Sama-sama mengalami apartheid, Afrika Selatan dikenal sebagai negara paling gigih membela perjuangan rakyat Palestina.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN
·4 menit baca
Afrika Selatan menjadi satu-satunya negara di muka bumi ini yang berani mengajukan Israel ke Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ) dengan dakwaan melakukan genosida dan kejahatan perang di Jalur Gaza. Langkah berani itu diambil pada 29 Desember 2023.
Sekitar sebulan kemudian, tepatnya pada 26 Januari 2024, ICJ bersidang. Salah satu dari enam badan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)--kerap juga disebut sebagai "Pengadilan Dunia"--yang berkedudukan di Den Haag, Belanda, itu memutuskan: menyerukan Israel agar melakukan segala langkah untuk menghentikan genosida di Jalur Gaza.
Seruan ICJ itu adalah buah dari perjuangan Afrika Selatan melawan agresi militer Israel di Jalur Gaza yang kini mulai memasuki bulan kelima. Sudah lebih dari 27.000 warga Palestina tewas. Seruan ICJ tersebut menjadi bagian dari daftar panjang lembaga dan masyarakat internasional yang menyerukan agar perang Gaza segera dihentikan.
Dalam konteks seruan ICJ itu, tentu Afrika Selatan adalah pahlawannya.
Afrika Selatan dikenal sebagai negara yang paling gigih membela perjuangan rakyat Palestina. Afrika Selatan selalu memandang rakyat Palestina sebagai saudara seperjuangan mereka.
Ini tak lepas dari sejarah praktik apartheid di Afrika Selatan 1948-1990. Pada 1990-an, rakyat Afrika Selatan di bawah kepemimpinan Nelson Mandela berhasil bebas dari praktik apartheid.
Namun, sementara Afrika Selatan sudah lepas dari cengkeraman apartheid sejak lebih dari tiga dasawarsa silam, perjuangan rakyat Palestina sampai hari ini masih gagal untuk bebas dari praktik apartheid yang dilakukan pengikut Zionis di Israel, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.
Persamaan nasib dan perjuangan rakyat Palestina dengan rakyat Afrika Selatan memperdekat hubungan mereka. Dua pemimpin legendaris Afrika Selatan dan Palestina, yakni mendiang Nelson Mandela dan Yasser Arafat, bersahabat erat.
Hubungan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pimpinan Arafat dan Kongres Nasional Afrika (ANC) pimpinan Mandela sudah terjalin erat sejak tahun 1960-an. Tokoh-tokoh PLO dan ANC sering menggelar pertemuan rahasia dan resmi di berbagai negara Arab dan Afrika.
Setelah dua pekan bebas dari penjara pada tahun 1990, Mandela langsung terbang ke Zambia untuk menemui para pemimpin yang membela perjuangan ANC dan rakyat Afrika Selatan melawan praktik apartheid kulit putih di negara tersebut. Di antara pemimpin yang ditemui Mandela di Zambia saat itu adalah Arafat.
Saat Mandela bertemu Arafat kala itu, keduanya langsung berpelukan erat bak sahabat lama yang baru bertemu setelah sekian lama tidak bersua. Mandela saat itu langsung mengenakan kafiyeh, simbol perjuangan Palestina, di hadapan Arafat.
Saat Mandela bertemu Arafat kala itu, keduanya langsung berpelukan erat bak sahabat lama yang baru bertemu setelah sekian lama tidak bersua.
Selain Mandela, banyak tokoh elite ANC yang dikenal sebagai pembela perjuangan rakyat Palestina dan pengkritik keras Israel, seperti Denis Goldberg (komandan sayap militer ANC) dan Desmond Tutu (Uskup Afrika Selatan dan peraih Nobel Perdamaian).
Sebaliknya, hubungan Israel dan pemerintah apartheid Afrika Selatan juga dikenal terjalin erat. Israel adalah pemasok utama senjata kepada pemerintahan apartheid Afrika Selatan pada tahun 1960-an dan 1970-an. Bahkan, Israel pernah menawarkan hulu ledak nuklir kepada Afrika Selatan.
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel pada akhir tahun 1970-an, Rafael Eitan, pernah mengatakan bahwa rakyat kulit hitam di Afrika Selatan ingin berkuasa di negara itu, persis seperti orang Arab di Timur Tengah yang juga ingin merebut kekuasaan. “Maka, kami seperti kaum minoritas kulit putih di Afrika Selatan harus mencegah mereka merebut kekuasaan,” tegas Eitan.
Apa yang terjadi di Israel saat ini mirip dengan apa yang terjadi di Afrika Selatan pada era pemerintahan apartheid. Warga Arab di Israel, yang persentasenya mencapai sekitar 20 persen dari keseluruhan penduduk Israel yang mencapai sekitar 9 juta jiwa, mengalami perlakuan apartheid.
Warga minoritas Arab di Israel sudah diperlakukan seperti warga kelas dua, baik dalam pekerjaan maupun perumahan. Mereka sangat sulit mendapat pekerjaan. Sebaliknya, warga Yahudi jauh lebih mudah mendapat pekerjaan. Warga Arab juga dikenal sangat sulit mendapat kredit bank untuk pengadaan rumah, sebaliknya warga Yahudi lebih mudah mendapat kredit bank untuk perumahan.
Aparat Israel sering menyita tanah milik warga Arab untuk dijadikan tempat umum atau permukiman baru Yahudi. Jika ada sengketa di pengadilan Israel antara warga Arab dan Yahudi, warga Yahudi lebih sering dimenangkan dalam perkara di pengadilan tersebut.
Di Tepi Barat yang secara hukum internasional bukan wilayah negara Israel tetapi di bawah otonomi Palestina, pihak Israel terus membangun kompleks permukiman Yahudi. Masyarakat internasional, termasuk AS, sering mengritik ekspansi pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur, yang dianggap menghambat proses perdamaian di Timur Tengah.
Kini sudah terdapat 144 permukiman Yahudi di Tepi Barat, termasuk 12 permukiman Yahudi di Jerusalem Timur. Sebanyak 465.400 pemukim Yahudi kini menghuni di kamp-kamp permukiman Yahudi di Tepi Barat, selain 20.000 pemukim Yahudi bermukim di kamp-kamp permukiman liar atau illegal.
Meskipun Israel mundur dari Jalur Gaza tahun 2005, Israel tetap mengepung Jalur Gaza dari darat, laut dan udara. Ini salah satu faktor yang meletuskan beberapa kali perang Gaza, termasuk perang saat ini.
Afrika Selatan berhasil bebas dari praktik apartheid dan rakyat kulit hitam mampu berkuasa di negaranya sejak tahun 1990-an, sementara rakyat Palestina sampai hari ini belum bebas dari praktik apartheid. Negara Palestina pun juga belum terwujud.
Maka, apa yang dilakukan Afrika Selatan pada 29 Desember 2023 dengan menyeret Israel ke Mahkamah Internasional mempunyai latar belakang sejarah panjang dalam mengungkapkan solidaritasnya terhadap perjuangan rakyat Palestina.