Konsolidasi Demokrasi dan Ujian Pemilu 2024
Proses Pemilu 2024 merupakan taruhan, apakah demokrasi terus terkonsolidasi dengan baik, atau malah menuju kegagalan.
Pemilu merupakan salah satu ciri utama demokrasi. Pada alam demokrasi, rakyat adalah pemilik kedaulatan tertinggi. Adagium yang cukup terkenal berbunyi ”suara rakyat adalah suara Tuhan”. Melalui pemilu, kehendak rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi tersebut disalurkan.
Siapa pun pemimpin yang terpilih mewakili kedaulatan rakyat pada pemilu, itulah keputusan yang harus diterima oleh semua pihak. Dengan demikian, pemilu yang jujur dan adil (jurdil) merupakan taruhan penting, apakah demokrasi terkonsolidasi dengan baik, ataukah sekadar formalitas belaka (pseudo democrazy).
Pertanyaannya, apakah proses pemilu yang jurdil pasti menghasilkan pemimpin terbaik? Jawabannya tidak. Terlebih, di negara berkembang, di mana tingkat pendidikan masyarakat masih rendah.
Pada demokrasi langsung, prinsip one man one vote (satu orang satu suara), menegaskan tidak ada perbedaan antara kalangan terdidik dan tidak, dalam menentukan kemenangan pemilu. Sebagaimana lazim terjadi, kalangan kurang terdidik, mudah dirayu dengan hal yang sepele, seperti politik uang (money politic), serta janji politik yang pragmatis dan tidak rasional.
Baca juga: Menyelamatkan Demokrasi Kita
Selain itu, demokrasi juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tidak hanya materi, pemilu sebagai ciri utama demokrasi, menjadikan seorang pemimpin berpotensi hanya memfokuskan kepada kemenangannya pada kontestasi berikutnya, ketimbang memikirkan pembangunan dan perbaikan bangsa di segala aspek.
Meskipun demokrasi memiliki catatan, ada aspek penting pada demokrasi, yang membuatnya layak menjadi pilihan. Pertama, prinsip utama demokrasi adalah persamaan dan kebebasan. Pada konteks ini, semua warga bangsa memiliki hak yang sama. Tidak ada seorang pun yang memiliki hak Istimewa.
Kedua, proses konsolidasi demokrasi menjadi wahana pembelajaran politik bagi masyarakat. Melalui demokrasi, semua anak bangsa berhak menilai serta mengevaluasi seorang pemimpin. Proses pembelajaran ini diperlukan menuju bangsa yang besar. Diperlukan masyarakat yang cerdas, mandiri, kreatif dan tangguh untuk menjadi bangsa yang besar.
Ilustrasi
Sejarah membuktikan, sumber daya alam yang melimpah, tidak menjamin sebuah bangsa menjadi besar dan disegani. Sebaliknya, sumber daya manusia yang cerdas, kreatif, dan mandiri, terbukti mampu membawa pada bangsa yang besar.
Menuju bangsa yang besar dengan ciri-ciri masyarakat sebagaimana diuraikan di atas membutuhkan proses panjang. Ini senapas dengan membangun demokrasi, yang juga membutuhkan proses panjang, bahkan berliku.
Tidak sedikit negara yang berupaya membangun demokrasi, tetapi akhirnya gagal, dan kembali pada sistem tradisional (sistem tradisional dihadapkan dengan sistem demokrasi karena demokrasi sering disebut sebagai salah satu produk modernitas).
Myanmar, Libya, Turki adalah sedikit contoh negara yang berupaya membangun demokrasi, tetapi gagal. Proses dan sejarah yang melatarbelakangi kegagalan negara-negara tersebut bervariasi antara satu dan lainnya.
Sumber daya manusia yang cerdas, kreatif, dan mandiri terbukti mampu membawa pada bangsa yang besar.
Pada konteks Indonesia, demokrasi pernah mengalami mati suri (jika tidak mau disebut sebagai gagal), pada era Orde Baru. Demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi semu, pura-pura atau sekadar formalitas. Atas nama pembangunan dan pentingnya kondusivitas, kebebasan rakyat dipasung.
Pemilu secara rutin memang dilaksanakan, tetapi pemenangnya sudah diatur sedemikian rupa secara sistemik oleh penguasa. Segala kebijakan negara sepenuhnya diatur oleh penguasa. Rakyat yang berani protes dan mengkritik, diganjar dengan tindakan represif.
Jatuhnya Orde Baru pada 1998 menandai era baru proses transisi demokrasi di Indonesia. Masyarakat harus mengulang menjalani proses demokrasi, yang terpotong selama tiga dekade pada pemerintahan Orde Baru.
Taruhan
Proses transisi memang tidak mudah. Muncul gerakan-gerakan separatis, ekstremis, eksklusif, dan seterusnya. Pun berbagai konflik pemikiran, konflik ideologi dalam menetapkan arah perjalanan negara kembali terjadi.
Proses tersebut, mau tidak mau harus dilalui. Letihnya melalui proses tersebut, berpotensi memunculkan godaan untuk mengenyampingkan demokrasi, atas nama kondusivitas dan stabilitas untuk pembangunan.
Proses pemilu termasuk Pilpres 2024 merupakan taruhan, apakah demokrasi terus terkonsolidasi dengan baik, atau malah mundur ke belakang, menuju kegagalan. Hasrat untuk berkuasa, sering kali menjadi batu sandungan besar dalam menjalani proses konsolidasi demokrasi.
Demi kekuasaan, elite sering kali menggunakan cara-cara yang berbahaya bagi masa depan demokrasi. Penggunaan kekuatan uang (money politic), penggunaan narasi kampanye yang sektarian (politik identitas), bisa menjadi pilihan pragmatis kalangan elite. Pada konteks Pemilu 2024 di Indonesia, beberapa kalangan menuduh adanya kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan, untuk memenangkan pasangan calon tertentu.
Merespons Pemilu 2024, kaitannya dengan konsolidasi demokrasi, perlu perjuangan semua pihak, tanpa kecuali.
Tidak hanya kalangan elite, godaan pemilu juga menyerang semua kalangan. Berbagai elemen bangsa yang secara etis seharusnya mengawal demokrasi seperti media dan dunia pendidikan, bisa terjebak pada sikap pragmatis untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Keintiman dengan politik praktis membuat obyektivitas tidak dapat dijaga. Pendidikan politik kepada rakyat sebagai investasi terbesar demokrasi akhirnya menjadi korban.
Lebih dari itu, semua elemen bangsa juga kerap mendapat godaan. Masyarakat yang suaranya mudah dibeli dengan money politic, akan membuat praktik haram ini terus langgeng. Selain itu, narasi kampanye pragmatis, serta menjual sentimen sektarian, jika terus-menerus ditelan mentah-mentah, akan terus-menerus digunakan oleh para elite.
Merespons Pemilu 2024 kaitannya dengan konsolidasi demokrasi, perlu perjuangan semua pihak, tanpa kecuali. Apa pun posisi anak bangsa, dapat memberi kontribusi bagi proses konsolidasi demokrasi. Kontribusi dimaksud, tentu disesuaikan dengan posisinya masing-masing.
Kalangan elite memberikan kontribusi besar, dengan fokus pada proses pendidikan politik kebangsaan, ketimbang menggunakan isu pragmatis-sektarian untuk memenuhi ambisi kekuasaan. Kalangan media dan pendidik memberikan kontribusi dengan menjaga netralitas, obyektivitas dan terus memberikan pendidikan politik konstruktif. Masyarakat secara luas, memberi kontribusi, dengan tidak terjebak pada money politic, sekaligus berupaya mencari informasi kampanye partai/pasangan calon yang valid.
Baca juga: Malu Menjadi Bangsa
Gerakan Nurani Bangsa yang digagas oleh para tokoh di negeri ini merupakan contoh nyata kontribusi anak bangsa dalam mengawal konsolidasi demokrasi. Salah satu tujuan gerakan ini menyerukan agar para penyelenggara negara bersikap netral dalam menyikapi Pemilu 2024. Upaya seperti ini sangat diperlukan dalam mengawal demokrasi.
Sekali lagi, demokrasi tidak bisa memastikan terpilihnya calon pemimpin ”terbaik”. Namun, jika pemimpin terpilih itu dihasilkan dari proses pemilu yang jurdil, ini merupakan investasi besar dalam proses konsolidasi demokrasi, yang akan menghasilkan perbaikan negara pada jangka panjang.
Sebaliknya, meskipun seseorang yakin terhadap pilihan calon pemimpin yang baik, tetapi jika prosesnya tidak jurdil, ada intervensi kekuasaan, maka itu akan merusak proses konsolidasi demokrasi. Dus, merusak perbaikan bangsa pada jangka panjang.
Nanang Hasan Susanto, Dosen Universitas Islam Negeri KH Abdurrahman Wahid Pekalongan