Umumnya, warga memahami elemen resiprositas di pemilu ketika obyek hadiah yang diberikan berwujud uang atau barang.
Oleh
PAMUNGKAS AYUDANING DEWANTO
·4 menit baca
Pemilu 2024 telah usai. Seperti biasanya, polemik caleg tak terpilih kembali ramai diperbincangkan. Di antara banyak kisah, pengalaman Sumedi, salah seorang caleg dari PKS yang maju dari daerah pemilihan 4 Kota Cilegon, menarik untuk dibahas lebih lanjut. Refleksi dari kisah Sumedi ini berpotensi memberikan penjelasan tentang perilaku masyarakat Indonesia yang cenderung mengabaikan aspek ideasional dalam pemilu lima tahunan.
Singkatnya, selama 10 tahun terakhir, Sumedi berkorban untuk membantu warga sekitar membangun infrastruktur air bersih. Sumedi telah hadir di tengah warga sebagai ”aksi-langsung” merespons kegagalan fungsi negara untuk menyediakan air bersih bagi warganya. Ternyata, jasa Sumedi justru tak dianggap bernilai bagi masyarakat sehingga dukungan suara kepada Sumedi justru sangat kecil di kalangan mereka yang menikmati bantuan akses air dari Sumedi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Mengapa Sumedi tak dipilih? Dan mengapa ”serangan fajar” masih efektif dan menjadi momok bagi caleg ideologis dalam setiap pemilu? Serangan fajar atau pemberian hadiah, baik dalam bentuk uang maupun ”sembako” dalam pemilu merupakan suatu kejadian yang rutin dan melekat dalam masyarakat di banyak wilayah. Tulisan ini akan membahasnya dengan pendekatan antropologis, dan fokus kepada literatur ”pemberian hadiah” (gift-giving) dalam tradisi universal masyarakat dunia.
Sejak 1980-an, para antropolog telah tergelitik dengan fenomena pemberian hadiah. Pemberian hadiah merupakan suatu aktivitas yang universal dan terjadi di hampir seluruh peradaban di dunia. John Sherry (1983) melihat bahwa fenomena pemberian hadiah tak bisa dilihat hanya sebatas pemberian. Di balik pemberian hadiah terdapat berbagai aspek penting yang membentuk ikatan sosial, resiprositas, serta pemaknaan dari obyek hadiah ataupun peristiwanya, baik bagi pemberi maupun penerimanya.
Sebagai warga yang kerap berpindah dari satu kota ke kota lain di Indonesia, saya mengamati perilaku masyarakat Indonesia terhadap ”hadiah” cukup seragam. Hampir semua warga merasa senang dan ”diorangkan” saat mendapatkan bingkisan. Meski berlatar belakang keluarga berkecukupan, misalnya, seseorang tetap mengharapkan hadiah sembako.
Sebaliknya, jika keluarganya tidak terhitung sebagai penerima sembako, hal itu berpotensi membangun benih kebencian di kalangan warga. Tak jarang, peristiwa protes atas distribusi sembako menjadi pemicu konflik horizontal. Pemberian sembako menjadi penanda bahwa hadiah merupakan penentu eksistensi warga di suatu perkampungan.
Karena mengandung elemen simbol dan resiprositas, ilmuwan lain seperti Van Baal (1975) dan Graycar dan Jancsics (2016) telah mengingatkan risiko tumpang tindih antara konsep ”pemberian hadiah” dengan ”suap” ataupun ”korupsi’. Sayangnya, akademisi Barat melihat pemberian hadiah dalam konteks suap dalam kasus pemberian hadiah untuk institusi penyedia layanan publik saja. Padahal, spektrum ”suap” dalam pemberian hadiah dapat dimaknai secara lebih luas.
Masyarakat merasa asing dengan hal-hal di luar amplop dan sembako, sebagai obyek hadiah di era pemilu.
Spektrum suap lain dalam pemberian hadiah ini tampak dari fenomena ”serangan fajar” seperti pembagian sembako ataupun ”amplop” pada masa pemilu. Tak jarang warga kerap mengidentifikasi calon dengan ”nilai tukar” (jumlah uang) yang terdapat dalam amplop. Warga menyandingkan nama caleg dengan jumlah isi amplop yang mereka berikan.
Situasi ini menunjukkan bahwa secara struktural, warga memahami bahwa pemberian hadiah di era pemilu terdiri atas tiga elemen, yaitu (1) identitas pemberi (caleg) yang dikaitkan dengan (2) obyek ”hadiah” (jumlah uang/sembako) dan (3) diletakkan dalam konteks pemilu. Selain itu, dalam situasi pemilu, warga memahami bahwa elemen resiprositas (pemberian suara) hanya terjadi ketika obyek hadiah yang diberikan berwujud ”amplop” atau sembako dan memiliki nilai yang kompetitif.
Ketimpangan obyek
Dengan konteks struktural pemberian hadiah pada masa pemilu di atas, kekalahan Sumedi menyiratkan adanya ketimpangan bentuk obyek yang ditransaksikan antara pemberi (caleg) dan penerima (warga). Sumedi (dan media) memiliki ekspektasi yang terlalu ”tinggi”, seperti mengaitkan antara pemilu dan kesempatan untuk menghadirkan pelayanan publik yang baik.
Padahal, bagi masyarakat, imajinasi mereka terkait pemilu cukuplah sederhana. Masyarakat di perdesaan menilai pemilu tak lebih dari sebatas mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) untuk mencoblos, menjadikan capres/cawapres sebagai bahan obrolan rutin mengisi waktu, serta menantikan datangnya ”obyek hadiah” berupa amplop ataupun sembako dari para caleg. Amplop dan sembako merupakan instrumen penting bagi warga untuk menutup kebingungan akan siapa yang akan mereka coblos, dan mempersingkat durasi seseorang berada di bilik suara.
Sementara itu, obyek hadiah lain berupa ”gagasan”, ”transparansi”, ”program”, atau ”akses penyediaan fasilitas publik” seperti yang diberikan oleh Sumedi, tidak berada dalam radar kognitif warga terkait dengan pemilu. Masyarakat merasa asing dengan hal-hal di luar amplop dan sembako, sebagai obyek hadiah di era pemilu.
Sebagian besar warga di perkampungan tempat tinggal saya tidak melihat adanya kaitan antara seleksi kepemimpinan dan perubahan kondisi kehidupan. Kenaikan harga beras, misalnya, tidak dianggap sebagai implikasi dari kegagalan kepemimpinan, tetapi fenomena rutin yang mesti dijawab dengan mengurangi jumlah konsumsi beras.
Dalam masyarakat tradisional yang mandiri dengan mobilitas yang rendah, pemilu hanyalah ritual lima-tahunan yang mesti dilalui layaknya perayaan hari-hari raya lainnya. Dengan kata lain, pemilu dianggap sebagai kegiatan yang steril dari perumusan kebijakan publik.
Melalui pemilu dari masa ke masa, dapat disimpulkan bahwa formula menjadi caleg sukses (terpilih) di Indonesia tidak diawali dari program, gagasan, ataupun rekam jejak. Untuk dapat terpilih, seorang caleg harus mampu mengakumulasi obyek hadiah yang dapat dicerna oleh warga.
Mengutip Muhtadi (2019: 210), ”jual-beli” suara memang bukan jaminan sukses, tapi tidak ada strategi alternatif lain yang lebih menjanjikan bagi para caleg untuk mengamankan suaranya. Para caleg 2029, demokrasi ritualistik memang mahal. Sayangnya, anda tak punya banyak pilihan. Semoga sukses pada pemilihan selanjutnya!
Pamungkas Ayudaning Dewanto, Dosen Mata Kuliah Antropologi Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik Universitas Mataram