Utopia Swasembada Garam
Untuk terwujudnya swasembada garam, peraturan setingkat perpres dinilai belum memadai.
Peraturan Presiden Nomor 126 Tahun 2022 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional menetapkan batas waktu paling lambat 2024 bagi penutupan keran impor garam untuk pemenuhan kebutuhan nasional di luar industri chlor alkali plant dan menggantikannya dengan produksi garam lokal dari petambak dan industri garam domestik. Namun, ada risiko besar perpres tak efektif.
Ketidakefektifan perpres itu disebabkan oleh masih rendahnya pasokan garam produksi lokal sehingga diperlukan solusi yang berkelanjutan bagi terciptanya lingkungan yang mendukung terwujudnya swasembada garam.
Perpres memiliki semangat meningkatkan kesejahteraan petambak berikut keluarganya dan pihak-pihak terkait (pedagang, industri garam skala UMKM, dan badan usaha besar) yang diperkirakan mencapai populasi empat juta jiwa. Perpres juga dimaksudkan untuk menekan penggerusan devisa dari impor garam.
Persoalannya adalah pasokan garam produksi lokal dari petani garam dan badan usaha selama ini masih sangat rendah, yakni hanya mampu menutup sekitar 30 persen kebutuhan garam nasional.
Dominasi garam impor
Kebutuhan garam untuk konsumsi dan industri secara nasional sejak tahun 2020 telah mencapai 4 juta ton lebih setiap tahun. Indonesia mengalami defisit garam dan mengimpor lebih dari 2,5 juta ton per tahun sejak 2017. Impor tahun 2022 mencapai 2,76 juta ton.
Mengutip data BPS, selama periode 2017-2022, Indonesia mengimpor 16,2 juta ton garam dengan nilai 596,16 juta dollar AS, atau hampir 100 juta dollar AS (Rp 1,5 triliun) setiap tahun, dari negara importir utama, Australia dan India.
Untuk terwujudnya swasembada garam, peraturan setingkat perpres dinilai belum memadai.
Garam impor lebih unggul daripada garam lokal dari seluruh aspek, seperti kualitas dan harga. Kualitas garam impor umumnya sudah mendekati standar kualitas garam industri yang harga jualnya jauh lebih tinggi (sekitar 250 persen) dari garam lokal (krosok). Harga garam impor juga jauh lebih murah dari garam krosok, yakni Rp 438.411-Rp 669.569 per ton pada periode 2017-2022, sedangkan harga garam krosok Rp 1 juta-Rp 1,2 juta per ton.
Bahkan, setelah diperhitungkan biaya transportasi dan bea impor, harga garam impor masih lebih murah dibanding garam krosok. Dengan demikian, importir mendapat keuntungan sangat besar dari kuota dan realisasi impor yang dilakukan.
Perpres dan produksi lokal
Perpres No 126/2022 menentukan 12 jenis kebutuhan garam, kecuali jenis chlor alkali plant (CAP), akan ditutup keran impornya dan digantikan garam lokal. Perpres itu mencantumkan rencana aksi, terutama untuk mendorong terbentuknya sentra ekonomi garam rakyat di 10 provinsi dengan pendanaan dari APBN dan APBD.
Meski demikian, rencana aksi tersebut belum mengatur lebih spesifik mengenai sanksi bagi para pelanggar ketentuan, dan target kuantitatif, seperti perluasan tambak dan target produksi garam lokal.
Kebutuhan garam nasional tahun 2023 berdasarkan Neraca Garam (Kementerian Perindustrian) sebesar 4,5 juta ton. Rinciannya adalah kebutuhan industri pengolahan 3,7 juta ton dan konsumsi 800.000 ton.
Kementerian Perdagangan memperkirakan kebutuhan garam nasional meningkat 7-8 persen per tahun dengan volume impor 2,9 juta ton dan sekitar 70 persen untuk industri CAP. Dengan demikian, target produksi garam lokal berdasarkan Perpres No 126/2022 minimal 1,6 juta ton per tahun pada tahun 2023.
Target penutupan keran impor melalui peningkatan volume produksi garam lokal sebagaimana tujuan Perpres No 126/2022 diperkirakan tak tercapai pada 2024. Produksi dan luas lahan petambak cenderung stagnan dari waktu ke waktu dan bukan lagi usaha yang menarik bagi penduduk, khususnya di kalangan pekerja muda.
Produksi petambak dan badan usaha diperkirakan hanya sekitar 1 juta ton garam krosok setiap tahun (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2021). Produksi itu berasal dari periode panen Juli-November atau 4-5 bulan, tergantung lama musim kemarau.
Luas tambak garam petambak dan badan usaha secara nasional diperkirakan 31.000 hektar dan penambahan luas hanya terjadi pada badan usaha yang memiliki luas lahan sekitar 6.000 hektar dengan sekitar 85 persen lahan dimiliki PT Garam (Persero).
Peningkatan teknologi pengelolaan garam dan perluasan tambak belum menjadi prioritas utama sejumlah kementerian terkait. Dari pantauan ke sentra garam di sepanjang pantai utara Jawa (Indramayu hingga Rembang), teknologi garam rakyat relatif tidak banyak berubah dibanding masa Indonesia sebelum merdeka.
Sebagian tambak sudah menggunakan geomembran untuk meningkatkan produktivitas, tetapi teknologi tradisional proses garam dan penggunaan air laut dengan memanfaatkan pasang naik dan rob laut masih mendominasi proses produksi garam.
Bahkan, setelah diperhitungkan biaya transportasi dan bea impor, harga garam impor masih lebih murah dibanding garam krosok.
Teknologi yang memungkinkan lama panen lebih lama (lebih dari lima bulan) masih sebatas uji coba dan belum dilakukan secara masif. Peningkatan nilai tambah garam krosok menjadi garam industri melalui pemberian hibah mesin pada koperasi unit desa (KUD) baru sebatas proyek percontohan pada beberapa daerah. Sebagian besar KUD sering mengalami interupsi produksi karena kerusakan mesin.
Badan usaha yang memiliki tambak garam, seperti PT Garam (Persero), hanya mampu menghasilkan garam dengan kualitas sedikit di atas garam krosok dan belum dapat meningkatkan nilai tambah menjadi garam industri.
Beberapa badan usaha berstatus penanaman modal asing (seperti PT Cheetham Garam Indonesia) mulai merambah ke pengelolaan tambak meski luasnya belum mencapai ribuan hektar.
Kuota impor
Kuota impor diatur oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 63 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Garam. Pada Pasal 5 (1) dinyatakan bahwa garam untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku dan bahan penolong industri hanya dapat diimpor oleh perusahaan pemilik nomor induk berusaha (NIB) yang berlaku sebagai Angka Pengenal Impor Produsen (API-P) yang telah mendapat persetujuan impor garam dari menteri perdagangan.
Impor garam yang dilakukan selama ini hanya dinikmati oleh segelintir pelaku usaha yang didominasi perusahaan besar yang memproses garam industri. Dari kuota yang diterima API-P diperkirakan perusahaan-perusahaan itu mendapat porsi jumlah impor mencapai tiga kali lipat dari volume garam lokal yang mereka serap.
Perlu dilakukan kaji ulang secara mendalam terhadap pengaturan kuota impor. Selain itu, diperlukan pula keterlibatan lebih banyak pemangku kepentingan untuk meningkatkan nilai tambah garam krosok.
Tingginya rasio impor terhadap penyerapan garam lokal perlu dianalisis lebih lanjut karena menciptakan ketergantungan yang tinggi pada garam impor dan kurang mendukung peningkatan produktivitas garam lokal.
Urgensi solusi berkelanjutan
Untuk terwujudnya swasembada garam, peraturan setingkat perpres dinilai belum memadai. Perpres No 126/2022 juga tak mencantumkan kapan garam lokal bisa menggantikan garam impor untuk industri CAP yang mendominasi kebutuhan garam industri.
Memperhatikan kompleksitas berbagai faktor utama terkait—seperti produksi garam lokal yang stagnan, isu transparansi dalam pemberian kuota impor, ketergantungan pada garam impor, tercapainya swasembada garam, dan peningkatan kesejahteraan petambak—ikhtiar untuk mewujudkan swasembada garam harus diatur dalam peraturan setingkat undang-undang (UU).
Dengan demikian, UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, perlu direvisi menjadi UU terpisah untuk tujuan swasembada garam.
UU Swasembada Garam diharapkan memfasilitasi adanya cetak biru swasembada garam mengingat target swasembada yang digaungkan sejak 2015 hingga kini belum berhasil.
Cetak biru hendaknya memprioritaskan tersedianya manajemen informasi terpadu atas ketepatan jumlah produksi, penggunaan impor, dan penjualan garam secara nasional, berikut pengawasan terintegrasi atas sumber dan penggunaan garam. Selain itu, juga sanksi yang jelas dan adil (pidana dan perdata) atas pihak yang melanggar.
Teknologi yang memungkinkan lama panen lebih lama (lebih dari lima bulan) masih sebatas uji coba dan belum dilakukan secara masif.
UU Swasembada Garam hendaknya dapat mengakselerasi peningkatan produksi garam nasional yang berasal dari petambak dan badan usaha yang memiliki tambak dengan penggunaan teknologi terkini, optimalisasi tambak, dan pembukaan lahan.
Peningkatan produksi hendaknya dicantumkan kuantitasnya sesuai jadwal waktu. Di sisi lain, peningkatan nilai tambah garam menjadi garam industri oleh KUD dan badan usaha perlu didukung oleh pemerintah dan perbankan.
UU Swasembada Garam hendaknya mengatur secara komprehensif dan transparan kuota impor dengan tujuan mengurangi secara signifikan peran badan usaha skala menengah, dari waktu ke waktu.
Misalnya, tahun 2028 kuota ditargetkan menjadi di bawah 1 juta ton. Dengan demikian, ketergantungan pada impor dapat dikurangi, serta daya saing dan harga garam lokal berikut kesejahteraan petambak dan pihak-pihak terkait dengan garam dapat meningkat.
Baca juga: Impor Garam Belum Bisa Dihentikan
Irfa Ampri,Pemerhati Ekonomi Kerakyatan