Bongkar-bongkar Data Kemiskinan
Perbaikan data kemiskinan tak bisa parsial dan tambal sulam. Perlu komitmen kuat dan perbaikan mulai dari metode.
Data dan metode pengukuran kemiskinan perlu segera dibongkar dan dikalibrasi ulang agar upaya mengatasi kemiskinan menuju ke arah benar dan terukur.
Alasannya, selain dinamika pola konsumsi yang berubah, kejadian Covid-19, pemekaran wilayah, dan pemilu membuat pemerintahan perlu pijakan baru yang presisi. Setidaknya ada tiga hal yang bisa diperbaiki: metode, kemiskinan multidimensi, dan pemadanan data perlindungan sosial (perlinsos).
Kalibrasi ulang
Alat ukur kemiskinan perlu dikalibrasi ulang karena meningkatnya perlinsos sulit diterjemahkan pada perubahan angka kemiskinan. Sebagai gambaran, anggaran bansos 2015-2023 lebih dari Rp 3.000 triliun hanya mampu mengurangi 2,69 juta penduduk miskin. Padahal, pada periode 2007-2014, cukup dengan anggaran seperlimanya saja mampu mengurangi penduduk miskin 8,89 juta jiwa.
Parahnya, meski dana desa deras terkucur, penurunan kemiskinan tak sebanding dengan periode sebelumnya. Pada 2007-2014, melalui PNPM Mandiri perdesaan dengan anggaran Rp 60 triliun, jumlah penduduk miskin turun 5,84 juta. Sementara, dengan dana desa lebih dari Rp 500 triliun pada 2015-2023, jumlah penduduk miskin hanya turun 3,78 juta jiwa. Perlu penyempurnaan metode kemiskinan agar pemerintah mampu melakukan perbaikan data penyasaran.
Penyempurnaan metode
Metode kemiskinan sudah digunakan BPS lebih dari 20 tahun. Komoditas makanan dan nonmakanan dihitung secara moneter dengan pendekatan cost of basic needs approach (biaya yang dikeluarkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar). Penyempurnaan dilakukan pada tiga hal: komoditas penentu garis kemiskinan (GK), pengukuran secara bottom up, dan menjaga level estimasi.
Pertama, komoditas penentu GK perlu dievaluasi karena komoditas GK makanan telah digunakan sejak 1998, sementara komoditas GK nonmakanan sejak 2004. Padahal, perilaku konsumsi masyarakat sudah berubah akibat perubahan teknologi, pendapatan, Covid-19, perkembangan jenis dan kualitas barang/jasa, serta perubahan pasar. Kondisi ini juga disampaikan pada sosialisasi hasil Survei Biaya Hidup 2022.
Alat ukur kemiskinan perlu dikalibrasi ulang karena meningkatnya perlinsos sulit diterjemahkan pada perubahan angka kemiskinan.
Evaluasi komoditas perlu dilaksanakan setiap lima tahun sekali sejalan dengan Consumer Price Index Manual yang dikeluarkan ILO dan lembaga dunia lainnya.
Kedua, pengukuran angka kemiskinan secara bottom up perlu dilakukan karena BPS menghitung kemiskinan kabupaten/kota berpijak pada GK provinsi yang diturunkan ke tingkat II melalui inflasi secara top down. Pada Publikasi Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota 2023, kemiskinan kabupaten/kota yang dipublikasikan November merupakan hasil redistribusi kemiskinan provinsi yang dirilis Juli.
Ketiga, perbaikan estimasi perlu dilakukan melalui koreksi penimbang dan perbaikan sampel. Angka kemiskinan saat ini masih menggunakan hasil proyeksi Survei Penduduk Antarsensus (Supas) 2015.
Padahal, BPS sendiri sudah memiliki data populasi hasil Sensus Penduduk 2020 yang bisa digunakan untuk estimasi. Selanjutnya, perbaikan sampel dilakukan pada wilayah yang memiliki nilai relative standar error (RSE) tinggi di atas 25 persen karena intervensi apa pun jadi sulit dipastikan ketepatannya. Seperti Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara yang memiliki RSE kemiskinan ekstrem di atas 50 persen.
Intervensi perlinsos yang mengandalkan karakteristik penciri kemiskinan hanya tepat untuk wilayah yang masih representatif. Padahal, Maret 2023 ada 67 kabupaten/kota dengan kemiskinan di bawah 5 persen, bahkan pada 2022 ada 11 wilayah dengan kemiskinan ekstrem nol persen karena tak terjangkau sampel Susenas. Dampaknya, karakteristik apa pun tak representatif hingga perlu ukuran lain sebagai pelengkap.
Kemiskinan multidimensi
Karakteristik rumah tangga penciri kemiskinan sejalan dengan pengukuran kemiskinan multidimensi (Multidimensional Poverty Index/MPI) yang dirilis UNDP. MPI berpijak pada tiga dimensi, yaitu kesehatan, pendidikan, dan standar hidup. Ini sejalan dengan Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi 1998, di bukunya, Development as Freedom (1999), bahwa kemiskinan bukan dinilai dari kekurangan uang saja, melainkan ketidakmampuan mewujudkan potensinya sebagai manusia.
MPI telah diadopsi sejumlah negara sebagai bagian penyusunan kebijakan, seperti Filipina, Malaysia, China, Meksiko, Kolombia, dan Brasil. Penciri kemiskinan kasatmata disusun lebih komprehensif dengan MPI sehingga hasilnya dapat digunakan untuk penajaman sasaran melalui data perlinsos.
Pemadanan data
Pengalaman masa lalu, BPS melakukan kalibrasi data perlinsos melalui kegiatan Pendataan Sosial Ekonomi 2005, Pendataan Program Perlindungan Sosial 2011, dan Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) 2016.
Sayangnya, meski pada 2022 BPS melaksanakan pendataan awal Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) yang menghabiskan Rp 4 triliun, data itu belum termanfaatkan dengan luas. Hal ini karena pemerintah memakai data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) dan penyasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem (P3KE) untuk penyasaran perlinsos.
Padahal, DTKS bersumber dari PBDT 2016, hanya menjangkau 40 persen keluarga dan sudah bukan lagi kesejahteraan terendah. Sementara cakupan data P3KE 80 persen keluarga berasal dari pendataan keluarga BKKBN. Pemutakhirannya diambil kuota secara acak.
Data Regsosek dapat dimanfaatkan untuk perbaikan sasaran bansos karena selama ini tak ada data yang kembali ke desa untuk dievaluasi sebelum intervensi.
Baca juga: Menanti Pemerintah ”Buka-bukaan” Data Kemiskinan yang Sebenarnya
Karena itu, keduanya perlu dipadankan dengan Regsosek yang cakupannya 100 persen keluarga dan sudah dibuat peringkat kesejahteraannya setiap kabupaten/kota. Selain itu, Regsosek melibatkan aparat desa dan ketua RT/RW dalam Forum Konsultasi Publik (FKP).
Data Regsosek dapat dimanfaatkan untuk perbaikan sasaran bansos karena selama ini tak ada data yang kembali ke desa untuk dievaluasi sebelum intervensi. Parahnya, usulan penambahan dan penghapusan data bansos dari desa sering kali tak terealisasi. Dampaknya, bansos sporadis menyasar keluarga yang seharusnya sudah sejahtera. Padahal, perangkat desa yang tahu persis kondisi warganya, siapa yang layak dibantu dan dianggap sejahtera.
Akhirnya, perbaikan data kemiskinan tak bisa parsial dan tambal sulam. Perlu komitmen kuat dan perbaikan mulai dari metode hingga penyasaran.
Udin Suchaini,Praktisi Statistik Bidang Pembangunan Desa