Mengandalkan Masyarakat untuk Transisi Energi yang Adil
Transisi energi harusnya bersifat adil, demokratis, dan berkelanjutan. Sekadar bersih atau netral karbon saja tak cukup.
Perubahan iklim telah menjadi semakin nyata dan sebagai negara kepulauan tropis, Indonesia akan merasakan banyak dampak buruknya. Krisis pangan, tenggelamnya pemukiman tepi pantai, hingga banjir, badai, dan kekeringan.
Dunia berada dalam misi menekan emisi karbon untuk mencegah kenaikan suhu di atas 1,5 derajat celsius. Ironisnya, Indonesia merupakan korban sekaligus salah satu motor utama perubahan iklim. Per 2023, Indonesia memasuki 10 besar emiten karbon tertinggi di dunia. Dua pertiga dari bauran energi kita berasal dari batubara— sumber paling kotor dari segi emisi karbon.
Misi transisi energi Indonesia menjadi salah satu tema dalam debat capres-cawapres. Ada beberapa pekerjaan rumah besar yang harus dibahas. Bagaimana mengurangi ketergantungan terhadap batubara, melakukan transisi energi yang adil dan menjunjung hak asasi manusia, serta membuka jalan untuk investasi dan teknologi energi bersih. Hal ini tidak mudah.
Baca juga: Pemenang dan Pecundang dalam Transisi Energi
Hingga kini telah terdapat beberapa mekanisme dan pendanaan transisi energi, termasuk Asia Zero Emission Community (AZEC) oleh Indonesia-Jepang pada 2022, peluncuran Energy Transition Mechanism (ETM) pada momentum G20 Indonesia, serta peluncuran rencana investasi Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai 21,5 miliar dollar AS pada akhir 2023. Namun, skema-skema ini masih bermasalah. JETP, misalnya, banyak dikritik tidak transparan dan pada akhirnya hanya merencanakan penutupan dua PLTU.
Sayangnya, para calon presiden sejauh ini belum punya gambaran yang meyakinkan untuk menyelesaikan masalah pelik ini.
Tak cukup sekadar bersih dan terbarukan
Skema pendanaan transisi yang digalakkan pemerintah sejauh ini terfokus pada proyek padat modal berskala besar. Contohnya, Indonesia menjadi rumah untuk PLTS apung terbesar di Asia Tenggara, PLTS Cirata.
Draf revisi RUPTL per tahun 2023 juga merencanakan pembangunan transmisi hijau yang memfasilitasi penambahan 32 gigawatt (GW) dari energi hidro dan panas bumi, meningkat dari 84.8 GW kapasitas terpasang per 2023.
Masalahnya, terdapat kekhawatiran risiko lingkungan dalam penggunaan pembangkit listrik geotermal dan hidro skala besar. Menurut penelitian, penggunaan energi geotermal berdampak masif kepada kualitas air, kerusakan lahan dalam skala besar, serta meningkatkan potensi gempa bumi.
Energi hidro dan PLTS terapung pun memiliki risiko mengganggu keseimbangan ekosistem air yang akan memengaruhi biota di dalamnya. Dampaknya tidak hanya ekologis, tetapi juga merembet ke ekonomi dan sosial masyarakat yang bergantung padanya.
Jika pemerintah terus terobsesi hanya dengan proyek berskala besar padat modal, kesalahan pembangunan energi sebelumnya dapat terulang.
Sebagai contoh, Pulau Flores semenjak 2017 telah digadang oleh Kementerian ESDM sebagai ”Flores Geothermal Island” melalui Keputusan ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017. Namun, PLTP Ulumbu dan PLTP Mataloko yang telah dibangun ditentang keras oleh kelompok masyarakat setempat.
Masyarakat adat menghadapi risiko kehilangan tanah ulayat mereka, serta risiko lingkungan seperti semburan lumpur panas, sawah-sawah warga yang terendam, sumber air yang tercemar, dan lain-lain.
Transisi energi seharusnya bersifat adil, demokratis, dan berkelanjutan. Sekadar bersih atau netral karbon saja tidak cukup. Jika pemerintah terus terobsesi hanya dengan proyek berskala besar padat modal, kesalahan pembangunan energi sebelumnya dapat terulang: perampasan tanah, pengabaian masyarakat di tapak, korupsi, hingga beban lingkungan yang tinggi.
Solusi transisi dan demokratisasi energi
Faktanya, Indonesia memiliki potensi solusi transisi energi yang sejauh ini masih diabaikan, yaitu energi baru terbarukan (EBT) berbasis komunitas. Baik untuk menghadapi akses listrik yang buruk maupun untuk alasan lain, banyak komunitas di Indonesia memproduksi listrik secara swadaya untuk kebutuhan mereka sendiri.
Listrik tersebut dapat berasal dari sumber yang dekat dengan komunitas dan dikelola bersama secara demokratis. Karena skalanya cenderung ringan, ia juga tidak bersifat destruktif dan eksploitatif terhadap lingkungan. Ia juga membantu mengatasi beberapa isu pengembangan energi Indonesia: kesulitan geografis, kesulitan jaringan negara kepulauan, dan ketidakmerataan pembangunan.
Misalnya, di Desa Batu Songgan, Riau, masyarakat telah membangun pembangkit listrik mikrohidro (PLTMh) menggunakan aliran Sungai Songgan dengan teknik sederhana. Pada awalnya, konstruksi dibantu oleh pemerintah lokal. Namun, pemeliharaannya terbengkalai hingga komunitas mengambil alih pengelolaannya. Kini, dengan PLTMh mereka, masyarakat dapat melistriki rumah mereka hanya dengan Rp 30.000 per bulan untuk kegiatan rumah tangga, usaha, desa, dan keagamaan.
Baca juga: Politik Transisi Energi Bersih
Contoh lain adalah desa adat Kasepuhan Gelaralam di Sukabumi yang juga menggunakan PLTMh aliran Sungai Cisono untuk menyediakan listrik bagi 150 lebih rumah. Inisiatif tersebut dimulai oleh warga, hingga akhirnya mendapatkan dukungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil, pemerintah setempat, dan bahkan institusi internasional untuk pemeliharaan dan perawatannya.
Namun, 100 persen pengelolaannya dilakukan oleh warga dengan memperhatikan kearifan lokal. Alhasil, warga mendapatkan akses listrik yang terjangkau, bersih, dan stabil; mereka bahkan tidak perlu mematikan lampu di siang hari karena listrik yang dihasilkan terus mengalir.
Tak terbatas pada listrik, energi baru terbarukan berbasis komunitas juga dapat memenuhi kebutuhan energi lainnya. Di Lombok Tengah, kelompok wanita tani lokal memanfaatkan kotoran ternak untuk memenuhi kebutuhan gas untuk kegiatan masak sehari-hari. Mereka juga memanfaatkan pengering tenaga matahari untuk komoditas seperti pisang, kopi, dan coklat, untuk memotong waktu produksi hingga 50 persen.
Contoh-contoh tersebut hanyalah segelintir dari banyak usaha EBT berbasis komunitas yang ada di Indonesia. Upaya ini dilakukan masyarakat bukan semata untuk menghasilkan energi yang ramah lingkungan, tetapi juga untuk mendapatkan akses listrik yang esensial demi kehidupan yang layak.
Sayangnya, selain minim eksposur, inisiatif-inisiatif ini masih bergantung banyak kepada organisasi non-pemerintah (NGO), skema corporate social responsibility (CSR) perusahaan, serta donor lokal dan internasional. Selain itu, upaya EBT berbasis masyarakat pun sering terhalang oleh proses administratif yang rumit dan peran PLN yang memonopoli usaha ketenagalistrikan.
Sering kali, masuknya institusi pemerintah seperti PLN bukan mempermudah upaya mereka. Bagi mereka, justru muncul kekhawatiran naiknya harga listrik atau terbengkalainya proyek-proyek mereka.
Transisi energi adalah isu yang krusial untuk kemaslahatan hidup masyarakat yang diamanatkan Undang-Undang Dasar.
Jangankan EBT berbasis komunitas, perspektif pemerintah dalam menyikapi energi independen juga kerap regresif terhadap masyarakat urban. PLN, misalnya, hingga sekarang masih mempersulit pemanfaatan PLTS atap domestik, dengan alasan oversupply ketersediaan listrik. Padahal, ketimbang dipersulit, upaya-upaya ini perlu didukung oleh pemerintah dan mekanisme transisi energi seperti JETP.
Upaya transisi energi memiliki kepentingan lebih dari sekadar meningkatkan bauran energi terbarukan sesuai perjanjian internasional atau bahkan melawan perubahan iklim. Transisi energi adalah isu yang krusial untuk kemaslahatan hidup masyarakat yang diamanatkan Undang-Undang Dasar.
Dengan prediksi seperti 23 juta orang di pesisir Indonesia menghadapi ancaman banjir laut pada 2050 dan ancaman tenggelamnya Jakarta, serta realitas masih terdapat ribuan desa yang belum mendapatkan akses listrik sementara jaringan transmisi Jawa-Bali mengalami oversupply ribuan megawatt, sudah saatnya sistem energi kita mengalami transisi.
Bukan hanya transisi dari batubara menjadi energi bersih, melainkan juga transisi dari sistem yang non-demokratis dan tidak melibatkan masyarakat menjadi sistem yang adil dengan semangat kemandirian. Upaya EBT berbasis komunitas dan upaya-upaya lain yang mendorong kemandirian energi oleh masyarakat seharusnya dipandang sebagai salah satu solusi utama transisi energi, bukan hanya alternatif belaka.
Alexandra Aulianta Sahadi, Peneliti Trend Asia
Instagram: violexandra