Orang memilih cara pintas, meski membahayakan keselamatannya, untuk mencapai tujuan dengan cepat dan mudah.
Oleh
AHMAD NAJIB BURHANI
·5 menit baca
Budaya antre belum sepenuhnya menjadi bagian dari kehidupan kita. Masih banyak dijumpai kebiasaan saling serobot dan saling potong di jalan raya. Kini, kebiasaan buruk lain mulai mentradisi atau menjadi budaya, yaitu melawan arah.
Polres Metro Jakarta Selatan sudah memetakan 31 titik yang banyak terjadi pelanggaran lalu lintas dalam bentuk melawan arus. Berbagai kasus tabrakan telah terjadi, seperti yang disebut dengan ”adu banteng” dan juga kejadian di Lenteng Agung yang melibatkan sejumlah kendaraan bermotor yang ditabrak truk pada 22 Agustus 2023. Sepeda motor melajut cepat dengan melawan arah di jalan layang non-tol pun bukan sesuatu yang asing. Tabrakan antara pengendara sepeda motor dan mobil pada Minggu (18/2/2024) di Jalan Layang Casablanca adalah contohnya.
Berkaitan dengan kecelakaan yang terus terjadi, umumnya kesalahan ditujukan kepada pengendara sepeda motor yang melakukan lawan arah tersebut. Namun, berkendara secara melawan arah bisa saja dipahami sebagai sebuah protes terhadap pengaturan lalu lintas.
Orang memilih cara pintas, meski membahayakan keselamatannya, untuk mencapai tujuan dengan cepat dan mudah. Ini lebih dipilih daripada mengikuti alur yang benar, dalam pemahaman pengatur jalan raya, tetapi berbelit-belit dan membutuhkan waktu lama. Dari sedikit demi sedikit, tindakan ini pada ujungnya melahirkan budaya negatif yang kemudian sulit untuk dihapuskan.
Selain menunjukkan budaya tak disiplin, tindakan ini juga menunjukkan ketidakteraturan di masyarakat. Kalau mobil dengan pelat khusus bisa melanggar aturan tanpa dikenai hukuman, kenapa sepeda motor yang dipakai rakyat jelata tidak bisa? Jadi, tak sepenuhnya kebiasaan buruk ini lantas dilontarkan dosanya hanya kepada para pengendara sepeda motor.
Kasus lawan arah, misalnya, terjadi pada jalan yang dibuat searah atau tidak ada tempat putar balik. Karena jalannya dibuat satu arah, sementara pengendara hanya ingin menuju ke tempat yang sekitar 500 meter di belakang posisinya, maka yang dilakukan adalah melawan arus. Jika mengikuti aturan, pengendara sepeda motor harus berputar sejauh 3 kilometer atau lebih dan ikut terjebak dalam kemacetan panjang.
Ini terjadi rutin di sekitar Slipi Jaya dari arah Tanah Abang. Jika mengikuti aturan, pengendara sepeda motor di Jalan Slipi I ke arah Tanah Abang dan ingin menuju Jalan S Parman, ia harus berputar arah di Stasiun Tanah Abang yang berjarak sekitar 3 kilometer dan terpaksa masuk dalam kemacetan yang cukup panjang.
Di tempat lain, jika ingin menuju Legoso dari arah Pasar Ciputat, pengendara harus berputar hingga ke Gintung yang berjarak lebih dari 2 kilometer. Padahal, sebelumnya ada lebih dari tiga tempat berbelok atau putar balik. Selain boros bahan bakar dan menambah macet, ini juga langkah yang tidak efektif.
Melawan arah kadang dianggap menjadi solusi problem klasik transportasi di Jakarta, yaitu kemacetan. Banyak sekali mobil dengan pelat yang bukan hitam, atau sekarang menjadi putih, yang minta diistimewakan di tengah kemacetan. Banyak yang memilih sepeda motor karena ”the law of flexibility, filling space, cutting across lines, swarming at the intersection always beyond the borderlines of traffic” (Doren Lee 2015, 245). Motor bisa melewati kemacetan dengan melewati sela-sela mobil, lewat gang-gang sempit, langsung di baris paling depan saat lampu merah, dan sekarang bisa melawan arah.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi kemacetan. Namun, meski pemerintah sudah silih berganti, problem kemacetan di Jakarta belum juga teruraikan. Kadang ada pandangan menyesatkan bahwa kemacetan merupakan tanda kesejahteraan. Bahwa rakyat sudah banyak yang mampu membeli mobil. Pandangan menyesatkan lain yang muncul karena hilangnya optimisme terhadap perbaikan lalu lintas adalah ungkapan: ”Kalau tidak macet, itu bukan Jakarta”. Dengan kondisi jalan rayanya yang penuh dengan kemacetan dan polusi, Jakarta sebetulnya tak lagi layak disebut sebagai kota modern.
Para pejabat barangkali tak terlalu merasakan kemacetan itu karena mereka tinggal duduk manis di mobilnya sambil melihat atau menulis status di media sosial atau mengerjakan pekerjaan lain. Bahkan, menteri atau pejabat setingkat menteri dan wakil-wakilnya sama-sekali tak merasakan kemacetan karena dikawal patwal atau dengan menggunakan nomor khusus yang seakan boleh melanggar aturan di jalan. Ironisnya, jalanan di Jakarta seperti dipenuhi oleh mobil dinas atau pelat khusus tersebut. Bahkan, truk atau bus militer atau polisi yang tak ada penumpangnya atau disewa pelajar untuk acara tamasya sekalipun minta diistimewakan di jalanan dengan menyalakan lampu strobo dan klakson yang memekakkan telinga.
Persoalan lain yang terlihat berkorelasi dengan kemacetan dan lawan arus adalah kebijakan pemerintah terkait penjualan kendaraan, termasuk sepeda motor. Seperti ditulis dalam ”Ironi Negeri Sepeda Motor” (Kompas, 3/9/2023), pemerintah seperti terus mendorong penjualan kendaraan, bukan membatasi. Sekitar 85 persen pasar sepeda motor dunia itu ada di Asia. Ketika ada kebijakan ganjil dan genap, orang lantas beramai-ramai membeli kendaraan dengan nomor yang berbeda, ganjil dan genap sehingga bisa mengatasi persoalan terkait aturan tersebut. Padahal, dia tak punya garasi di rumahnya yang bisa menampung dua mobil.
Hal yang paling parah adalah proses pembuatan surat izin mengemudi (SIM) yang bisa dilakukan secara instan atau melalui calo. Tidak ada proses pembelajaran tentang aturan jalan raya dalam proses itu. Karena itu, banyak sekali pengendara yang hanya mengetahui cara menjalankan kendaraan tanpa memahami aturan berkendara. Ini sangat berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan dan kemacetan, misalnya truk-truk besar mengambil jalur tengah atau bahkan di jalur cepat di jalan tol. Atau pengendara dengan kecepatan rendah berada di lajur kanan di jalan tol. Di beberapa negara, untuk memiliki SIM berkendara itu membutuhkan waktu dan tes berulang-ulang sehingga pengendara paham dan mengerti aturan lalu lintas dan berkendara dengan benar, termasuk melakukan parkir yang benar.
Terakhir, ada dua hal yang penting ditekankan dan dinyatakan secara eksplisit di sini. Pertama, melawan arus itu salah dan tak ada alasan pembenaran. Sebagian pengguna jalan memang dirugikan karena harus memutar jauh, akan tetapi hal itu untuk kepentingan pengguna jalan lain yang jumlahnya lebih besar.
Kedua, penyelesaian kasus lawan arus adalah soal yang bersifat struktural dan sistemik. Struktural terkait dengan pengistimewaan golongan tertentu dan sistemik terkait ketiadaan etika dan peraturan berkendara yang menjadi acuan bersama. Hal terakhir ini terkait misalnya pembiaran pelanggaran (penggunaan rotator dan sirene) dan proses pembuatan SIM yang tak mendidik masyarakat untuk berkendara secara baik.
Ahmad Najib Burhani, Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)