KUA Inklusi
Menteri Agama tampak ingin memperkuat desain besar untuk menjadikan Kementerian Agama sebagai milik semua agama.
Rencana kebijakan terbaru ”KUA untuk semua agama” oleh Kementerian Agama RI penting dibaca dari kebutuhan mendasar untuk menjadikan layanan keagamaan sederhana, adil, dan bermartabat bagi semua warga negara, apa pun agama yang dipeluk.
Dalam perspektif analisis kebijakan, inisiatif di atas bisa dibaca bukan dalam konteks menciptakan ”agama baru”, melainkan dalam kepentingan reformasi layanan administrasi birokrasi keagamaan.
Dalam derajat yang paling sederhana, layanan keagamaan dibuat sedemikian rupa agar bisa lebih mudah diakses dan murah biayanya. Sebab, layanan keagamaan merupakan layanan yang dibutuhkan oleh setiap warga negara. Lokasi kewilayahan Indonesia yang luas semakin membuat kebijakan untuk menjadikan layanan keagamaan mudah dan murah semakin penting dilakukan.
Dalam derajat yang lebih normatif-idealis, reformasi layanan keagamaan di atas dibangun seiring dengan kebutuhan pemerintah untuk menjadikan layanan keagamaan dalam kinerja prima. Karena itu, semua layanan keagamaan dijaminmutukan oleh Kemenag.
Kepentingannya sederhana, yakni sebagai bagian dari penunaian tanggung jawab pemerintah sebagai pemegang otoritas formal dalam pengaturan kewenangan publik di bidang layanan keagamaan.
Sebagai salah satu jenis satuan kerja yang dimiliki Kemenag, Kantor Urusan Agama (KUA) dihadirkan di antaranya untuk kebutuhan layanan perkawinan.
Bukan intervensi keyakinan
Memang, tidak bisa dimungkiri, ada reaksi dari sejumlah kalangan terhadap rencana kebijakan ”KUA untuk semua agama” di atas. Ada yang positif dan ada pula yang negatif. Minimal sangat hati-hati. Reaksi negatif hingga yang hati-hati umumnya keluar dari para tokoh agama.
Majelis agama-agama yang ada di Indonesia, sebagai misal, menyampaikan respons beragam, tetapi berorientasi pada satu poin kesepakatan. Yakni meminta kepada Kemenag agar rencana pelayanan pencatatan nikah semua agama di KUA dikaji secara mendalam.
Membaca argumen pemegang otoritas Kemeneg, rencana kebijakan yang dapat disebut sebagai ”KUA Inklusi” di atas tidak ada kaitannya dengan intervensi atas keyakinan agama apa pun. Kekhawatiran para tokoh agama hingga menyatakan bahwa soal pernikahan adalah urusan privat tak perlu terjadi jika rencana kebijakan ”KUA untuk semua agama” ini dibaca dari perspektif reformasi layanan keagamaan dalam bentuk fasilitasi dan bukan intervensi.
Saya menangkap sejumlah semangat baru yang sedang dibangun dan dikembangkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dengan kebijakan ”KUA Inklusi” atau ”KUA untuk semua agama” di atas.
Penghulu, saksi, serta pasangan Rizki dan Mutiara saat menjalani prosesi pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, Minggu (5/4/2020).
Pertama, dengan mengembangkan rencana kebijakan tersebut, Menteri Agama tampak ingin memperkuat desain besar untuk menjadikan Kementerian Agama sebagai milik semua agama. Negeri ini memang dianugerahi oleh kepemilikan yang sama atas saham yang bernama Indonesia oleh semua warga negaranya, terlepas apa pun etnis, kelompok sosial dan budaya, serta agama yang dianut. Karena itu, kemajemukan harus dilihat sebagai sebuah berkah, dan bukan musibah.
Mengapa? Di banyak negara di sejumlah kawasan di dunia, kemajemukan muncul karena faktor migrasi pendidikan lintas batas negara. Itu terjadi lebih- lebih saat migrasi sosial dan mobilitas penduduk sangat tinggi di sejumlah negara. Motivasinya beragam. Mulai dari ekonomi hingga sosial politik.
Sementara di Indonesia, kemajemukan justru dibangun oleh kondisi sosial yang plural dan semuanya tumbuh-berkembang (homegrown) di Indonesia sendiri. Bukan karena faktor migrasi penduduk dengan berbagai ragam kepentingan seperti terjadi di banyak kawasan di dunia. Karena itu, kemajemukan harus dikelola secara baik. Termasuk dalam hal penyediaan layanan keagamaan kepada semua pemeluk agama tanpa terkecuali.
Secara politis, Kemenag memang lahir sebagai hadiah untuk umat Islam. Peran sosial politik kebangsaan-kenegaraan dan keberadaan warga Muslim sebagai penduduk mayoritas menjadi latar belakangnya.
Meskipun begitu, Kemenag dihadirkan tanpa harus disertai dengan prinsip akomodatif (jami’) atas sebagian dan menafikan (mani’) selainnya. Sebagai terjemahannya, Kemenag tidak boleh terjebak dalam kecenderungan eksklusivisme dalam penyediaan layanan.
Alih-alih, Kemenag penting untuk dibangun di atas inklusivitas yang tinggi tanpa adanya penganakemasan satu golongan keagamaan atas lainnya.
Negeri ini memang dianugerahi oleh kepemilikan yang sama atas saham yang bernama Indonesia oleh semua warga negaranya, terlepas apa pun etnis, kelompok sosial dan budaya, serta agama yang dianut.
Di sinilah Kemenag dihadirkan oleh negara untuk memberikan pelayanan terbaik dalam keadilan yang bermartabat kepada seluruh warganya, apa pun agamanya. Itu karena Kemenag harus menjadi milik semua agama, seperti yang menjadi perhatian besar Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Kedua, rencana kebijakan ”KUA Inklusi” atau ”KUA untuk semua agama” itu tampak didesain dalam rangka menghadirkan layanan agama agar dekat dengan warga masyarakat. Penting menjadi catatan bersama bahwa Kemenag adalah satu- satunya kementerian dengan jumlah satuan kerja terbanyak hingga mencapai 4.484. Itu dalam rangka memberikan layanan keagamaan terbaik kepada semua pemeluk agama.
Sebagai salah satu jenis satuan kerja yang dimiliki Kemenag, Kantor Urusan Agama (KUA) dihadirkan di antaranya untuk kebutuhan layanan perkawinan. Kepentingannya agar layanan keagamaan dalam bentuk perkawinan bisa diakses secara mudah dan murah serta dalam keadilan yang bermartabat oleh sebanyak-banyaknya pemeluk agama, terlepas dari agama apa pun yang diyakini.
Penyederhanaan layanan
Ketiga, rencana kebijakan ”KUA Inklusi” atau ”KUA untuk semua agama” tampak dihadirkan dalam rangka untuk menyederhanakan layanan keagamaan, dan bukan intervensi keyakinan. Karena itu, kekhawatiran sejumlah tokoh agama, seperti dijelaskan di atas, adalah bentuk kehatian-hatian para tokoh agama untuk membentengi keyakinan umatnya dari intervensi yang tidak perlu.
Dan tentu itu sebuah pendirian bagus. Hanya, rencana kebijakan ”KUA Inklusi” atau ”KUA untuk semua agama” bukan dalam konteks itu, melainkan dalam konteks penyederhanaan layanan keagamaan di bidang pencatatan perkawinan.
Yang menjadi pekerjaan rumah dalam rencana kebijakan ”KUA Inklusi” atau ”KUA untuk semua agama” di atas adalah mendesaknya disertakannya para pemangku kepentingan umat lebih luas untuk memahami rencana kebijakan di atas sebagai sebuah ikhtiar memadai untuk memperkuat kemudahan layanan keagamaan bagi semua pemeluk agama.
Tentu, upaya teknisnya bisa dimulai dari diskusi terpumpun hingga sosialisasi ke dalam banyak forum sosial keagamaan.
Baca juga : Menuju Inklusivisme KUA
Termasuk juga pemangku kewenangan lintas kementerian yang terkait, seperti Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil)-nya yang selama ini menangani pencatatan pernikahan agama selain Islam.
Akh MuzakkiGuru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya; Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Jawa Timur