Konflik manusia versus gajah berujung amuk massa. Padahal, gajah bisa hidup berdampingan dengan manusia.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Kompas.id dan harian Kompas melaporkan, pada 26-27 Februari 2024, sejumlah orang merusak fasilitas para pegiat konservasi satwa liar di Jambi. Beberapa fasilitas yang dirusak, antara lain, kendaraan operasional Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi. Mereka juga merusak mes mitra BKSDA, Frankfurt Zoological Society (FZS), di Simpang Burut, Kecamatan Renah Mendaluh, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi.
Warga turut merusak stasiun reintroduksi orangutan (Open Orangutan Sanctuary) Danau Alo yang berada tak jauh dari mes FZS. Mereka menahan lima petugas konservasi satwa yang ada di stasiun.
Kita mendukung langkah Kepala Polres Tanjung Jabung Barat Ajun Komisaris Besar Agung Basuki yang langsung mengevakuasi para pembela konservasi satwa liar yang ditahan warga tersebut. Proses hukum sedang dilakukan dan diharapkan diselesaikan sampai ke pengadilan untuk memberi efek jera.
Kita tidak ingin para pembela konservasi satwa liar yang berusaha menjembatani konflik manusia dengan gajah itu kapok. Tidak mudah mencari orang yang peduli terhadap konservasi satwa liar yang banyak bekerja di hutan.
Konflik manusia dengan gajah di Jambi itu, menurut catatan Kompas, telah berlangsung sejak tahun 2020. Wilayah yang dijelajahi gajah merupakan ekosistem yang saling terhubung pada masa lalu dalam lanskap Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Ekosistemnya mencakup wilayah Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Namun, pembukaan lahan budidaya monokultur skala besar ataupun kecil telah memecah ekosistem itu.
Kepala BKSDA Jambi Donal Hutasoit menuturkan, kejadian berawal dari keresahan petani kelapa sawit terhadap tiga gajah di sekitar kebun garapan mereka yang berbuntut rusaknya tanaman. Tanaman kelapa sawit memang disukai gajah.
Pejabat Hubungan Masyarakat BKSDA Jambi, Zuhra, menjelaskan, ketiga gajah di sekitar lahan garapan warga itu adalah gajah jantan yang beranjak dewasa dan memisahkan diri dari kelompok untuk mencari wilayah jelajah baru. Namun, penjelajahan satwa itu terbentur pembukaan lahan.
Demi menekan konflik, petugas menggiring tiga gajah agar menjauhi kebun garapan. Namun, warga telanjur tersulut amarah sehingga berunjuk rasa hingga merusak berbagai aset konservasi satwa.
Kita tidak ingin insiden terulang. Gajah sebenarnya dapat bersahabat dengan manusia. Kita sependapat dengan Direktur FZS Indonesia Peter Pratje, seperti dikutip Kompas.com, bahwa gajah pada dasarnya dapat hidup berdampingan dengan manusia seperti di India dan Sri Lanka. FZS sudah menghabiskan waktu selama 10 tahun untuk melatih petani dan masyarakat agar terbiasa dengan gajah. Upaya ini kita hargai sehingga konflik manusia dengan gajah dapat dihindari.