Darurat Masyarakat Sipil
Tersubordinasinya parpol ke dalam politik kartel membuktikan kuatnya arus besar ekonomi pasar dan nalar industri global.
Salah satu catatan penting pasca-Pemilu 2024 adalah minimnya peran masyarakat sipil (civil society) dalam mengawal proses pemilu yang jujur, adil, akuntabel, dan terbebas dari kecurangan. Nyaris tak ada proponent sosial-politik di luar struktur negara yang berani mengambil risiko sebagai alat kontrol terhadap negara.
Kondisi semacam ini berkebalikan dengan masa Orde Baru ketika represi dan otoritarianisme pemerintah melahirkan gelombang resistensi di kalangan masyarakat sipil. Ada organisasi massa (ormas), lembaga swadaya masyarakat, agamawan, tokoh masyarakat, dan akademisi kampus yang berperan menjalankan fungsi kontrol terhadap negara hingga mereka berhasil menumbangkan rezim Orde Baru.
Memang masih ada segelintir individu yang rela mengambil ruang kosong masyarakat sipil ini. Salah satu di antaranya Gerakan Nurani Bangsa (GNB) dan sejumlah akademisi kampus yang telah menyalakan lilin harapan di tengah gulita politik bangsa (Kompas, 1/2/2024).
Eksistensi kelompok kritis yang mampu menjalankan fungsi checks and balances terhadap kekuatan negara tak dapat disangkal menjadi sine qua non yang akan memastikan demokrasi berjalan secara sehat, berkualitas, dan bermartabat.
Sayangnya, sejumlah kekuatan ormas arus utama sudah tidak berdaya, bahkan tersublimasi ke dalam kekuatan struktur negara yang semakin oligarkis dan totaliter.
Jika pemberdayaan difasilitasi oleh pemerintah, akan tiba saatnya ormas harus ’berterima kasih’ dan membalas budi baik pemerintah.
Agar tidak menjadi paradoks atau anomali bagi rakyat, kekuatan masyarakat sipil tidak boleh tersubordinasi oleh struktur negara yang oligarkis dan totaliter itu. Memang pilihan perjuangan masyarakat sipil tidak monolitik. Ada banyak jalan menuju kerja-kerja pemberdayaan masyarakat.
Dalam konteks ini, masyarakat sipil tidak harus memilih strategi oposisional vis-à-vis negara. Sekalipun tradisi politik kita tidak mengenal istilah politik oposisi, iklim demokrasi kita semestinya tidak mematikan, bahkan menyuburkan, partisipasi masyarakat sipil dalam kerja-kerja pemberdayaan warga. Tugas utama masyarakat sipil adalah sebagai kanal kepentingan warga, bukan kanal kepentingan (elektoral) negara.
Politik kartel
Meredupnya vitalitas masyarakat sipil sebenarnya hanya salah satu efek domino dari menguatnya fenomena politik kartel yang belakangan mewarnai bukan saja wajah demokrasi kita, tetapi juga mewabah secara global. Alih-alih terjadi penguatan kesipilan masyarakat, nyaris seluruh anggota masyarakat sipil telah tersubordinasi oleh jejaring politik kartel (Katz dan Mair, 2009).
Partai politik (parpol) menempatkan diri sebagai pialang politik (political broker) antara kelompok sosial masyarakat dengan negara dan kepentingan aliansi bisnis dan ekonomi. Dalam situasi semacam ini, parpol cenderung lebih sibuk dengan dirinya sendiri ketimbang melayani kebutuhan warga.
Konsep politik kartel pada awalnya muncul dari fenomena kolusi dan kompetisi antarparpol. Politik kartel mengemuka akibat ketidakmampuan parpol mengatasi kemandiriannya secara ekonomi dan politik.
Politik kartel, dengan demikian, muncul di tengah rezim politik demokrasi yang diwarnai oleh intervensi negara terhadap masyarakat politik.
Dengan menguatnya fenomena politik kartel, wajah politik menjadi lebih bersifat pragmatis, kolutif, dan totaliter. Akibatnya, kompetisi antarparpol menjadi arena pencitraan dan tontonan teatrikal ketimbang kerja-kerja pemberdayaan yang sesungguhnya.
Dengan politik kartel, kinerja negara memang menjadi lebih teknokratis dan efisien karena dibantu oleh agen-agen masyarakat sipil. Politik kartel adalah anak kandung dari rezim efisiensi dan produktivitas.
Politik kartel merepresentasikan ”kawin silang” antara kekuatan negara, ekonomi pasar, dan masyarakat politik.
Selain itu, rezim politik kartel dapat mereduksi resistensi massa dan kegaduhan sosial atas sebuah kebijakan negara yang berakibat inefisiensi. Meski demikian, politik kartel berpotensi mengebiri dan menumpulkan kapasitas masyarakat sipil sebagai katalisator kepentingan warga.
Tersubordinasinya parpol ke dalam politik kartel membuktikan kuatnya arus besar ekonomi pasar dan nalar industri global yang merambah ke wilayah struktur negara dan politik demokrasi.
Perambahan ini berkonsekuensi pada pergeseran posisi dan disfungsi masyarakat sipil dalam konteks relasi antara negara, parpol, dan warga.
Agar tidak menjadi paradoks atau anomali bagi rakyat, kekuatan masyarakat sipil tidak boleh tersubordinasi oleh struktur negara yang oligarkis dan totaliter itu.
Alih-alih mampu bertahan, terlebih melawan, elemen masyarakat sipil bahkan mengalami kesulitan beradaptasi dengan langgam politik kartel akibat perbedaan ideologi perjuangan. Tak mengherankan jika politik kartel lebih banyak ”menumbalkan” kelompok masyarakat sipil ketimbang memberdayakannya.
Harus diakui, politik kartel sebenarnya merupakan ”saudara kembar” dari politik patronase atau klientilisme (patron-client). Jika jalinan ikatan politik patronase dibangun di atas ketergantungan sosial-budaya, politik kartel terbentuk dari ketergantungan pada ekonomi pasar dan industri global.
Antara parpol dan masyarakat sipil di satu sisi dan kartel pasar di sisi lain terjalin pola relasi yang asimetris.
Keduanya sama-sama mengandaikan ketergantungan pihak klien (baca: masyarakat sipil) yang lebih inferior terhadap pihak patron (baca: negara) yang lebih superior. Tentu saja pola relasi asimetris semacam ini tidak menguntungkan bagi proses demokratisasi yang sehat di tingkat akar rumput.
Dua kluster masyarakat sipil
Di kalangan ilmuwan sosial, terdapat dua kelompok besar yang mendefinisikan masyarakat sipil secara berbeda. Foley & Edwards (1996) menggunakan istilah ”Masyarakat Sipil I” dan ”Masyarakat Sipil II” untuk merujuk dua kelompok itu.
Diilhami oleh Alexis de Tocqueville dalam bukunya, Democracy in America, ilmuwan pendukung Masyarakat Sipil I mendeskripsikan masyarakat sipil sebagai kapasitas sosial asosiatif yang membentuk jalinan sosial warga yang menopang pola-pola kesipilan (civility) dalam sebuah politik demokrasi.
Para ilmuwan sosial menyebut terbentuknya tertib kesipilan sebagai modal sosial (Robert D Putnam, Bowling Alone, 2006). Di jantung konsep MS I ini terdapat adagium ”strong social capital, strong state”. Semakin kuat modal sosial, semakin kuat pula negara.
Versi kedua, Masyarakat Sipil II, diartikulasikan secara kuat oleh sejumlah ilmuwan sosial, seperti Jacek Kuron, Adam Michnik, dan rekan-rekannya, dalam konteks strategi perlawanan arus bawah terhadap rezim komunis Polandia tahun 1980-an (Foley & Edwards, 1996).
Versi terakhir ini mengaksentuasi masyarakat sipil sebagai strategi perlawanan kelompok masyarakat non-negara terhadap negara yang represif, tiranik, dan totaliter.
Diskursus teoretik tentang masyarakat sipil agaknya lebih banyak dikuasai oleh kelompok kedua ini. Masyarakat sipil dianggap sebagai benteng perlawanan masyarakat dari perlakuan represif negara dan basis pemberdayaan akar rumput.
Dalam konteks relasinya dengan negara, Masyarakat Sipil I mengambil pendekatan lebih lunak dan kooperatif terhadap negara. Sementara itu, Masyarakat Sipil II mengambil pendekatan sebaliknya: konfrontatif dan konfliktual.
Tentu saja, perbedaan konteks ruang dan waktu meniscayakan manifestasi tampilan masyarakat sipil yang berbeda-beda antara satu negara dan negara lainnya.
Oleh karena itu, tidak ada ukuran tunggal yang bersifat one-size-fits-all tentang profil ideal masyarakat sipil untuk semua negara. Rezim demokratis tentu saja meniscayakan profil masyarakat sipil yang berbeda dari profil masyarakat sipil di negara totaliter-despotik.
Di atas itu semua, upaya merevitalisasi peran ormas tidak mungkin terjadi jika ormas masih berada dalam ’pelukan’ politik kartel.
Masyarakat sipil berbeda dari ”masyarakat politik”, seperti parpol yang tujuan akhirnya adalah memenangi kontestasi elektoral. Meski demikian, organisasi dan jejaring dalam masyarakat sipil memungkinkan mereka membentuk aliansi dengan masyarakat politik.
Dengan satu syarat: mereka tidak terkooptasi oleh masyarakat politik. Jika ini yang terjadi, mereka akan kehilangan vitalitasnya sebagai masyarakat sipil dan seketika dapat menjelma menjadi ”masyarakat politik”. Dalam kondisi demikian, masyarakat sipil akan kehilangan privilese sebagai pembela hak-hak warga.
Revitalisasi peran ormas
Di negeri ini, kita sebenarnya berharap banyak kepada ormas (baik ormas yang berbasis keagamaan maupun ormas yang berbasis non-keagamaan) untuk menjalankan fungsi masyarakat sipil dalam rangka membantu meningkatkan kesejahteraan warga.
Persoalannya adalah, hegemoni politik kartel telah mereduksi dan menghalangi kapasitas ormas dalam melakukan kerja-kerja pemberdayaan.
Akibatnya, ormas lebih mirip sebagai ”serdadu negara” (state soldiers) ketimbang sebagai ”serdadu rakyat” (people soldiers). Dalam jangka panjang, kondisi ketergantungan semacam ini dikhawatirkan dapat memudarkan marwah kesipilan ormas itu sendiri.
Di sinilah dibutuhkan upaya revitalisasi peran ormas sebagai agen masyarakat sipil untuk memampukan mereka dalam kerja-kerja pemberdayaan masyarakat. Akan lebih terhormat dan bermartabat jika ormas mampu menjalankan moda produksi ekonomi dari bawah (bottom-up), bukan atas ”jasa baik” pemerintah (top-down).
Jika pemberdayaan difasilitasi oleh pemerintah, akan tiba saatnya ormas harus ”berterima kasih” dan membalas budi baik pemerintah.
Dalam kondisi semacam ini, loyalitas ormas terhadap pemerintah dipastikan melampaui loyalitas terhadap negara.
Baca juga: Ujian Kedewasaan Politik
Baca juga: Negara Disandera Kartel Politik
Di atas itu semua, upaya merevitalisasi peran ormas tidak mungkin terjadi jika ormas masih berada dalam ”pelukan” politik kartel. Oleh karena itu, tugas berat pertama tentu saja adalah melepaskan diri dari jeratan politik kartel yang sudah sedemikian membelenggu.
Setelah itu, barulah ormas bisa merumuskan peta jalannya sendiri menuju kemandirian ekonomi, sosial, dan politik.
Dalam kondisi demikian, peran ormas sebagai penjaga demokrasi dapat digaransi dengan baik. Dalam kondisi semacam ini pula, ormas sebagai garda depan masyarakat sipil akan dapat memenangkan Indonesia. Semoga!
Masdar Hilmy, Guru Besar; Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel; Dewan Penasihat ISNU Jawa Timur