Rakyat Butuh Oposisi
Pada hakikatnya, oposisi itu bukan posisi yang nista, justru rakyat akan bangga.
Rakyat Butuh Oposisi
Dalam demokrasi, ada yang menang dan ada yang kalah. Yang menang akan berkuasa, yang kalah akan dikuasai. Akan tetapi, untuk keseimbangan dalam demokrasi dibutuhkan oposisi sebagai penyeimbang dan sebagai alat kontrol penguasa. Sebab, jika tidak ada yang mengontrol dan mengawasi perjalanan bangsa, situasi akan timpang, penguasa akan ndugal dan ugal-ugalan. Semua keputusan pemerintah yang berkuasa, entah benar atau tidak benar, tetap akan dijalankan sekalipun keputusan pemerintah itu membuat rakyat menjerit. Rakyat mau melawan pakai apa?
Pertanyaannya, beranikah partai-partai yang kemarin berseberangan dalam kontestasi pilpres yang akhirnya mereka kalah lantas menjadi oposisi? Apakah partai-partai itu nanti akan melebur menjadi satu koalisi dengan alasan klasik demi keutuhan bangsa? Ataukah itu strategi pemenang kontestasi yang sengaja dibuat? Ataukah sejatinya mereka memang partai oportunis yang tidak kuat menahan lapar dan haus kekuasaan? Kita akan lihat ke depan seperti apa partai-partai yang kemarin berseberangan dengan pemenang pilpres. Pada hakikatnya, oposisi itu bukan posisi yang nista, justru rakyat akan bangga.
Tugurejo, Semarang
Tanggapan Indomaret
Menanggapi surat pembaca yang Bapak Daniel Thie sampaikan di harian Kompas edisi Rabu, 28 Februari 2024, kami menyampaikan permohonan maaf atas kejadian yang Bapak alami.
Keluhan telah ditindaklanjuti dengan mengembalikan biaya survei lokasi pada hari Kamis, 29 Februari 2024, ke nomor rekening Bapak Lim Gunawan Wijono, calon franchisee yang mengusulkan lokasi kepada Indomaret.
Kami juga menghubungi Bapak Daniel Thie dan Bapak Lim Gunawan untuk menyampaikan permohonan maaf secara langsung, tetapi belum mendapatkan kesempatan untuk bertemu.
Demikian penjelasan dari kami. Terima kasih atas masukan Bapak Daniel Thie untuk Indomaret. Hal ini menjadi masukan untuk perbaikan layanan kami selanjutnya.
Public Relations Manager PT Indomarco Prismatama (Indomaret)
Luka Sosial
Tulisan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, ”Rekonsiliasi dan Rekognisi Pasca-pilpres” (Kompas, 5/3/2024), memberi energi positif bagi rakyat Indonesia. Artikel itu menggagas bagaimana para elite politik dapat kembali bersatu dalam berembuk untuk membangun negeri ini dengan lebih baik lagi.
Akan tetapi, bagaimana dengan para pendukung yang belum siap menerima kekalahan atas jagoan mereka? Tidak tertutup kemungkinan arus persoalan masyarakat bawah masih meninggalkan luka sosial di antara mereka. Misalnya, di dunia maya masih saja berkembang narasi pro-kontra kecurangan Pemilu 2024 yang menjadi bumerang satu sama lain. Perselisihan pendapat yang berlangsung terus-menerus, menciptakan konflik batin satu sama lain.
Keberagaman cara memilih pemimpin dengan sudut pandang berbeda semestinya justru membangun kesadaran bahwa kita memahami betapa mahalnya sebuah demokrasi—walaupun dalam nalar kritis sebagian pengamat politik Indonesia menilai bahwa demokrasi Indonesia sudah mati. Seakan-akan tidak ada secuil harapan bagi masa depan, juga dalam merayakan kegembiraan pesta demokrasi saat ini.
Peran tokoh masyarakat, baik dari bidang agama maupun pemerintah, dihadirkan untuk menjadi agen rekonsiliasi dalam mendamaikan kubu pihak pemenang dan kubu pihak yang kalah. Para tokoh diharapkan dapat menenangkan hati mereka dan menerima hasil sebuah kompetisi dalam negara demokrasi yang plural.
Demikian halnya kelompok anggota masyarakat yang kritis terhadap prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi tetap diberi ruang untuk mengolah pandangan mereka dengan benar tanpa tertekan dan menimbulkan luka batin.
Kekuatan kata dari para tokoh menjadi penyejuk penyembuh luka sosial. Kebebasan berekspresi dalam ruang publik tetap dihargai
Saatnya merakit kembali perbedaan, bersama berjuang membangun Indonesia. Jangan sampai meninggalkan luka sosial.
Kota Baru, Yogyakarta