Tantangan Ekonomi Setelah Pilpres
Kondisi ekonomi semakin menantang. Pemerintahan Jokowi dan kandidat presiden penerusnya harus menyiapkan masa transisi.
Resepsi pesta demokrasi telah usai dengan menyisakan banyak cerita. Terlepas dari cerita dinamika kontestasi politik yang sepertinya masih akan berseri, cerita kondisi ekonomi juga harus tetap diwaspadai. Tantangan ekonomi setelah pemilihan presiden sepertinya tidaklah berkurang. Bahkan sebaliknya, sepanjang 2024 ini kondisi ekonomi diperkirakan semakin menantang.
Kondisi ekonomi setelah pilpres akan semakin dinamis dengan tingkat ketidakpastian yang semakin tinggi. Kondisi ekonomi dalam negeri yang sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja akan menghadapi turbulensi ekonomi dan gejolak geopolitik global yang semakin membesar.
Jika tidak pandai melangkah dan memilih strategi dalam menghadapi gempuran ketidakpastian global, kondisi ekonomi Indonesia bisa semakin terperosok dalam jebakan negara pendapatan menengah (middle income trap). Bahkan, Indonesia bisa saja kembali terlempar ke kelompok negara dengan pendapatan rendah yang banyak dihuni oleh negara-negara dunia ketiga. Jika hal ini terjadi, keinginan untuk menjadi negara lima terbesar ekonomi dunia tahun 2045 hanya akan tinggal angan-angan.
Baca juga: Tantangan Ekonomi Menuju 2045
Ketidakpastian ekonomi nasional
Sejak triwulan III-2023, ekonomi Indonesia sudah menunjukkan gejala yang kurang sehat. Pada triwulan III-2023 pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah mulai mengalami perlambatan dari 5,17 persen pada triwulan II-2023 menjadi hanya tinggal 4,94 persen, jauh di bawah pertumbuhan yang diharapkan.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi ini pun terus berlanjut hingga akhir 2023. Secara kumulatif, ekonomi Indonesia pada 2023 hanya tumbuh 5,05 persen, lebih rendah dari tahun sebelumnya yang sebesar 5,31 persen.
Pada awal 2024, kondisi ekonomi Indonesia belum memperlihatkan adanya gejala perbaikan. Berlimpahnya dana masyarakat yang tersimpan di lembaga perbankan tidak serta-merta tersalurkan ke sektor riil dalam bentuk kredit investasi, modal kerja, ataupun kredit konsumsi. Sebaliknya, melimpahnya dana di lembaga keuangan dan perbankan malah menjadi beban karena sebagian besarnya tersimpan dalam portfolio surat berharga milik pemerintah dan Bank Indonesia (BI).
Tingkat risiko ekonomi yang masih tinggi ditambah dengan menariknya imbal hasil yang ditawarkan instrumen portfolio keuangan menjadikan lembaga perbankan enggan menyalurkan dananya ke sektor riil. Tidak mengalirnya dana dari lembaga perbankan ini mengakibatkan pertumbuhan sektor industri tidak berjalan secepat yang ditargetkan. Bahkan, pertumbuhan konsumsi masyarakat yang diharapkan mampu mendorong permintaan ke sektor industri malah mengalami perlambatan yang sama.
Konsumsi rumah tangga yang biasanya mampu tumbuh di atas 5 persen hanya mampu tumbuh 4,82 persen pada 2023. Dengan pertumbuhan sebesar ini sangat sulit bagi komponen konsumsi masyarakat untuk mampu mendorong dan memacu kinerja sektor industri. Perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga ini semakin menguatkan keyakinan bahwa masyarakat saat ini tengah menghadapi beban hidup yang berat, yaitu penurunan daya beli.
Selain perlambatan pertumbuhan konsumsi, indikator lainnya yang mempertegas adanya penurunan daya beli masyarakat adalah penurunan yang sangat tajam dalam volume dan nilai transaksi/pembayaran elektronik, Quick Response Indonesian Standard (QRIS). Jika pada 2022 transaksi QRIS mampu tumbuh di atas 80 persen, pada akhir 2023 transaksi QRIS hanya mampu tumbuh di kisaran 30-40 persen. Bahkan, jumlah uang beredar, volume, dan nilai transaksi anjungan tunai mandiri (ATM), serta volume dan nilai transaksi kartu kredit juga mengalami penurunan yang sama.
Indikator lainnya yang mempertegas adanya penurunan daya beli masyarakat adalah penurunan yang sangat tajam dalam volume dan nilai transaksi/pembayaran elektronik.
Konsumsi masyarakat kelompok kelas ekonomi menengah yang biasanya menjadi penyelamat pada saat ini mengalami hal yang sama. Menurunnya konsumsi dan daya beli masyarakat kelas menengah ini terlihat dari data penjualan mobil pada Januari 2024. Menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil pada Januari 2024 anjlok sampai lebih dari 26 persen dibandingkan periode Januari 2023.
Turunnya daya beli kelompok masyarakat kelas menengah ini akan menambah pelemahan daya beli masyarakat secara keseluruhan karena selama ini kinerja sektor industri banyak ditopang permintaan masyarakat kelas menengah atas.
Lebih parahnya, pada waktu bersamaan cicilan utang masyarakat juga melonjak. Berdasarkan catatan BI, pada Desember 2023 proporsi pembayaran cicilan/utang (debt to income ratio) meningkat menjadi 10,0 persen dari 9,3 persen pada November 2023. Hal ini semakin memperparah kondisi keuangan masyarakat secara keseluruhan.
Penderitaan masyarakat ternyata tidak berhenti sampai di situ. Masyarakat harus kembali menanggung beban tambahan yang akan semakin menggerus daya belinya. Menjelang akhir 2023 dan awal 2024, harga bahan makanan pokok mulai merangkak naik. Beras premium langka dan hilang dari pasaran.
Baca juga: Mengenal Wajah Kelas Menengah Indonesia
Dampak dari kelangkaan ini tentu adalah kenaikan harga. Harga beras premium naik signifikan, sekitar 38,5 persen, dari yang biasanya sekitar Rp 65.000 per 5 kg menjadi sekitar Rp 90.000 per 5 kg.
Kenaikan beras premium ini mengakibatkan efek domino ke harga beras nonpremium. Beras nonpremium yang dikonsumsi sebagian besar masyarakat kelompok kelas ekonomi menengah bawah juga naik. Bahkan, komoditas pangan lainnya juga ikut terkerek naik mengikuti komoditas beras, seperti telur ayam, daging ayam, daging sapi, dan gula pasir.
Dari sisi waktu, kenaikan harga pangan ini terjadi di waktu yang tidak tepat. Setelah pilpres, mayoritas masyarakat Indonesia akan melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dan merayakan Idul Fitri.
Sudah menjadi kebiasaan di mana pada dua momen tersebut permintaan masyarakat terhadap makanan dan minuman akan meningkat dan akan mengerek harga ke tingkat yang lebih tinggi. Daftar kenaikan harga ini semakin memperpanjang catatan tantangan ekonomi setelah pilpres kemarin.
Gelombang ketidakpastian global
Ibarat taburan garam ke luka yang masih baru, gelombang ketidakpastian yang berasal dari dinamika ekonomi dan geopolitik global sepertinya akan semakin menambah penderitaan masyarakat Indonesia. Perang Rusia versus Ukraina yang tak kunjung usai, ditambah dengan meningkatnya eskalasi peperangan di Timur Tengah antara Israel dan Palestina beserta negara-negara pendukungnya, akan semakin menambah ketidakpastian ekonomi di tingkat global, kawasan, regional, sampai ke tingkat nasional.
Peperangan yang meluas telah mengakibatkan rusaknya rantai pasok komoditas energi dan pangan global. Di tengah kondisi rusaknya rantai pasok komoditas energi dan pangan dunia, tidak akan ada satu negara pun yang akan berbaik hati untuk berbagi pasokan cadangan energi dan pangannya.
Sebagaimana teori Neorealisme Ofensif yang dipopulerkan Mearsheimer (2001), setiap negara akan mementingkan kebutuhan negaranya sendiri. Bahkan, setiap negara akan berusaha mendominasi negara lain guna mendapatkan tambahan pasokan komoditas pangan dan energi untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Jika kondisi peperangan ini terus berlanjut, akan sangat sulit bagi Indonesia untuk memperoleh tambahan pasokan beras ketika komoditas beras di Indonesia mengalami kelangkaan.
Pemerintahan yang akan datang harus memiliki keleluasaan untuk menunaikan semua janji politiknya yang mereka buat ketika masa kampanye.
Sebagai negara yang sudah menjadi net importir untuk bahan bakar minyak (BBM), perang berkepanjangan di wilayah Timur Tengah juga akan semakin memperburuk kondisi ketahanan energi nasional. Meningkatnya harga minyak dunia yang disertai dengan tidak jelasnya pergerakan mata uang dollar AS akan berpotensi menaikkan harga BBM dalam negeri.
Jika kondisi yang serba-tidak jelas ini tetap bertahan hingga akhir 2024, pilihan rasional bagi pemerintah untuk menjaga agar APBN tetap kuat dan dapat menopang seluruh belanja pemerintah adalah menaikkan harga eceran BBM bagi masyarakat. Jika kenaikan harga BBM ini benar-benar terjadi, daya beli masyarakat akan semakin tergerus.
Jangan cepat cuci tangan
Pemerintahan Jokowi-Amin yang hanya tinggal menghitung hari tidak boleh berlepas tangan terhadap potensi risiko yang sangat besar ini, apalagi sampai ”bercuci tangan”. Pemerintahan Jokowi-Amin beserta kandidat presiden-wakil presiden penerusnya harus benar-benar menyiapkan masa transisi dengan sebaik-baiknya terutama dalam menghadapi berbagai potensi rintangan dan tantangan ekonomi di masa awal pemerintahan nanti. Pemerintahan Jokowi-Amin tidak boleh mewariskan piring kotor yang harus dicuci presiden dan wakil presiden penggantinya.
Baca juga: Prospek dan Tantangan Ekonomi Global 2024
Pemerintahan yang akan datang harus memiliki keleluasaan untuk menunaikan semua janji politiknya yang mereka buat ketika masa kampanye. Jangan sampai janji-janji politik yang telah mereka buat hanya menjadi cerita imajiner yang disebabkan adanya warisan piring kotor dari pemerintahan sebelumnya.
Jangan sampai warisan piring kotor dari pemerintahan sebelumnya menjadi alasan tidak terlaksananya semua janji politik dari presiden dan wakil presiden terpilih. Biarkan presiden dan wakil presiden terpilih untuk membuktikan semua janji politiknya sehingga masyarakat Indonesia bisa menilai secara obyektif apakah mereka telah menjatuhkan pilihan pada orang yang tepat atau tidak.
Agus Herta Sumarto, Dosen FEB Universitas Mercu Buana; Ekonom INDEF