Kapitalisme, Masihkah Menjanjikan?
Di banyak negara, kapitalisme justru membawa dampak negatif berupa peningkatan kemiskinan, terutama negara berkembang.
Ketika Perang Dingin berakhir pada pertengahan dekade 1980-an, separuh belahan dunia menyambutnya dengan sorak-sorai meriah.
Runtuhnya Tembok Berlin serta diturunkannya patung Lenin setelah Uni Soviet bubar dan berganti menjadi Rusia disambut dengan tepuk tangan yang gemuruh. Pertarungan total dalam perebutan kekuasaan dan pengaruh di segala bidang (ideologi, politik, militer, intelijen, teknologi, sistem ekonomi, sistem sosial, dan segalanya-galanya itu) selesai sudah.
Kubu sosialis telah runtuh dan kubu kapitalis keluar sebagai pemenang dari pertarungan panjang yang mencemaskan dan hampir menyeret dunia pada perang nuklir yang mengancam punahnya peradaban itu.
Dalam dunia yang relatif lebih damai setelah usainya Perang Dingin, orang-orang berharap bahwa sebuah kemakmuran yang dipandu sistem kapitalis akan segera tercipta. Akan tetapi, harapan itu ternyata berbeda dari kenyataan.
Dalam perkembangannya, ideologi kapitalis yang telah mencanangkan deindustrialisasi di negara maju serta gelombang perpindahan produksi besar-besaran ke negara berkembang selama beberapa dekade belakangan ternyata cenderung hanya membawa kemaslahatan bagi kelompok masyarakat tertentu. Kelompok itu adalah para pemilik modal dan perusahaan raksasa saja.
Pembayaran upah buruh yang lebih masuk akal tidaklah akan membuat para kapitalis merugi, tetapi hanya akan berakibat pada berkurangnya keuntungan.
Sementara itu, di sisi lain, sebagian besar masyarakat yang bukan pemilik modal atau perusahaan raksasa praktis tidak mendapatkan kemaslahatan yang banyak. Bahkan, sebagaimana dilaporkan dalam berbagai analisis, kapitalisme justru semakin memperbesar jurang ketimpangan sosial-ekonomi antara negara maju (kapitalis) dan negara berkembang.
Di Thailand dan Filipina, misalnya, buruh dan pekerja pabrik hanya menerima upah 9-12 dollar AS per hari, setara dengan upah kerja 1 jam para buruh di Jerman. Namun, buruh di negara berkembang, seperti di Thailand dan Filipina ini, tak mempunyai pilihan selain menerima kenyataan itu.
Ada beberapa faktor penyebab rendahnya upah buruh di negara berkembang. Faktor utamanya adalah rendahnya taraf kehidupan ekonomi atau kemiskinan di negara-negara itu dan pada saat yang sama berkombinasi pula dengan surplus demografi atau angkatan kerja berlimpah dan membutuhkan pekerjaan.
Maka, di sini hukum penawaran dan permintaan pun berlaku. Oversupply angkatan kerja mengakibatkan harga (posisi tawar mereka) menjadi jatuh.
Kelemahan kapitalisme
Sekiranya paham keadilan sosial (dan bukan keuntungan semata) hadir dalam ide-ide kapitalisme, hal di atas seharusnya tidak akan pernah terjadi.
Pembayaran upah buruh yang lebih masuk akal tidaklah akan membuat para kapitalis merugi, tetapi hanya akan berakibat pada berkurangnya keuntungan. Namun, inti persoalannya bukan di situ atau bukan terletak pada kemurahan hati atau keserakahan, melainkan terletak ada prinsip-prinsip fundamental kapitalisme itu sendiri. Ini merupakan dilema besar bagi paham itu.
Jika langkah itu dilakukan, ini akan berarti pengingkaran terhadap prinsip-prinsip fundamental tadi, antara lain, menentang prinsip maximum profit yang merupakan roh paham kapitalis. Selain itu, juga menentang hukum penawaran dan permintaan serta berarti menentang kehendak pasar.
Lebih lanjut, sesuai prinsip persaingan bebas dan mekanisme pasar yang diagung-agungkan, pembayaran upah buruh yang lebih reasonable jelas akan berdampak pada peningkatan biaya (cost) dan pada gilirannya akan berdampak pula pada penurunan daya saing dalam merebut pasar.
Ini sekaligus pula berarti menentang persaingan bebas yang dipuja-puja itu.
Suka atau tidak suka, dilema di atas menjadi beban yang harus dipikul negara-negara berkembang yang merupakan daerah tujuan atau tempat pengalihan investasi tadi. Karena itu, jika dilihat lebih jeli, pengalihan industri ke negara berkembang yang dipersepsikan sebagai dampak positif dari sistem ekonomi kapitalis itu pun sesungguhnya merupakan persoalan yang pantas untuk dipertanyakan.
Jika ada, keuntungan yang ada sesungguhnya hanya akan diraih oleh kelompok tertentu, yaitu oleh kaum kapitalis itu sendiri.
Sebuah pendapat menyebutkan bahwa industrialisasi di negara berkembang yang didasari prinsip-prinsip yang disebut sebelumnya adalah ibarat tanaman yang tumbuh di dalam pot dan tidak mengakar di bumi negara-negara itu. Demi persaingan pasar, prinsip maximum profit dan lain-lain, industri itu sewaktu-waktu dapat dipindahkan ke tempat lain yang lebih menjanjikan.
Akibatnya, hal ini akan membuat ”hutan industri” di negara tersebut kembali gersang.
Munculnya China sebagai penyedia tenaga kerja dengan upah murah, misalnya, telah mengakibatkan investasi asing di negara-negara ASEAN pindah ke negeri itu.
Akibatnya, negara-negara ASEAN yang pada masa itu bersama Korea Selatan, Taiwan, dan Hong Kong, lazim disebut sebagai ”The Newly Industrialized Economies” (NIE’s) dan ”Macan Baru Asia”, praktis gigit jari. Krisis moneter Asia yang muncul akibat investasi finansial ”hot money” dalam ”ekonomi kertas” (paper economy) oleh para pelaku dari negara-negara kapitalis tentu semakin memperburuk situasi ini.
Ekses kapitalisme
Dari fenomena-fenomena di atas, ada kesan yang kuat bahwa kebijakan-kebijakan para industrialis kapitalis amat mirip dengan perilaku avonturir dan oportunis demi keuntungan mereka sendiri ketimbang upaya untuk membawa dunia pada kehidupan yang lebih makmur, sejahtera, dan bermartabat.
Menarik dicatat bahwa di kelompok negara maju sendiri, sebagai arsitek dan pengagung kapitalis, kapitalisme kini mulai menuai kritik.
Ini bukan perkara upah yang merupakan persoalan klasik, melainkan masalah sampah. Hal ini melengkapi isu-isu lingkungan, termasuk isu pemanasan global yang ada sebelumnya. Kebijakan kapitalisme yang didorong oleh paham maksimalisasi keuntungan cenderung memprioritaskan keuntungan finansial jangka pendek ketimbang investasi yang bersifat ”sustain” atau keberlanjutan dalam jangka panjang.
Tentu diakui bahwa sampai taraf tertentu kapitalisme telah mendorong inovasi dan kemajuan teknologi. Namun, harus diakui pula bahwa paham ini juga telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah.
Budaya konsumsi berlebihan yang menjadi salah satu ciri ekonomi kapitalis telah memicu produksi besar-besaran yang berujung pada produksi limbah atau sampah dalam jumlah yang mencengangkan.
Untuk merespons dampak negatif ini, Uni Eropa telah meluncurkan gerakan fix-it culture dengan tujuan mengurangi konsumerisme berlebihan karena budaya ”membuang dan mengganti” yang telah membawa dampak serius bagi ekosistem.
Berdasarkan uraian di atas, kiranya jelas bahwa kapitalisme bukanlah sebuah paham atau ajaran yang dapat membawa kemakmuran dan kebaikan bagi orang banyak, termasuk bagi lingkungan hidup manusia.
Baca juga: Kapitalisme dan Perjuangan Kelompok Terpinggirkan
Teori Trickle Down Effect yang digagas Albert Otto Hirschman tahun 1954 dan dulu pernah populer jelas tidak terbukti. Jika ada, keuntungan yang ada sesungguhnya hanya akan diraih kelompok tertentu, yaitu oleh kaum kapitalis itu sendiri.
Sementara di banyak negara lain, kapitalisme justru membawa dampak negatif berupa peningkatan kemiskinan, terutama di negara berkembang yang terpaksa menjadi ”buruh” dan ”pasar” bagi kaum kapitalis, serta juga meningkatnya sampah di berbagai belahan dunia.
Dari kenyataan-kenyataan yang telah disebutkan di atas, sebuah pertanyaan pun muncul: masihkah kapitalisme menjanjikan? Lalu, sungguhkah janji itu dapat diharapkan?
Dewi Lusiana,Doktor Administrasi Bisnis The University of Newcastle; Dosen Pascasarjana FIA-UI