Sejarah Indonesia adalah ”puzzle” yang mesti dilengkapi dengan peristiwa-peristiwa kecil yang kadang terlewatkan.
Oleh
ARISTAYANU BAGUS K
·4 menit baca
Melalui banyak medium seperti film atau bahkan kisah-kisah romansa, pelukis tampak sebagai sosok yang berdiam diri dalam studio dengan bau cat serta kanvas dan kuas yang berserak. Penggambaran seperti ini sering kali menyitir pemikiran kita tentang pelukis dan karya seni lukis yang hanya boleh dipamerkan di ruang-ruang pamer dengan bingkai dan kanvas yang besar.
Hal ini yang kemudian barangkali membuat seni jalanan seperti poster, dan grafiti tampak seperti sampah visual, alih-alih dianggap sebagai corong suara rakyat melalui gambar.
Lebih lanjut lagi, hal ini yang menjadi pertanyaan selanjutnya, mengapa selama menjalani masa sekolah pada pelajaran seni rupa dan khususnya menggambar, gambar yang kita hasilkan begitu asing dengan realitas dan cenderung bernuansamooi indie. Namun, buku Melukis di Tengah Perang karya Fatih Abdulbari ini membawa kenyataan baru.
Melukis di Tengah Perang (Dicti Art Lab, 2023) ditulis dan ditujukan sebagai biografi seorang maestro seni lukis yang ditunjuk oleh Soekarno untuk menjalankan program ”Dokoementasi Nasional”. Maestro itu adalah Dullah. Realisme menjadi gaya dan ciri khas Dullah di tengah gempuran mooi indie.
Dullah pernah mendirikan sebuah sanggar yang di dalamnya tergabung anak-anak yang kemudian mereka turun langsung untuk melukis perang di masa revolusi fisik. Inilah yang menarik dari Melukis di Tengah Perang. Kita melihat dua wacana yang digulirkan dalam satu bacaan. Pertama, mengenai dokumentasi sejarah berupa lukisan, dan kedua adalah tentang anak-anak pada masa revolusi.
Dalam penulisan sejarah, penggunaan lukisan sebagai sumber sejarah masih begitu jarang dilakukan.
Lukisan sebagai arsip dan sumber
Dalam penulisan sejarah, penggunaan lukisan sebagai sumber sejarah masih begitu jarang dilakukan. Terlebih, pada masa yang sama penggunaan kamera bukanlah hal yang muskil dilakukan. Masa revolusi Indonesia adalah sebuah wacana yang masih bergulir dan diperebutkan sampai hari ini.
Sampai hari ini, kita tidak pernah mendengar permintaan maaf mengenai kekerasan fisik yang dilakukan penjajah Belanda. Wacana ini begitu penting adanya, sebab tentu saja sukar untuk membiarkan kekerasan tidak diakui dan berlangsung begitu saja tanpa sebuah pengakuan.
Meskipun demikian, Melukis di Tengah Perang agaknya bisa diletakkan oleh Fatih dalam koridor yang obyektif. Ia tidak hanya memaparkan fakta-fakta perang yang sifatnya heroik. Lebih dari itu, kemanusiaan yang menanggalkan identitas masing-masing juga dipamerkan oleh Fatih dalam karyanya, seperti lukisan Toha, salah satu murid Dullah, yang melukiskan seorang tentara Belanda membagikan rokoknya kepada tentara Indonesia.
Sebagai sebuah peristiwa dan wacana, agaknya revolusi Indonesia juga memunculkan kengerian yang memilukan. Perang yang mencekam dengan peluru dan pesawat yang berseliweran, di tengah kondisi tersebut anak-anak terjun langsung melukiskan kondisi perang.
Lukisan Toha yang lain dipaparkan oleh Fatih ketika truk yang dikendarai Belanda berkeliling Yogyakarta dengan pengeras suara, yang menyatakan agar warga Yogyakarta menyerahkan senjata apinya dan menunjukkan letak penyimpanan gudang senjata. Sebagai gantinya, Belanda akan memberikan bahan makanan gratis kepada mereka yang mau kooperatif kepada Belanda.
Tak berhenti di situ. Jalannya kondisi perang juga dihiasi dengan pihak Belanda yang mencoba mengambil hati warga Yogyakarta dengan membagi-bagikan rokok gratis. Suasana yang digambarkan oleh murid Dullah dalam lukisannya menggambarkan suasana yang sampai hari tak pernah asing. Rokok yang dibagikan tersebut dilempar dan diperebutkan warga Yogyakarta dalam misi mencuri hati rakyat, mirip seperti suasana kampanye.
Anak-anak dalam kesejarahan Indonesia
Sejarah anak-anak adalah lubang yang mesti dipikirkan bersama agar dapat diperkuat secara konsep dan implementasinya dalam historiografi Indonesia. Melukis di Tengah Perang ditujukan sebagai biografi Dullah yang tak serta-merta menanggalkan peran para anak didiknya yang turun langsung ke medan perang.
Porsi penuturan sejarah dalam buku ini lebih banyak adalah mengenai interpretasi atas lukisan anak-anak yang dialasi oleh nama besar Dullah sebagai seorang maestro seni lukis. Hal ini justru menjadi bias dalam usaha-usaha penulisan sejarah anak.
Merekonstruksi peristiwa revolusi Indonesia yang dilakukan melalui lukisan anak-anak adalah upaya yang luar biasa dalam historiografi Indonesia. Hanya saja, apa yang dilakukan anak-anak didik Dullah tidak dapat dipisahkan dari mentornya.
Di tengah situasi perang, murid-murid Dullah menyamar dan berkamuflase. Ada dari mereka yang menjadi penjual rokok. Mereka menyimpan alat-alat lukis mereka di bagian bawah dagangan mereka, sebab saat itu alat-alat lukis masih begitu sukar ditemukan, apalagi kertas. Pada masa itu kekurangan kertas sering kali diselesaikan dengan menggunakan kertas bekas.
Porsi penuturan sejarah dalam buku ini lebih banyak mengenai interpretasi atas lukisan anak-anak yang dialasi oleh nama besar Dullah sebagai seorang maestro seni lukis.
Situasi dan kondisi perang memang tidak lagi kita rasakan secara langsung saat ini. Akan tetapi, menghasilkan karya seni yang tidak terpisah dari realisme rakyat, kiranya juga menjadi hal yang penting bagi pendidikan kita. Pendidikan kenegaraan bisa dihadirkan melalui medium seni yang tak melulu berbicara mengenai keindahan.
Akhirul kalam, sejarah Indonesia adalah puzzle yang mesti dilengkapi dengan peristiwa-peristiwa kecil yang kadang terlewatkan, nama-nama orang kecil yang lebih sering dilupakan. Sejarah bukan hanya milik mereka yang bernama besar.
Aristayanu Bagus K, Alumnus Sejarah Universitas Sanata Dharma, Pengajar Sejarah di Sekolah Citra Kasih Don Bosco Pondok Indah