Indonesia dan Mahkamah Internasional mengenai Palestina
Setiap negara dan PBB wajib memastikan kepatuhan Israel terhadap kewajiban hukum internasional.
Indonesia telah menyampaikan pernyataan lisan (oral proceeding) di depan Mahkamah Internasional di Den Haag pada 23 Februari 2024 mengenai Palestina.
Pernyataan lisan ini ditujukan sebagai masukan bagi Mahkamah Internasional (MI) dalam memberikan fatwa hukum (advisory opinion) atas kebijakan dan praktik pelanggaran hukum internasional Israel terhadap Palestina, sebagaimana diminta Majelis Umum (MU) PBB melalui Resolusi No 77/247.
Sebelum memberikan pernyataan lisan ini, Indonesia juga menyampaikan pernyataan tertulis pada Juni dan Oktober 2023. Sesuai permintaan MI, dalam pernyataan lisan dan tertulis terdapat tiga hal utama yang disampaikan Indonesia. Pertama, mengenai yurisdiksi hukum MI terhadap isu tersebut. Kedua, mengenai merit of the case (pokok perkara). Dan, ketiga, mengenai konsekuensi hukumnya.
Yurisdiksi Mahkamah Internasional
Yurisdiksi MI menjadi isu yang sangat penting. Perdebatan utama pada isu yurisdiksi adalah mengenai apakah ada alasan pemaksa (compelling reasons) bagi MI untuk tidak melaksanakan yurisdiksinya. Dengan kata lain, walaupun MI memiliki yurisdiksi, apabila ada compelling reasons, MI bisa saja tidak mengeluarkan advisory opinion yang diminta MU PBB.
Indonesia menegaskan bahwa MI memiliki yurisdiksi, dan tidak ada compelling reason yang menghalangi MI mengeluarkan advisory opinion. Dalam konteks ini, Indonesia menyanggah dengan keras pendapat yang beranggapan bahwa fatwa hukum MI akan mengganggu proses perdamaian Palestina-Israel.
Setiap negara tak boleh memberikan bantuan kepada Israel yang dapat berkontribusi bagi keberlanjutan pelanggaran ini.
Setidaknya ada tiga argumen penting Indonesia bahwa proses perdamaian Israel-Palestina bukan halangan bagi MI untuk mengeluarkan fatwa hukum.
Pertama, tidak ada proses perdamaian yang akan terganggu oleh fatwa hukum MI. Proses perdamaian Israel-Palestina telah lama mengalami jalan buntu.
Israel menghindari negosiasi dengan berbagai dalih. Israel juga secara konsisten menghalangi negosiasi solusi Dua-Negara (Two-State Solution) sesuai hukum internasional dan sejalan dengan resolusi-resolusi PBB.
Tak akan ada proses perdamaian yang membawa solusi adil, jangka panjang, dan komprehensif selama masih ada penolakan kuat Israel untuk mengakhiri tindakan kolonialismenya. Tak akan ada proses perdamaian selama satu pihak masih memaksakan kehendak ke pihak lainnya. Negosiasi usulan Israel bukan negosiasi dalam arti sesungguhnya karena ibarat dilakukan seraya menodongkan senjata ke kepala lawan bicara.
Perdamaian bagi Israel hanyalah retorika. Faktanya, Israel bahkan secara terbuka menyampaikan pengingkaran terhadap proses perdamaian. Perjanjian Oslo, misalnya, dinyatakan Israel ”batal demi hukum” (null and void).
Berbagai hal di atas menegaskan bahwa Israel tidak pernah tertarik dengan proses perdamaian apa pun.
Kedua, permintaan fatwa hukum tidak dimaksudkan untuk memutuskan solusi akhir atas konflik Israel-Palestina. Solusi komprehensif, adil, dan kekal hanya dapat dicapai melalui negosiasi langsung antara para pihak yang berkonflik. Solusi tidak dapat dipaksakan dari luar atau oleh satu pihak.
MU PBB mengajukan permintaan advisory opinion kepada MI mengenai pertanyaan hukum yang dihadapinya. MI juga hanya akan memberikan fatwa hukum mengenai konsekuensi hukum yang timbul dari pelanggaran hukum berkelanjutan oleh Israel, dan bagaimana itu memengaruhi status hukum pendudukan. Pertanyaan MI tersebut harus dipahami sebagai permintaan nasihat hukum untuk membantu MU PBB melaksanakan tugas dan fungsinya.
Ketiga, fatwa hukum MI justru akan memberikan kontribusi positif terhadap proses perdamaian komprehensif Israel-Palestina dengan menghadirkan elemen tambahan, yaitu elemen hukum. Fatwa hukum MI sangat diperlukan mengingat proses perdamaian yang sejati hanya dapat dicapai jika konsisten dengan hukum internasional. Dengan memperjelas aturan hukum terkait, fatwa MI akan membantu menguraikan kebuntuan proses perdamaian.
Singkatnya, yang disampaikan Indonesia adalah bahwa MI jelas berhak mengeluarkan fatwa dan tidak ada compelling reason yang menghalangi MI mengeluarkan advisory opinion.
Baca juga: Mengadili Israel di Pengadilan Dunia
Pokok perkara
Dalam pokok perkara, Indonesia menegaskan, rakyat Palestina memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Hak dasar ini sudah diakui hukum internasional oleh MI dalam kasus advisory opinion mengenai Tembok Pemisah tahun 2004 dan dalam berbagai resolusi Dewan Keamanan (DK) serta MU PBB.
Sejalan dengan pandangan MI, Indonesia menegaskan, pemenuhan hak itu merupakan kewajiban yang bersifat erga omnes. Dengan kata lain, semua negara mempunyai kewajiban hukum untuk menghormati dan berkontribusi untuk pemenuhan hak tersebut.
Pendudukan Israel telah menghalangi pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri bangsa Palestina. Pendudukan Israel menjadi alat untuk menindas hak-hak dasar rakyat Palestina. Hal tersebut semakin diperburuk dengan pelanggaran berbagai kewajiban dalam hukum internasional. Dalam kaitan ini, Indonesia menyampaikan beberapa argumen penting untuk dipertimbangkan MI.
Pertama, pendudukan Israel melalui kekuatan bersenjata (use of force) tidak dapat dibenarkan menurut hukum internasional. Tindakan Israel sangat bertentangan dengan larangan agresi. Larangan agresi adalah norma jus cogens dalam hukum internasional, yaitu norma dasar yang mengikat semua negara dan tidak dapat dikecualikan.
Piagam PBB secara jelas melarang penggunaan kekuatan bersenjata terhadap negara lain. Alasan Israel untuk membela diri tak bisa dibenarkan. Penggunaan kekuatan bersenjata oleh Israel juga melanggar prinsip kepatutan (principle of necessity) dan prinsip proporsionalitas (principle of proportionality).
Kedua, aneksasi ilegal atas wilayah pendudukan Palestina melanggar hukum internasional. Sebagai occupying power, Israel wajib memastikan bahwa pendudukannya bersifat sementara. Namun, sebaliknya, Israel justru menjadikan pendudukannya bersifat permanen, bahkan melakukan aneksasi terhadap wilayah Palestina.
DK PBB dalam berbagai resolusinya menegaskan prinsip hukum internasional bahwa perolehan wilayah dengan cara aneksasi tak dapat diterima. Prinsip itu diakui sebagai prinsip yang absolut, yang berlaku dalam kondisi apa pun.
Ketiga, pembangunan permukiman ilegal oleh Israel melanggar hukum humaniter internasional. Pembangunan dilakukan dengan cara memindahkan penduduknya sendiri ke wilayah Palestina dan mengusir paksa warga Palestina dari tanahnya. Pembangunan permukiman ilegal ini merupakan pelanggaran nyata terhadap Pasal 49 Konvensi Geneva Keempat 1949 di mana Israel adalah Negara Pihak.
Baca juga: Indonesia Ingatkan Komunitas Internasional Hentikan Israel
Kebijakan permukiman ilegal merupakan upaya Israel mengubah komposisi demografis penduduk di Tepi Barat. Kebijakan ini bukti ketidakpedulian Israel terhadap hukum internasional, menggambarkan intensi Israel menjadikan situasi sekarang irreversible, tak bisa dikembalikan, ke situasi sebelumnya.
Keempat, Israel telah melakukan kebijakan apartheid, yang merupakan pelanggaran berat terhadap HAM, kejahatan berat terhadap kemanusiaan.
Selaku occupying power, Israel secara hukum wajib untuk bertindak sesuai kepentingan terbaik bagi rakyat di wilayah pendudukan. Namun, sebaliknya, Israel justru menerapkan kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap penduduk Palestina demi melindungi pemukim Yahudi. Kebijakan diskriminatif dilakukan melalui berbagai peraturan hukum dan diterapkan melalui oppressive military orders. Pemberlakuan rezim hukum yang berbeda yang diterapkan secara eksklusif pada kelompok masyarakat tertentu merupakan contoh klasik kebijakan apartheid.
Konsekuensi hukum
Indonesia menegaskan bahwa tindakan ilegal Israel memiliki konsekuensi hukum, baik bagi Israel maupun negara ketiga. Penghormatan terhadap hak-hak dasar bangsa Palestina, khususnya hak untuk menentukan nasib sendiri yang secara sistematik tidak diakui oleh Israel, harus dipulihkan. MI harus menyatakan bahwa pendudukan Israel atas Palestina secara keseluruhan adalah ilegal sehingga harus segera diakhiri.
Israel harus menghentikan, tanpa syarat dan negosiasi, seluruh tindakan dan kebijakannya yang melanggar hukum di wilayah pendudukan Palestina. Pasukan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza juga harus segera ditarik. Israel juga wajib memberikan reparasi, baik kepada negara Palestina maupun terhadap rakyat Palestina.
Pihak ketiga, yaitu negara-negara lain dan juga PBB, wajib tidak mengakui situasi ilegal yang timbul dari pelanggaran hukum internasional oleh Israel.
Setiap negara tak boleh memberikan bantuan kepada Israel yang dapat berkontribusi bagi keberlanjutan pelanggaran ini. Setiap negara dan PBB juga wajib memastikan kepatuhan Israel terhadap kewajiban hukum internasional.
Indonesia, Palestina, dan sekitar 40 negara lainnya telah menyampaikan pandangan mengenai tindakan ilegal Israel. Harapan besar ada pada MI sebagai penjaga keadilan untuk mengabulkan permintaan MU PBB. Advisory opinion MI diyakini akan menjadi pedoman hukum masyarakat internasional dalam menyelesaikan secara komprehensif konflik Israel-Palestina. Sekali lagi, harapan masyarakat internasional ada pada Mahkamah Internasional!
Retno LP Marsudi,Menteri Luar Negeri RI