Era Baru Flu Burung
Terjadi perubahan besar pada genetika virus flu burung H5N1 dengan penyebaran lebih banyak terjadi pada burung liar.
Ilustrasi/Heryunanto
Kita tentu tidak lupa pada pandemi flu burung (Avian influenza) yang meluas ke Asia, Eropa, dan Afrika dalam 20 tahun terakhir. Data Organisasi Kesehatan Hewan Dunia atau WOAH antara tahun 2005 dan 2019 menunjukkan 76 negara telah tertular flu burung strain H5N1 dengan 18.620 kejadian wabah pada unggas dan menyebabkan pemusnahan lebih dari 200 juta unggas.
Meskipun virus flu burung H5N1 tidak menular secara signifikan dari manusia ke manusia, secara global sejak 2003 penyakit ini telah menyebabkan 878 kasus pada manusia, sebagaimana dilaporkan oleh 23 negara. Dari kasus itu, sebanyak 458 kasus (52 persen) di antaranya menyebabkan kematian.
Wabah flu burung H5N1 pada unggas di Indonesia pertama kali dilaporkan pada Januari 2004 dan mencapai puncaknya pada 2007. Penyebarannya terkonfirmasi di sebanyak 31 provinsi, menyebabkan kematian lebih dari 16 juta unggas dan situasi penyakit telah menjadi endemik.
Kasus flu burung di Asia (termasuk Indonesia) menunjukkan penurunan, tetapi sejak 2021 terjadi peningkatan aktivitas virus H5N1 secara global. Hal ini menimbulkan era baru yang telah mengakibatkan kematian massal pada burung liar dan unggas, serta kejadian sporadis pada berbagai hewan mamalia, seperti beruang dan rubah liar, di banyak negara Eropa dan Amerika Utara.
Penemuan terbaru yang mengejutkan pada Januari 2024 adalah deteksi H5N1 pada anjing laut di Pulau Georgia Selatan, dekat wilayah Antartika.
Meski sifat ekologis dan virulogis yang memengaruhi mitigasi risiko penyakit di masa depan masih belum jelas, penting untuk memikirkan langkah pencegahan dan pengendalian yang lebih baik.
Perluasan geografis sejak 2021
Sebuah penelitian yang baru saja dipublikasikan di jurnal Nature menunjukkan ada dua hal yang terjadi pada flu burung secara global. Pertama, terjadi pergeseran episentrum wabah flu burung dari Asia ke luar Asia. Kedua, terjadi perubahan besar pada genetika virus flu burung H5N1 dengan penyebaran lebih banyak terjadi pada burung liar.
Selama 2021-2022, flu burung H5N1 telah membunuh jutaan burung liar di seluruh Eropa dan Amerika Utara, serta tercatat sebagai wabah terburuk sepanjang sejarah. Tingkat kematian sangat tinggi terjadi di antara burung liar, tetapi tidak diketahui berapa banyak yang bertahan hidup dan memperoleh kekebalan alami.
Pada 2020, sebuah virus H5N1 baru, yaitu klad 2.3.4.4b, muncul dari virus influenza tipe A H5Nx yang bersirkulasi sebelumnya dan menyebar terutama melalui burung-burung migran ke banyak wilayah di Afrika, Asia, dan Eropa. Virus H5N1 baru ini berevolusi melalui mutasi genetik pada burung liar di Eropa, kemudian bermutasi lebih lanjut dengan virus flu burung yang patogenisitasnya rendah, baik pada unggas liar maupun domestik, selama penyebaran global.
Lebih dari 11.300 wabah virus H5N1 klad 2.3.4.4b dilaporkan oleh 73 negara ke WOAH sejak Januari 2022. Indonesia juga mendeteksi klad ini pada itik di Provinsi Kalimantan Selatan, April 2022.
Sampai saat ini, di Amerika Serikat (AS), H5N1 telah terdeteksi pada burung liar di 14 negara bagian serta pada unggas komersial dan belakang rumah di 13 negara bagian.
Otoritas berwenang di AS mengatakan bahwa risiko bagi kesehatan masyarakat dinyatakan rendah dan masih dianggap hanya sebagai isu kesehatan hewan. Sejumlah 58 juta unggas domestik terinfeksi atau dimusnahkan untuk menghentikan penyebaran infeksi di AS.
Dari pengamatan tersebut, para ilmuwan menyimpulkan bahwa ketahanan virus H5N1 pada burung liar memfasilitasi perluasan geografis dan jangkauan inang, meningkatkan kecepatan berpencar ke lingkungan baru, dan menaikkan potensi mutasi genetik.
Jangkauan inang baru
Hal yang mengkhawatirkan dari varian baru H5N1 yang muncul pada 2020 adalah ia tak hanya menyebar di antara unggas, tetapi juga telah menyebar ke hewan lain di luar unggas. Pertanyaannya, apakah ilmu pengetahuan dan teknologi bisa memprediksi mengapa virus H5N1 kemudian terdeteksi di luar inang alamiahnya?
Pertama kali virus H5N1 dikaitkan dengan hewan mamalia adalah setelah adanya kematian anjing laut pada Februari 2022 di AS. Pada Oktober 2023 terjadi wabah H5N1 di sebuah peternakan cerpelai di Spanyol. Tidak jelas bagaimana cerpelai terpapar, tetapi hewan-hewan tersebut diberi makan produk sampingan unggas.
Virus H5N1 terdeteksi juga pada singa laut di lepas pantai Peru pada Februari 2023. Beruang liar, rubah, dan sigung yang memangsa atau mengais burung-burung di AS, Kanada, dan beberapa negara di Eropa telah diuji dengan hasil positif terhadap virus H5N1.
Mengingat virus H5N1 dapat bersifat mematikan bagi burung, mamalia, dan manusia, para peneliti harus terus memantau dengan cepat setiap laporan kasus baru. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, virus H5N1 tidak memiliki kemampuan mengikat reseptor pada saluran pernapasan bagian atas manusia sehingga tidak mudah menular ke manusia.
Fakta menunjukkan bahwa diperlukan konsensus internasional untuk melakukan respons terkoordinasi di tingkat global dan regional dengan melibatkan semua pemangku kepentingan.
Hal yang mengkhawatirkan saat ini adalah varian baru H5N1, klad 2.3.4.4b, yang sebelumnya tidak hanya menyebar di antara burung, tetapi juga telah menyebar ke spesies hewan lain, termasuk manusia.
Tujuh kasus manusia terinfeksi varian baru ini dilaporkan ke WHO antara Januari 2022 dan Maret 2023 di lima negara (AS, Inggris, Spanyol, Ekuador, dan China).
Ahli virus molekuler, Wendy Puryear, dari Universitas Tufts, menyatakan, meski virus flu burung saat ini dianggap berisiko rendah bagi manusia, virus apa pun yang mampu mereplikasi diri dan berevolusi dengan cepat, serta mampu menginfeksi banyak hospes yang berbeda, hanya soal waktu sebelum meledak.
Respons terkoordinasi
Sebagai antisipasi terhadap perubahan situasi ini, ada kebutuhan yang nyata untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang virus flu burung yang didorong oleh situasi global saat ini. Meski sifat ekologis dan virulogis yang memengaruhi mitigasi risiko penyakit di masa depan masih belum jelas, penting untuk memikirkan langkah pencegahan dan pengendalian yang lebih baik.
Fakta menunjukkan bahwa diperlukan konsensus internasional untuk melakukan respons terkoordinasi di tingkat global dan regional, dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Respons yang mengarah pada pengurangan beban wabah flu burung pada spesies unggas domestik dan burung liar adalah melalui penerapan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian, serta memastikan perdagangan unggas dan produk unggas yang aman.
Baca juga: Virus Flu Burung Terus Bermutasi, Risiko Penularan ke Manusia Meningkat
Di samping itu, penyebaran flu burung dapat ditekan semaksimal mungkin dengan menerapkan langkah-langkah biosekuriti yang ketat di sepanjang rantai pasokan unggas.
Namun, biosekuriti harus selalu digabungkan dengan langkah-langkah lain, seperti sensitisasi di antara berbagai pemangku kepentingan, peningkatan upaya surveilans, dan pelaporan wabah yang tepat waktu kepada otoritas berwenang.
Tri Satya Putri Naipospos,Ketua Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner, dan Karantina Hewan Kementerian Pertanian