Bila saja ekonomi lama tidak mampu lagi menopang pertumbuhan, negara harus bergerak mencari sumber pertumbuhan baru.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·3 menit baca
Tahun 1995 Don Tapscott memperkenalkan istilah ekonomi digital di dalam salah satu bukunya. Dunia kemudian terbuka dengan sumber baru pengungkit ekonomi. Perkembangan ini diikuti dengan peningkatan kemampuan komputer hingga kemudian berbagai aktivitas yang semula dilakukan dengan cara-cara konvensional dan manual bisa dipermudah dengan teknologi digital. Indonesia adalah salah satu yang ikut dalam euforia ekonomi digital.
Akan tetapi, belakangan di sektor ini kita mendapati ribuan kasus pemutusan hubungan kerja di berbagai perusahaan teknologi di Tanah Air. Tak hanya itu, sejumlah perusahaan teknologi juga stagnan. Pertumbuhannya tak lagi cepat. Perusahaan teknologi yang mapan pun kinerjanya tak juga membaik. Beberapa malah membubarkan diri. Sementara usaha rintisan yang baru saja muncul sulit untuk tumbuh cepat.
Apakah ekonomi digital telah gagal menjadi pengungkit baru pertumbuhan ekonomi? Padahal, Indonesia telah menargetkan kenaikan peran ekonomi digitalyang makin membesar. Pada tahun 2021, nilai ekonomi digital sekitar Rp 980 triliun dan pada tahun depan valuasi ekonomi digital telah menjadi di atas Rp 2.000 triliun.
Angka-angka yang menunjukkan kegagalan itu memang belum muncul, tetapi situasi di kalangan perusahaan teknologi yang cenderung stagnan menandakan masalah ini. Perusahaan teknologi yang mapan terpaksa harus menggandeng perusahaan teknologi dari luar negeri yang memiliki kemampuan lebih baik, seperti penjualan saham Tokopedia ke Tiktok. Kabarnya, beberapa perusahaan lain, baik yang besar maupun yang kecil, menyerah dan sahamnya harus dijual ke pemain asing juga atau setidaknya melakukan aksi korporasi dengan mengajak masuk pemain luar negeri.
Apakah kemudian semua ini menandakan kekhawatiran World Economic Forum (WEF) beberapa waktu yang menyebutkan bahwa ke depan kembali negara maju dan perusahaan teknologi global yang akan mendominasi? Dalam salah satu laporannya, WEF menyebutkan, manfaat ekonomi digital tidak merata. Hanya sejumlah kecil negara, termasuk Amerika Serikat (35 persen), China (13 persen), Jepang (8 persen), dan negara-negara Uni Eropa (25 persen), yang memperoleh manfaat dari ekonomi digital global.
Di samping itu, sejumlah perusahaan, seperti Amazon, Alphabet, Apple, Facebook, dan Microsoft serta Alibaba, Baidu, Huawei, Tencent, WeChat, dan ZTE, mencapai posisi pasar yang dominan. Mereka ini memiliki pendapatan sekitar 90 persen dari seluruh pendapatan dan laba perusahaan teknologi global. Mereka inilah yang akan merajai ekonomi digital ke depan, mulai dari hulu hingga hilir.
Jika saja kita khawatir dengan nasib ekonomi digital di Indonesia ke depan, sebenarnya itu sangatlah beralasan. Ekonomi digital sejak lama diharapkan menjadi sumber baru penggerak ekonomi. Namun, beberapa riset sejak lama mengkhawatirkan tentang hambatan-hambatan yang muncul yang sangat mungkin menyebabkan harapan itu bakal musnah.
Pada tahun 2016, McKinsey melakukan penelitian dan analisis. Temuan mereka menunjukkan, saat itu Indonesia sedang berada pada tahap awal digitalisasi. Namun, Indonesia menghadirkan hal yang membuat penasaran, yaitu penghuni digitalnya termasuk di antara mereka yang paling aktif di dunia dan mempunyai aktivitas awal yang dinamis dalam mengembangkan ekosistem, tetapi secara keseluruhan negara ini tertinggal dalam merangkul manfaat kehadiran teknologi modern tersebut.
Infrastruktur teknologi informasi lemah dan penggunaan digital tidak merata di dalam dan di antara berbagai bisnis sektor. Warga negara Indonesia yang terhubung adalah orang-orang yang berteknologi cerdas, tetapi penetrasi internet rendah. Pendeknya, perjalanan Indonesia di era digital masih panjang. Teknologi digital menawarkan cara untuk meningkatkan produktivitas lintas sektor dan memperluas partisipasi dalam perekonomian bagi seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi, untuk mempercepat kemajuan digital Indonesia mengharuskan dunia usaha mampu menghadapi tantangan ini dan secara mendasar mengubah diri mereka sendiri agar target valuasi ekonomi digital di atas Rp 2.000 triliun bisa dicapai.
Ancaman stagnasi ekonomi digital sangat nyata. Karena pesatnya perkembangan teknologi kemajuan, negara-negara yang memanfaatkan digital teknologi akan menghasilkan keuntungan ekonomi yang signifikan dalam jangka panjang. Namun, bangsa-bangsa yang lambat dalam menerima teknologi digital akan menghadapi risiko tertinggal jauh dalam waktu singkat.
Peran pemerintah
Kita mungkin mempertanyakan peran pemerintah belakangan ini. Apa saja yang sudah dilakukan? Kita bisa merasakan, belakangan semangat untuk mendukung kehadiran perusahaan teknologi agak melemah. Perusahaan teknologi tengah menghadapi banyak masalah, tetapi cenderung dibiarkan. Kita makin cemas dengan keadaan ini karena ancaman dari luar makin besar.
Ancaman ke depan bukan hanya oleh negara-negara maju, tetapi juga oleh negara tetangga, yaitu Vietnam. Sekian tahun yang lalu kita mungkin bisa mengolok-olok negara itu, tetapi kini produk mereka telah hadir di depan mata, seperti mobil listrik ataupun teknologi finansial. Anak-anak muda yang disekolahkan di perguruan tinggi top dunia telah mulai kembali. Mereka akan menjadi aset baru untuk kemajuan dan inovasi negara itu di bidang teknologi.
Kita tidak bisa berdiam diri. Setiap negara selalu mencari sumber-sumber ekonomi baru. Jika saja ekonomi lama tidak mampu lagi menopang pertumbuhan, negara harus bergerak mencari sumber pertumbuhan baru. China yang sudah tergolong maju pun harus terus mencari sumber penggerak ekonomi baru lagi ketika pertumbuhan mereka hanya 5 persen. Mereka telah memetakan masalah dan melihat bahwa sumber pertumbuhan baru harus dikejar, salah satunya adalah teknologi kecerdasan buatan.