Menafsir Logika Pembangunan Kebudayaan Presiden Terpilih
Proses pembangunan nasional semestinya tak hanya mengutamakan nilai tambah benda (GNP), tapi juga nilai tambah ”human”.
Opini Saifur Rohman (Kompas, 23/2/2024) mengetuk kesadaran kita untuk membayangkan kebudayaan bangsa ini di bawah kepemimpinan presiden yang dihasilkan oleh pemilu beberapa waktu lalu.
Lewat fenomena komedian Komeng yang berhasil meraih suara terbanyak di pemilihan anggota DPD Jawa Barat, kita memperoleh gambaran logika kuasa (dari calon presiden terpilih) atas kebudayaan bangsa yang dapat memunculkan ”kecemasan hadirnya distopia otoritarianisme dan di sisi lain harapan mengembalikan jati diri bangsa yang tenggelam di bawah kekuatan paham asing”.
Darinya kita bisa menyadari bahwa setelah dua kali periode pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), rupanya kehidupan berpolitik, berbangsa, dan bernegara kita belum mampu mewujudkan hasil pembangunan kebudayaan sebagai bagian pembangunan nasional yang berkualitas dan berkelanjutan.
Padahal, dulu ketika Jokowi terpilih sebagai presiden, kita seperti memperoleh harapan karena ia tidak hanya berjanji akan membangun ekonomi yang berkeadilan, tetapi juga mencanangkan agenda penting untuk mereformasi dan mewujudkan budaya baru bangsa yang lebih berkualitas.
Melalui revolusi mental, Jokowi (dan Jusuf Kalla waktu itu) berkampanye untuk mengubah dan memperbaiki karakter bangsa jadi lebih baik melalui pembangunan kebudayaan.
Proses pembangunan nasional semestinya tidak hanya mengutamakan nilai tambah benda (produk nasional bruto/GNP), tapi juga nilai tambah human.
Budaya
Dalam memberlangsungkan kehidupan sebuah bangsa, tidak hanya berorientasi fisik, pembangunan kebudayaan juga merupakan suatu hal elementer.
Ini karena, mengutip Agus Dermawan (2016), sesungguhnya pembentukan bangsa yang besar tak cukup hanya bersandar pada kekuatan politik, ekonomi, dan militer.
Bangsa yang bermartabat tak hanya dibentuk dari etos homo faber (manusia bekerja) dan homo sapiens (manusia berpikir), tetapi juga harus dilengkapi etos homo ludens (manusia bermain). Manusia yang pandai mengolah rasa humanitas dalam lingkaran estetik diformulasi sebagai seni budaya. Sebab, kekuatan seni mampu mengukir keras besi jadi pamor keris, mengubah keras batu jadi arca, candi, dan kuil.
Seniman-budayawan tak hanya seseorang yang ”berumah di angin” memikirkan angan-angan ideal yang (dianggap) utopis. Dalam konsep pemikiran Yunani Kuno, ia justru contoh utama makhluk yang memiliki kualitas mencipta karya yang menyentuh jiwa.
Diungkapkan Agus Dermawan lagi, dalam khazanah Jawa Kuno, seni diartikan sebagai pekerjaan amat halus, lembut, rapi, menyenangkan, sebagai buah dari kerja yang penuh kesabaran. Karena kesabaran itu luhur, seni juga luhur.
Dan, yang luhur itulah yang mampu mengendalikan hal-hal yang kurang tepat. Dalam sejarah, adab budaya politik kita selalu mengenal sosok pendamping yang menasihati kekuasaan agar tetap terkontrol.
Maka, kapasitas dan kualitas seorang pemimpin bangsa (state-man) adalah homo politicon yang juga homo aestethicus atau budayawan (man of culture).
Dengannya, ia harus mampu untuk melihat keseluruhan permasalahan penyelenggaraan negara dalam semacam perspektif kultural yang substansial dan komprehensif.
Kualitas itu tidak cukup ditunjukkan dalam retorika normatif atau paparan data statistik yang manipulatif, tetapi oleh pemahaman dan pengalaman yang multidimensional. Itu tampak dalam wacana (discourse) yang diutarakannya, dalam kode atau simbol-simbol linguistik (daya literer) yang digunakannya, dalam referensi yang mendasarinya, dalam kristal-kristal bening dan padat gagasannya (Dahana, 2009).
Pembangunan
Proses pembangunan nasional semestinya tidak hanya mengutamakan nilai tambah benda (produk nasional bruto/GNP), tetapi juga nilai tambah human. Berarti pemerintah melalui pembangunan seharusnya mengembangkan ”kebudayaan manusiawi” (human culture) yang mencakup semua nilai hidup dan kehidupan manusia (Daoed Joesoef, 2017).
Terlebih di negara multikultur seperti Indonesia, strategi pembangunan seharusnya berbasis budaya yang menomorsatukan manusia dan menekankan pembentukan modal manusia dalam wujud ketentuan, ukuran, dan norma yang dihayati selaku panduan bagi perilaku bersama.
Hal ini berupa kebijakan etis dan politis yang solusi persoalannya mempermudah dan memperlancar persoalan-persoalan relevan yang terkait.
Memahami kebudayaan seperti memberikan wadah kepada jiwa manusia untuk membangun toleransi, nilai kemanusiaan, dan kesadaran atas kehidupan bersama.
Strategi kebudayaan ini harus dipahami sebagai medium transformasi nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-ikatan sosial antarwarga masyarakat, dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengokohkan peradaban umat manusia.
Caranya, dengan coba merevitalisasi tema-tema penting kehidupan bersama, seperti pendidikan moral, tanggung jawab sosial, demokrasi, pendidikan, dan pembangunan kesejahteraan masyarakat secara moril materiil. Memahami kebudayaan seperti memberikan wadah kepada jiwa manusia untuk membangun toleransi, nilai kemanusiaan, dan kesadaran atas kehidupan bersama.
Oleh karena itu, pada perwujudannya, setiap aktivitas selayaknya berada dalam orientasi humanitarian yang bertumpu pada nilai-nilai kehidupan manusia, bukan dengan basis logika kekuasaan dan kepentingan tertentu semata.
Orientasi semacam ini idealnya mewujud melalui wacana yang dihadirkan dalam kehidupan publik. Bukan sebaliknya, dalam wujud kebijakan yang ambisius, manipulatif, dan menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi/golongan.
Jangan sampai terjadi praktik dominasi kekuasaan yang tidak semata-mata diwujudkan melalui kekerasan fisik.
Seturut Gramsci, kekuasaan bisa ditegaskan lewat modus operandi strategi hegemoni lewat sistem simbol dan kuasa tafsir yang terselubung dalam praktik simbolik bahasa dan juga wacana kebudayaan sebagai sebuah mekanisme sosial untuk mereproduksi kekuasaan.
Dengan demikian, relasi kekuasaan dan kekerasan menjadi tak kentara karena kekerasan yang ada tertutupi oleh kekuasaan yang bekerja secara halus, di antaranya melalui kuasa tafsir.
Dengannya, kekuasaan cenderung melakukan hegemoni makna terhadap kenyataan sosial. Dan, dengan sistem politik semacam itu, seturut logika Nietzsche, kebenaran tidak diukur dari nilai obyektif yang didukung mayoritas, tetapi nilai subyektif penguasa yang memerintah dengan tangan besi dan Machiavelis. Menurut para ahli, hal ini terindikasi terjadi di Indonesia belakangan ini.
Kehidupan kultural
Dengan demikian, seturut analogi Ashadi Siregar (2003), tiga aspek penting dalam kehidupan kultural, yaitu ruang kebebasan dan netralitas, basis rasionalitas dan kecerdasan, serta orientasi pada derajat kemanusiaan, harus diutamakan dalam pembangunan bangsa.
Ruang kebebasan dan netralitas merupakan kondisi yang menjaga manusia untuk memiliki kediriannya. Basis rasionalitas dan kecerdasan dijalankan dengan mengembangkan kultur toleransi dan antikekerasan dalam interaksi sosial.
Baca juga: Potensi Kebudayaan Belum Dioptimalkan
Sementara itu, orientasi derajat kemanusiaan diwujudkan melalui pilihan wacana publik yang bermakna guna memerangi konstruksi sosial yang merugikan nilai kemanusiaan dalam kehidupan. Dan, tugas presiden terpilih (baca: negara) adalah menyelenggarakan kehidupan dalam interaksi sosial dan komunal dalam perspektif kultural-kebangsaan sebagai hak dasar kemanusiaan dan sesuai dengan amanat konstitusi.
Purnawan Andra, Bekerja di Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek