang telah terbukti efektif digunakan Rusia di palagan Ukraina dan sejumlah rudal balistik dan rudal supersonik berbagai jenis yang bisa menjangkau seluruh Timur Tengah, Iran tidak bisa dianggap remeh. Apalagi, negara mullah ini mendominasi Selat Hormuz dan Teluk Persia.
Pada 2019, tak lama setelah AS di bawah Presiden Donald Trump mundur dari kesepakatan nuklir Iran yang disertai sanksi berat, Iran menyerang tanker-tanker internasional di dekat Selat Hormuz. Bahkan, Iran menyerang instalasi minyak Arab Saudi (Aramco), tanpa terdeteksi radar militer AS di negara-negara Arab Teluk.
Ini memberi pesan kuat bahwa apabila kepentingan Iran terganggu, negara musuh akan ikut memikul akibatnya. Teluk Persia adalah kawasan paling vital di dunia karena lebih dari 50 persen kebutuhan energi Eropa, China, dan India datang dari kawasan ini.
Israel menekan AS untuk menghentikan serangan Hezbollah kalau tidak ingin melihat Israel melancarkan perang skala penuh ke Lebanon dalam beberapa hari mendatang.
Kendati sangat berbahaya bagi keamanan Israel sendiri karena Hezbollah jauh lebih kuat dari Hamas, niat Israel melancarkan perang skala penuh ke Lebanon bertujuan menyeret Barat ke dalam perang untuk menunda pembalasan politik dalam negeri terhadap Netanyahu terkait masalah korupsi.
Saat ini kian banyak publik Israel yang meminta perang dihentikan dan pemilu diselenggarakan guna menyingkirkan Netanyahu dari kekuasaan. Lagi pula, sangat diragukan Israel mampu menaklukkan Hamas. Menurut sumber intelijen AS pada 20 Januari, hanya 20-30 persen personel Hamas yang dilumpuhkan, sebagian bisa kembali berperang.
Belum lagi, kian banyak warga Gaza yang ingin bergabung dengan Hamas. Laporan ini menantang klaim Israel bahwa 50 persen personel Hamas telah dihancurkan dan semua yang cedera tak dapat lagi mengangkat senjata.
Ketidakberdayaan Presiden AS Joe Biden dalam membujuk Netanyahu untuk mengakhiri perang dan memerdekakan Palestina sebagaimana harapan komunitas internasional membuka jalan bagi China untuk memperbesar pengaruhnya di kawasan tersebut.
Dalam lawatan ke Afrika pada 14 Januari silam, negara pertama yang disinggahi Menteri Luar Negeri China Wang Yi adalah Mesir. Setelah bertemu Menlu Sameh Shoukry dan Sekjen Liga Arab Ahmed Aboul Gheit di Kairo, Wang Yi kembali menyerukan agar perang Gaza segera diakhiri dengan gencatan senjata komprehensif dan dimulai konferensi damai demi menyelesaikan isu Israel-Palestina secara menyeluruh.
Sikap China yang didukung dunia Arab dan Islam, bahkan didukung 120 negara yang tergabung dalam Gerakan Nonblok—sebagaimana yang mereka suarakan dalam KTT GNB di Kampala, Uganda, 20 Januari silam—membuat Israel dan AS semakin terisolasi.
Namun, mengapa Israel dan AS ngotot melanjutkan perang? Bagi pemerintahan ekstrem kanan Israel, kemenangan perang di Gaza akan menentukan kelangsungan hidup partai-partai sayap kanan yang rasis dan menentang berdirinya negara Palestina. Apabila Israel kalah perang, pemerintahan Netanyahu akan bubar dan semua parpol sayap kanan akan terpuruk.
Padahal, Hamas tak mungkin dilenyapkan karena dia adalah ideologi yang kini diadopsi mayoritas warga Palestina, termasuk mereka yang tinggal di Tepi Barat dan Jerusalem Timur yang dulu merupakan basis Fatah pimpinan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, akibat matinya proses perdamaian Israel-Palestina sejak 2014.
Tak heran, Abbas menolak memerintah Gaza pascaperang kecuali jika Palestina dimerdekakan. Dalam konteks survival inilah Netanyahu berencana menyerang Lebanon Hezbollah.
Kendati popularitas AS di kawasan anjlok, Biden konsisten mendukung Israel dengan bantuan persenjataan dan perlindungan diplomatik. Bukan hanya demi menjaga profil militer Israel, melainkan juga demi kelangsungan kekuasaannya menjelang pilpres AS, November nanti.
Lembaga-lembaga survei belakangan ini menunjukkan elektabilitas Biden tinggal 30 persen, di antaranya akibat kegagalannya menangani perang Gaza, karena Biden hendak menjaga dukungan lobi Yahudi agar dicalonkan menjadi presiden kembali.
Konsekuensi
Lepas dari apakah Israel akan mencapai tujuan perangnya, negara ini akan menanggung konsekuensi ekonomi dan politik yang sungguh berat.
Tuduhan genosida dengan data cukup yang dibawa Afrika Selatan ke Mahkamah Internasional—dengan dukungan 32 negara—secara moral akan memukul Israel. Serangan Hamas ke Israel telah menewaskan 1.123 warga Israel. Lalu, sejak Israel melancarkan serangan darat ke Gaza, menurut sumber Israel, 193 tentaranya tewas dan 3.700 lainnya cacat permanen.
Bagi pemerintahan ekstrem kanan Israel, kemenangan perang di Gaza akan menentukan kelangsungan hidup partai-partai sayap kanan yang rasis dan menentang berdirinya negara Palestina.
Namun, itu tidak bisa menjadi dasar untuk melakukan ”genosida” terhadap warga Gaza. Mesti diingat bahwa kendati telah mundur dari Gaza sejak 2005, Israel masih memblokade enklave itu sejak 2007 dan menjadikan Gaza penjara terbuka terbesar di dunia.
Lebih dari 60 persen angkatan kerjanya menganggur sebelum perang. Di tataran regional, Israel membutuhkan waktu lama untuk memulihkan hubungan dengan negara-negara yang sudah berdamai dengannya. Di tataran internasional, nyaris mustahil dunia akan menoleransi lagi politik apartheid Israel.
Di pihak AS dan NATO, narasinya tentang tindakan Rusia di Ukraina kehilangan makna. Terlihat jelas pada akhirnya kepentingan pribadi ataupun negara yang sempit akan mendikte narasi perang dan hak asasi manusia.
Seluruh dunia sedang mengalami krisis nilai dan tatanan internasional gara-gara Israel, AS, dan Barat menghancurkan marwahnya. Sebaliknya, kekuatan antidemokrasi menemukan legitimasinya. Namun, seluruh dunia akan terpukul apabila perang yang sedang meluas ini tidak segera dihentikan.
Baca juga: Teater Perang Gaza Semakin Meluas
Smith Alhadar, Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)