Masih Soal Kebebasan Pers
Media pers memang tidak lagi menghadapi kekuasaan fasis-militeristik, tetapi ancaman dari faktor obyektif pasar.
Kebebasan pers tetap relevan untuk dibicarakan. Nilai ini landasan bagi kehadiran media pers (koran, penyiaran, dan portal berita daring) yang beroperasi melayani publik dengan jurnalisme demi obyektivitas dan kebenaran faktual.
Hal ini mengandung dua aspek sebagai prasyarat untuk jurnalis bekerja: ”bebas dari”, yaitu kemerdekaan media pers dari kendali kekuasaan eksternal, dan ”bebas untuk”, yaitu otonom bertindak berdasarkan moral rasional pelaku jurnalisme.
Proses membangun standar profesionalitas jurnalis menjadi bagian dalam mewujudkan otonomi sebagai pilihan pribadi. Perlawanan untuk mewujudkan kemerdekaan dari kekuasaan negara merupakan cerita klasik dalam sejarah pers. Namun, jarang dilihat bahwa hak moral ”bebas untuk” dapat terdistorsi oleh faktor internal akibat kepentingan di luar orientasi jurnalisme.
Artinya, tekanan pada jurnalis tidak datang dari luar, tetapi dari dalam ekosistem pers sendiri.
Jurnalis partisan
Marilah belajar dari masa lalu. Kehadiran pers nasional seiring dengan perjuangan kemerdekaan melawan kekuasaan kolonial. Para aktivis menjadikan media pers berfungsi instrumental guna mendidik publik dalam kesadaran berbangsa.
Posisi hitam putih antara nasionalisme dan kolonialisme menjadi pembeda pers nasional dari pers kolonial. Dengan demikian, media pers tak hanya menyampaikan fakta atas dasar obyektivitas, tetapi lebih dari itu juga berpretensi mencatat semangat zaman berkaitan dengan cita-cita untuk terbebas dari ketertindasan. Ini dipandang sebagai kebenaran yang mendasari sikap partisan.
Mungkin frustrasinya kaum jurnalis di lingkungan korporasi yang bersikap partisan sama halnya dengan kekecewaan publik atas angin media pers yang berubah-ubah.
Tidak ada modal besar berinvestasi serta dana iklan yang membayangi sehingga media pers tidak terkontaminasi dengan kepentingan subyektif di luar orientasi perjuangan. Yang ada hanyalah hubungan dengan publik bersifat konkret, sebab kelangsungan media pers sepenuhnya bersandar pada khalayak yang menghidupinya.
Khalayak mendukung media secara materiil berdasarkan kepercayaan kepada para jurnalis yang notabene dikenal sebagai aktivis perjuangan. Artinya, sosok personal jurnalis adalah faktor kunci bagi keberadaan media pers. Dari sini pula rezim kolonial menjalankan represi, mulai dari penangkapan dan pembuangan (exile) jurnalis, dan sering disertai pembredelan media pers.
Dukungan kecerdasan
Berakhirnya penjajahan asing bukan berarti media pers dapat menikmati kebebasan dari represi. Karakter kekuasaan negara yang dihadapi jelas berbeda, tetapi secara substansial tidak berubah.
Seusai demokrasi parlementer, Orde Lama di bawah Soekarno berjalan singkat. Namun, pers dipaksa sebagai media organik bagi kekuatan politik atau institusi negara sebagai ciri totalitarian negara yang ingin diwujudkan Soekarno.
Selanjutnya, selama puluhan tahun, media pers dibayangi kekuasaan fasis-militeristik Orde Baru. Manakala sekarang ada yang merindukan kembalinya Orde Baru, tentulah bukan represinya itu. Pada masa Orde Baru ala Soeharto, media pers harus lihai berkelit dari tekanan. Kompas yang dijalankan dengan hati-hati dan santun toh tergelincir jua, pernah terkena larangan terbit.
Di satu sisi berhati-hati, sementara pada sisi lain harus mengubah format. Media pers yang digerakkan primadona personal jurnalis pejuang sudah tidak sesuai bagi pasar media. Untuk itu, media tidak lagi bertolak dari personalitas sosok jurnalis pejuang, tetapi organisasi dengan kebijakan manajemen keredaksian (newsroom policy).
Media pers memasuki era baru, sebelah kaki waspada di ranah politik dan sebelahnya ekspansi di ranah bisnis. Orientasi keredaksian dibangun dengan personalitas media yang bertumpu pada kredibilitas institusional, yaitu kepercayaan bahwa media pers memenuhi kepentingan publik atas informasi.
Pada masa kolonial, hubungan media dengan publik berdasarkan solidaritas kesamaan semangat dan kepercayaan pada individu aktivis perjuangan, sedangkan pada era Orde Baru media pers membangun hubungan sosiologis dengan khalayak berdasarkan rasionalitas atas kredibilitas pers sebagai institusi sosial. Hubungan bersifat rasional, bukan atas dasar solidaritas emosional.
Dalam melayani publiknya, media pers memberikan informasi sesuai standar kelayakan jurnalisme yang bertumpu pada obyektivitas dan kebenaran faktual. Ini tidak mudah di bawah pengawasan ketat penguasa atas pemberitaan. Pengendalian alam pikiran publik merupakan ciri rezim fasis-militeristik.
Corak rezim negara dapat berganti, karena itu tetap diperlukan media pers sebagai institusi sosial dalam kehidupan sebagai pencatat sejarah zaman.
Beruntungnya, media pers didukung oleh kelas menengah terdidik yang secara intelektual merasa tertindas di bawah hegemoni rezim fasis-militeristik. Dengan kecerdasan, khalayak media dapat menemukan substansi fakta dengan membaca di antara baris (read between the lines) dari pemberitaan yang terkekang oleh kekuasaan negara. Kelas inilah pasar bagi bisnis media pers sepanjang Orde Baru.
Disrupsi pascakebenaran
Berkah reformasi pasca-Orde Baru adalah lenyapnya ancaman pembredelan. Karena itu, media pers sepenuhnya dapat menjalankan orientasi dalam operasi jurnalisme, yaitu menyampaikan informasi faktual yang penting dan menarik, dalam kerangka kaidah jurnalisme demi obyektivitas-kebenaran. Fakta dapat bersifat eksplisit dan khalayak tidak perlu menafsir-nafsir berita.
Media pers memang tidak lagi menghadapi kekuasaan fasis-militeristik, tetapi kini harus mempertahankan kehidupan dari ancaman yang datang dari faktor obyektif pasar. Masalah besar yang harus dihadapi adalah perubahan pola komunikasi dalam arus besar Revolusi 4.0 yang membawa disrupsi dari kemajuan teknologi digital.
Media digital daring menjadi kompetitor bagi media pers konvensional. Pers konvensional tak pelak ikut menghadirkan diri sebagai media daring. Ada yang berhasil mengambil kemanfaatan dari bisnis media baru ini, tetapi tak kurang yang hidup segan mati tak mau.
Persoalan bukan sekadar disrupsi bisnis pasar media, melainkan juga dari aspek sosial. Tumbuh pesatnya teknologi digital berbasis internet melahirkan produsen informasi individual lewat media sosial. Informasi lahir dari ujung jari setiap orang, tidak lagi melalui gerbang yang dijaga secara ketat dengan kebijakan keredaksian yang dijalankan kaum profesional demi kebenaran dan obyektivitas faktual.
Ilustrasi/Heryunanto
Seraya itu, bertumbuh budaya baru dengan alam pikiran yang dibentuk oleh informasi digital, yaitu nilai pascakebenaran (post-truth). Bagi khalayak, komunikasi bukan sebagai sarana untuk mendapatkan kebenaran faktual, melainkan sebagai pembenaran keyakinan.
Dua ranah bertarung, satu sisi faktualitas dan rasionalisme yang dikembangkan dengan jurnalisme, dan sisi lain keyakinan yang dipupuk melalui eksklusivitas dalam interaksi di media sosial. Khalayak cerdas yang rela bersusah payah mencari kebenaran faktual telah sirna. Di sini kita menyaksikan bagaimana kaum terdidik, bahkan dari kalangan kampus, semakin banyak dengan alam pikiran yang dipenuhi doktrin.
Media sosial jadi ajang untuk mengaktualisasikan posisi dalam politik identitas eksklusif. Sikap partisan terbentuk atas dasar kedekatan emosional, bukan dari penilaian rasional atas fakta.
Dengan demikian, media pers dengan orientasi kebenaran obyektif kehilangan peranan sebab publik hidup dengan media sosial yang eksklusif bagi subyektivitas kelompok masing-masing. Begitu pun menuntut agar media pers konvensional bersikap partisan sesuai dengan preferensi kelompoknya.
Menghadapi faktor eksternal dengan media sosial dan nilai pascakebenaran, mungkin kaum profesional jurnalisme sedia untuk memeranginya. Berbeda halnya jika harus berperang dengan diri sendiri, yaitu terdistorsinya ”bebas untuk” bagi jurnalis akibat orientasi partisan yang didiktekan kekuasaan di lingkungan sendiri.
Informasi lahir dari ujung jari setiap orang, tidak lagi melalui gerbang yang dijaga secara ketat dengan kebijakan keredaksian yang dijalankan kaum profesional demi kebenaran dan obyektivitas faktual.
Pemilik kebebasan pers
Media pers yang digerakkan para profesional jurnalis berupaya menjaga diri agar bisa memenuhi fungsi institusi sosial, tak menempatkan diri sebagai media organik bagi institusi politik dan korporasi tertentu. Ini prasyarat bagi media pers dalam menjalankan fungsinya secara merdeka atas dasar rasionalisme, dalam menetapkan pilihan bersikap seimbang ataupun kritis dalam menghadapi fakta perilaku di ruang publik.
Meski demikian, sulit menjaga diri atas kemungkinan terseret ke dalam lingkungan politik dan korporasi yang menjadi sumber kekuasaan pemilik media. Orientasi atas dasar kebebasan pers tidak dapat dipertahankan karena pemilik media yang menjadi pemain atau berpretensi sebagai king maker di habitat politik mendikte jurnalis.
Jadi, ancaman bagi kaum profesional jurnalisme bukan lagi represi rezim negara, melainkan dari inang yang menyusuinya. Kecenderungan orientasi yang terseret dengan kepentingan subyektif ini dapat membuat kebijakan keredaksian terpengaruh dalam sikap partisan. Ini ditandai pemberitaan yang berlebihan atau sebaliknya mengabaikan fakta.
Dengan orientasi yang terbentuk akibat kepentingan subyektif pemilik, tidak ada yang melindungi kebebasan pers dalam lingkup organisasi media semacam ini. Dewan Pers, lembaga suprastruktur ekosistem pers, pun tidak dapat menjangkau. Sebab, dalam pandangan konvensional, ancaman kebebasan pers hanya dikaitkan dengan rezim negara.
Baca juga : Berkah dari Disrupsi Digital
Mungkin frustrasinya kaum jurnalis di lingkungan korporasi yang bersikap partisan sama halnya dengan kekecewaan publik atas angin media pers yang berubah-ubah. Saat mendukung rezim memuja tanpa reserve, sebaliknya jika sedang berseberangan mencari peluang setitik apa pun untuk menghujat.
Sikap partisan didasari kepentingan pragmatisme politik. Terseret dengan kepentingan subyektif kiranya merugikan bagi keberadaan media pers. Tetapi bagi pemilik media yang menjadi tycoon dalam rantai bisnis lain yang lebih besar, tentu tidak menjadi soal.
Publik dan kaum profesional jurnalisme yang berharap masih adanya kebebasan pers akan kehilangan nilai yang diperjuangkan puluhan tahun. Corak rezim negara dapat berganti, karena itu tetap diperlukan media pers sebagai institusi sosial dalam kehidupan sebagai pencatat sejarah zaman.
Ashadi Siregar, Novelis dan Pengajar Jurnalisme