Betapa berat tantangan hidup di awal abad ke-21. Sebaliknya, betapa mujur generasi yang dibesarkan pada dekade 1920-an.
Oleh
ARIEL HERYANTO
·4 menit baca
Dekade 1920-an sungguh luar biasa. Berbagai temuan, perubahan, dan perintisan unggul terjadi serentak dalam industri, teknologi, budaya, gaya hidup, dan keilmuan. Dampaknya dominan selama abad ke-20. Sebagian dampak itu masih hadir dalam kehidupan sehari-hari masa kini.
Keistimewaan dekade 1920-an terasa lebih mencolok bila ditengok masa kini, yakni masa yang penuh bencana berat. Di Tanah Air, ruang publik kini dipadati ungkapan cemas, putus asa, dan frustrasi. Kesenjangan kaya-miskin memburuk. Belakangan indeks demokrasi dan korupsi memburuk. Juga kesantunan, terutama di media sosial. Kerusakan lingkungan hidup nyaris tak terkendali. Hukum ditabrak elite politik dan ekonomi. Tokoh-tokoh yang pernah diidolakan publik kini jadi obyek kemarahan, olok-olok, dan lelucon.
Tapi, kini krisis berkepanjangan sedang mengglobal. Warga di banyak negara menderita lebih parah daripada di Indonesia. Suhu udara meningkat di luar batas kewajaran. Kebakaran hutan besar-besaran terjadi rutin di musim panas, badai salju di musim dingin, atau banjir di musim hujan memecahkan rekor di sejumlah benua. Lalu, pandemi covid merenggut jutaan nyawa, memorak-porandakan ekonomi dan pranata sosial.
Konflik bersenjata secara global kini mencapai titik tertinggi sejak 1945. Sementara kemiskinan, kelaparan, dan pengangguran merebak, tenaga dan dana besar-besaran dikuras untuk perang Rusia lawan NATO dengan korban utama rakyat Ukraina. Juga perang Hamas lawan Israel dengan korban utama warga Palestina. Ancaman perang nuklir disinggung sejumlah negara.
Indeks demokrasi sudah lama merosot di banyak negara. Tahun ini puluhan negara menyelenggarakan pemilu. Perpecahan tajam melanda sebagian negara itu. Politik yang antimigran dan antipengungsi sedang populer dalam pemilu mereka. Hasil pemilu mereka akan berdampak global dan menentukan keamanan global dalam beberapa tahun ke depan.
Betapa berat tantangan hidup di awal abad ke-21. Sebaliknya, betapa mujur generasi yang dibesarkan pada dekade 1920-an. Masa itu penuh energi dan gairah hidup meluap-luap.
Betapa berat tantangan hidup di awal abad ke-21. Sebaliknya, betapa mujur generasi yang dibesarkan pada dekade 1920-an. Masa itu penuh energi dan gairah hidup meluap-luap. Di pusat-pusat adikuasa global, dekade 1920-an merupakan zaman keemasan yang dijuluki Roaring Twenties (Dua puluhan Menggelegar) atau Jazz Age (Zaman Jazz).
Seusai Perang Dunia I, pertumbuhan ekonomi mereka meningkat luar biasa. Kelas menengah dan atas mengumbar gairah menikmati kemewahan, seperti digambarkan dalam novel The Great Gatsby (1925) karya Scott Fitzgerald, dan kemudian difilmkan (2013).
Budaya pop dan gaya hidup serba baru meledak di mana-mana. Semua itu ditunjang sejumlah temuan baru teknologi dan ekspansi industri. Pertama kalinya di banyak negara, terbentuk konsumen massa dalam jumlah besar yang menikmati radio, telepon, piringan hitam, televisi, dan mobil pribadi.
Pertama kalinya di sejumlah negara adikuasa, perempuan dekade 1920-an berhak ikut pemilu. Bukan lagi sebatas aktivis feminisme, banyak perempuan menikmati kelonggaran pembatasan dalam berdandan, berbusana, merokok, dan minum minuman beralkohol serta kehidupan seksual di luar nikah. Selain kontrasepsi, kosmetika, dan mode menjadi bagian penting dalam kehidupan pria dan wanita.
Dalam waktu relatif singkat berbagai gejolak di pusat-pusat emporium global tadi melanda wilayah lain di dunia, terutama di tanah jajahan mereka. Juga melanda Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Walau wujud dan maknanya tidak seragam, Asia dan Afrika mengalami perombakan sosial besar-besaran pada dekade 1920. Skala dan intensitas perubahan itu sulit dicari duanya dalam satu abad kemudian.
Nasionalisme di Indonesia sering meluap menjadi hipernasionalisme. Tidak aneh jika dekade 1920-an utamanya dikenal umum sebagai awal gelombang gerakan nasionalisme di Hindia Belanda sebelum dinamakan Indonesia. Dalam narasi elite politik yang menjadi narasi resmi negara RI, Sumpah Pemuda (1928) dirayakan sebagai puncak gelombang pergerakan nasional.
Yang jarang disebut dalam narasi publik, Partai Komunis Indonesia diresmikan pada tahun 1920 walau dengan nama Perserikatan Komunis di Hindia. Inilah partai pertama di Asia yang menyebut diri komunis. Mereka mendahului berdirinya partai komunis di China. Bahkan, mendahului berdirinya partai komunis di sejumlah negara industri dan imperium terkemuka di Eropa, seperti Perancis, Italia, dan Inggris.
Tahun 1924, Perserikatan Komunis di Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia. Inilah partai politik di Hindia Belanda yang pertama kali menggunakan istilah ”Indonesia” di namanya.
Rakyat kebanyakan di Hindia Belanda tidak terlalu peduli politik. Namun, dekade 1920 juga super istimewa dalam kehidupan sehari-hari mereka. Pada masa itu terjadi ledakan awal budaya pop di Tanah Air.
Rakyat kebanyakan di Hindia Belanda tidak terlalu peduli politik. Namun, dekade 1920 juga super istimewa dalam kehidupan sehari-hari mereka. Pada masa itu terjadi ledakan awal budaya pop di Tanah Air. Seperti juga nasionalisme, budaya pop di Hindia Belanda bisa bertumbuh subur berkat meluasnya sebaran koran dan majalah, siaran radio, pertunjukan teater yang berkeliling ke berbagai kota dan tontonan film.
Berbagai ragam media massa tersebut menyebarkan tidak hanya berita dan fantasi baru dari benua lain. Juga iklan peralatan rumah tangga listrik serta opini tentang kesehatan dan gaya hidup moderen. Kurun masa ini menghadirkan generasi pertama Indonesia penikmat sepeda, trem, mobil, dan kereta api di kota berselera metropolitan.
Sastra pop yang dikenal dengan istilah ”roman picisan” tumbuh subur pada masa ini. Film Loetoeng Kasaroeng (1926) kini dirayakan sebagai film cerita pertama Indonesia. Grup teater atau ”opera Melayu” bernama Orion (1925-1942) dan Dardanella (1926-1936) sangat populer pada dekade 1920-an. Sebagian primadona di panggung mereka (Miss Riboet, Dewi Dja’ dan Tan Tjeng Bok) menjadi generasi awal bintang sinema dalam perfilman Indonesia.
Dekade 1920-an mungkin masa paling meriah dalam satu abad terakhir. Kemeriahan itu berakhir ketika pasar saham Amerika ambruk tahun 1929. Namun, berbagai warisan dahsyat dari dekade 1920-an tetap merebak tak terbendung melintasi berbagai benua dan peralihan abad. Misalnya musik jazz, lipstik, kulkas, televisi, dan lampu merah-kuning-hijau pengatur lalu lintas kendaraan di persimpangan jalan.