Penyanderaan Pilot dan Persoalan Komitmen Bersama
Persoalan komitmen bersama menjadi penyebab utama lambatnya upaya pembebasan Philip Merthens, pilot asal Selandia Baru.
Sudah setahun lebih pilot berkebangsaan Selandia Baru, Phillip Merthens, disandera tanpa ada kejelasan tentang keberadaan dan kondisi terakhirnya. Pascapenyanderaan pilot, kondisi keamanan di wilayah pegunungan Papua juga belum stabil. Sejumlah kontak bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan pasukan gabungan TNI dan Polri terus meningkat mengingat persoalan komitmen bersama yang sulit dicapai.
Penyanderaan pilot dan konflik bersenjata yang menelan puluhan kombatan dan memaksa ribuan orang asli Papua (OAP) mengungsi menjadi konsekuensi dari tidak efektifnya pelaksanaan otonomi khusus (otsus) dan gagalnya operasi kontra pemberontakan yang dijalankan aparat keamanan di Papua. Sejumlah peristiwa kekerasan yang tak berkesudahan menjadi refleksi ketidakmampuan pemerintah pusat menyelesaikan konflik politik di Papua dalam 10 tahun terakhir.
Pemerintahan baru 2024 masih akan mewarisi siklus kekerasan di wilayah paling timur negara ini. Berdasarkan visi-misi dan debat capres, kepemimpinan baru terlihat belum memiliki model penyelesaian komprehensif selain mengulangi retorika dan kebijakan terdahulu pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Pada 2021, pemerintah pusat dan parlemen menyetujui revisi dan perpanjangan Undang-Undang Otsus untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Papua dengan harapan akhir untuk mengakhiri konflik politik di wilayah tersebut. Tanpa melalui proses deliberasi yang menyeluruh, revisi UU Otsus justru mendapatkan penolakan yang cukup meluas di Papua, khususnya masyarakat asli Papua.
Baca juga: Amendemen UU Otsus dan Depolitisasi Papua
Sekalipun demikian, pemerintah pusat tetap memberlakukan perubahan undang-undang tersebut dengan memperkuat kewenangan pemerintah pusat di bidang keuangan, regulasi, dan politik, dan memperlemah eksistensi lembaga kultural seperti Majelis Rakyat Papua. Salah satu tujuan revisi otsus adalah memberikan insentif untuk jabatan birokrasi dan keuangan bagi usaha kecil dan menengah untuk OAP dengan harapan mereka pada akhirnya akan meninggalkan mobilisasi politik baik melalui jalur nonkekerasan ataupun terlibat dalam kelompok bersenjata.
Dengan latar belakang yang sama terkait percepatan pembangunan, pemerintah pusat dan sejumlah elite di Papua membentuk empat provinsi baru di wilayah tersebut pada 2022. Sejauh ini, baru provinsi Papua Selatan dan Papua Barat Daya yang memiliki kesiapan infrastruktur dan birokrasi dengan dukungan keuangan minimal untuk menjalankan roda pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Dua ibu kota setiap provinsi itu, yakni Merauke dan Sorong, memiliki latar perkotaan sehingga memudahkan transisi pemerintahan baru.
Sementara itu, dua provinsi baru lainnya masih berkutat dengan daya dukung keuangan, sumber daya manusia, dan infrastruktur. Salah satu contoh, sejumlah gedung perkantoran dan sekolah di wilayah Yahukimo, Nduga, Puncak, Dogiyai, dan Deiyai tidak lagi digunakan untuk kegiatan pelayanan masyarakat. Dua perubahan struktural di Papua ini berlangsung di tengah meningkatnya eskalasi kekerasan.
Ilustrasi
Lingkaran kekerasan
Laporan Polda Papua pada 2023 menyebutkan, ada 196 aksi kekerasan termasuk penembakan terjadi di Papua yang mengakibatkan 23 anggota TNI, 3 polisi, dan 37 warga sipil meninggal. Jumlah angka kekerasan ini cukup meningkat dibandingkan sejak 2022 dan menunjukkan bahwa instabilitas di Papua sangat mengkhawatirkan.
Konflik bersenjata yang berkepanjangan juga menyebabkan ribuan masyarakat asli Papua mengungsi dan hidup dengan penuh keterbatasan. Dengan kata lain, eskalasi konflik yang terus meningkat berdampak langsung terhadap masyarakat asli Papua dan menimbulkan ketidakstabilan berkepanjangan.
Revisi otsus dan pemekaran wilayah yang berlangsung di tengah ketidakstabilan keamanan akan sulit memberikan dampak positif. Lemahnya regulasi nasional dan institusi lokal untuk mencegah dan mengatasi gangguan keamanan mengakibatkan sejumlah agenda pemerintahan sulit untuk tercapai.
Konflik bersenjata yang berkepanjangan juga menyebabkan ribuan masyarakat asli Papua mengungsi dan hidup dengan penuh keterbatasan.
Penyanderaan pilot asal Selandia Baru juga semakin merefleksikan kegagalan operasi kontra pemberontakan di wilayah Papua.
Sejauh ini, proses pembangunan dalam kerangka otsus di daerah-daerah ”merah”, seperti Pegunungan Bintang, Nduga, Yahukimo, Puncak, Puncak Jaya, Intan Jaya, dan Maybrat, berbanding lurus dengan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia dan angka partisipasi sekolah serta tingginya angka kemiskinan.
Penyanderaan pilot asal Selandia Baru juga semakin merefleksikan kegagalan operasi kontra pemberontakan di wilayah Papua. Salah satu indikatornya adalah minimnya pengendalian keamanan di daerah-daerah ”merah” tersebut. Rentetan penyerangan yang dilakukan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan resistensi masyarakat lokal terhadap aparat keamanan menunjukkan tidak efektifnya strategi deteksi dini dan hilangnya legitimasi TNI-Polri di sejumlah daerah tersebut.
Hingga kini, Pemerintah Selandia Baru yang memiliki reputasi membantu penyelesaian damai dalam konflik di Bougenville masih kesulitan mencari terobosan pembebasan sandera di Papua. Pemerintah Selandia Baru masih terus mengikuti upaya Pemerintah Indonesia untuk membebaskan Philip Merthens. Persoalan komitmen bersama menjadi kunci lambatnya upaya pembebasan tersebut.
Pihak TPNPB yang sejauh ini beroperasi independen di wilayah-wilayah yang terisolasi mampu memanfaatkan medan dan sumber daya yang ada untuk melakukan serangan mendadak terhadap aparat keamanan. Melihat kenyataan dalam lima tahun terakhir, pengendalian keamanan oleh aparat keamanan menurun drastis walaupun puluhan ribu tentara telah diterjunkan.
Baca juga: Memahami Konflik Papua dari Dalam
Selain itu, kontrol sipil terhadap sejumlah operasi-operasi militer di Papua juga masih jauh dari harapan. Tiga tugas utama aparat TNI yang merupakan bagian dari kontra pemberontakan—pengamanan obyek vital nasional, pengamanan perbatasan, dan penanggulangan konflik—belum didukung oleh transparansi dan akuntabilitas yang memadai dari para politisi sipil di pemerintahan pusat dan parlemen.
Sejauh ini, transparansi dan akuntabilitas terhadap sejumlah operasi kontra pemberontakan di Papua belum menjadi diskursus utama di antara para penyelenggara negara, khususnya parlemen. Akibatnya, mekanisme kontrol yang baik dari kalangan sipil terhadap kinerja aparat keamanan di wilayah Papua sangat minim dan kepercayaan masyarakat asli Papua akibat penyalahgunaan otoritas keamanan di Papua terus tergerus. Salah satu penyimpangan adalah penggunaan fasilitas publik sebagai pos-pos militer baru di wilayah-wilayah konflik.
Fragmentasi dan komitmen bersama
Kelompok TPNPB juga masih mengalami persoalan fragmentasi internal yang mengakibatkan belum adanya negosiator ulung yang dapat dipercaya untuk menjembatani perbedaan dengan pemerintah pusat. Ketiadaan kohesivitas kelembagaan yang terorganisasi dengan baik membuat pihak TPNPB masih kesulitan membangun pola komando dan komunikasi yang efektif dengan masyarakat sipil, aparat keamanan, dan sejumlah pemangku kepentingan lain di dalam dan luar negeri.
Di pihak lain, pemerintah pusat dan lokal tidak mampu memanfaatkan disharmonisasi kelembagaan kelompok bersenjata tersebut. Hingga kini, belum ada komunikasi strategis antara pemerintah dan pihak TPNPB di bawah pimpinan Egianus Kogeya di Nduga.
Ironisnya, baik kepolisian lokal maupun panglima TNI justru memproduksi narasi kontraproduktif, seperti dana tebusan untuk membebaskan sandera. Hal ini justru mengakibatkan hilangnya kepercayaan kelompok bersenjata terhadap itikad baik pemerintah untuk melakukan negosiasi damai dan menghargai keberadaan para pihak yang berkonflik.
Tawaran terbaru pihak TPNPB untuk melibatkan aktor internasional dalam pembebasan pilot justru semakin mempertegas kegagalan sejumlah metode persuasif dan koersif yang dijalankan pemerintah pusat dan daerah setahun belakangan.
Selain sulitnya komunikasi dengan kelompok pimpinan Egianus, pemerintah pusat juga kesulitan membangun komunikasi dengan sejumlah kelompok bersenjata lain di wilayah pegunungan yang terus melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil dan aparat keamanan. Di sisi lain, masyarakat lokal juga masih memiliki trauma berkepanjangan atas kebrutalan aparat keamanan. Hal ini seolah bertolak belakang dengan sejumlah jargon aparat keamanan tentang membangun komunikasi sosial, komunikasi konstruktif, dan pendekatan budaya yang terus disampaikan, tetapi tidak mendapatkan dukungan luas di Papua.
Baca juga: Makna Penyanderaan Pilot di Papua
Alternatif pendekatan
Salah satu opsi penting diajukan oleh Institute for Policy Analysis and Conflict (IPAC) bagi pemerintahan mendatang adalah memperkuat pemerintahan lokal, termasuk menemukan pihak tepercaya untuk menjaga dan mengoordinasi kepentingan para pihak yang berkonflik, seperti yang terjadi di Kabupaten Lanny Jaya. Opsi ini perlu mendapatkan dukungan selain tawaran dialog yang masih mendapatkan penolakan dari berbagai pihak.
Namun, model yang diterapkan di Lanny Jaya akan membutuhkan waktu yang cukup lama mengingat minimnya dukungan kelembagaan dan kepercayaan di antara para pihak yang berkonflik di beberapa daerah pegunungan yang memiliki karakternya masing-masing. Sejumlah kebijakan populis yang kemungkinan besar akan dilanjutkan pemerintahan baru, seperti infrastruktur dan bantuan keuangan, tidak akan berdampak signifikan untuk menanggulangi eskalasi konflik.
Dalam satu dekade terakhir, upaya-upaya penanganan masih terpusat di Jakarta dan ruang keterlibatan masyarakat asli Papua, khususnya kelompok politik di Papua, sangat terbatas dan bahkan hilang dalam menyelesaikan sejumlah problem di Papua. Selain pembangunan yang masih terpusat di wilayah pesisir, penembakan, pengungsian, pembakaran, rasisme, deforestasi, korupsi, menjadi warna Papua dalam 10 tahun terakhir.
Semakin berlarutnya upaya pembebasan pilot dan tidak kondusifnya situasi keamanan yang disertai sejumlah persoalan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang tidak terselesaikan di Papua menjadi catatan memprihatinkan di akhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo, sekaligus menjadi beban yang harus diselesaikan pemerintahan baru yang akan datang. Apabila kelak persoalan Papua bukan menjadi prioritas bagi para kandidat presiden, integritas kita sebagai negara akan terus tergerus dan penyelesaian menyeluruh dan bermartabat untuk konflik Papua akan semakin sulit.
Hipolitus Wangge, Peneliti Australian National University dan Anggota Forum Academia NTT