Menagih Janji Capres untuk Guru
Harapan para guru, pemerintahan baru serius menata sistem penggajian dan memperhatikan peningkatan kesejahteraan guru.
Perhelatan politik nasional lima tahunan, yaitu pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) usai sudah. Pilpres dan pileg berlangsung dengan aman dan tertib dengan segala dinamikanya, pada 14 Februari 2024.
Hasil penghitungan real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan pasangan capres dan cawapres nomor urut dua, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang akan memimpin Indonesia selama lima tahun ke depan. Seluruh lapisan masyarakat termasuk para guru di dalamnya tentu akan menunggu realisasi dari janji-janji politik yang telah disampaikan ke publik selama kampanye berlangsung.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dalam janji-janji yang dilontarkan pasangan capres dan cawapres pemenang pemilu, salah satunya tentang rencana kenaikan gaji guru. Dalam video yang beredar luas di kalangan guru dan masyarakat luas, Hashim Djojohadikusumo sebagai salah satu bagian dari tim kampanye nasional Prabowo-Gibran, menyatakan rencana adanya kenaikan gaji guru mulai Oktober 2024. Bahkan, Hashim sempat meminta pernyataannya direkam. Hal tersebut menjadi bukti autentik yang tidak terbantahkan dan kelak dapat ditagih kebenarannya oleh para guru.
Baca juga: Janji Manis bagi Guru dan Dosen, Sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Mengapa kesejahteraan kaum Oemar Bakri harus diperhatikan dan layak untuk diberikan kenaikan penghasilan yang layak? Karena memang peran guru yang sangat strategis dalam upaya mempersiapkan Generasi Emas Indonesia di 2045, tetapi sebagian besar mereka penghasilannya masih jauh dari layak untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum.
Guru berhak sejahtera
Seperti halnya profesi lain yang lebih menjanjikan kehidupan yang layak, guru pun berhak sejahtera. Selama beberapa dekade ini, penghasilan guru yang disertifikasi memang lebih baik dengan adanya tunjangan profesi guru (TPG) sebesar satu kali gaji pokok bagi guru Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Bagi guru swasta diberikan secara umum sebesar Rp 1,5 juta per bulan dan dibayarkan sama dengan guru PNS setiap tiga bulan sekali. Sebagian kecil guru swasta menikmati TPG lebih baik dengan adanya kebijakan penyetaraan (inpassing) dengan gaji pokok PNS, tetapi sementara ini inpassing ditiadakan.
Hal mendasar yang perlu dilakukan pemerintahan baru adalah perbaikan sistem penggajian guru. Perlu ada regulasi mengenai penghasilan minimum guru dan pemberian remunerasi, agar guru tidak digaji semena-mena dan seolah tidak berperikemanusiaan. Bagaimana mungkin profesi yang sangat strategis dalam pembangunan sumber daya manusia, tetapi diberikan penghasilan sangat minim dan perhatian terhadap kesejahteraannya masih sangat kurang.
Pemberian TPG pun harus melalui proses yang tidak sederhana dan diberikan secara rapel setiap tiga bulan sekali yang seringkali telat dibayarkan oleh pemerintah daerah. Mekanisme pembayaran tunjangan melalui anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) memang kerap menuai masalah di beberapa daerah.
Contoh kasus, para guru di Kabupaten Saburai Jua, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menggelar aksi unjuk rasa dan berdialog dengan bupati untuk menuntut pembayaran TPG. TPG 344 orang guru SD dan SMP untuk triwulan empat belum dibayarkan sejak 2021 (Kompas.com, 8/2/2024).
Perlu ada regulasi mengenai penghasilan minimum guru dan pemberian remunerasi, agar guru tidak digaji semena-mena dan seolah tidak berperikemanusiaan.
Kasus seperti yang terjadi di NTT juga kerap terjadi di berbagai daerah. Fenomena ini bagaikan gunung es, yang muncul ke media dan menjadi perhatian publik. Mungkin saja, kasus semacam ini dapat terjadi di daerah lain hanya saja tidak terekspos.
Keterlambatan pencairan TPG bukan isu baru. Guru memang kerap menjadi korban dan obyek penderita yang suaranya hanya teronggok di ruang-ruang sunyi dari perhatian publik. Namun, apabila ada kasus guru melakukan kesalahan terhadap siswa, maka isu tersebut menggelinding bak bola salju yang memancing perhatian publik.
Harapan para guru, agar pemerintahan baru nanti sungguh serius menata sistem penggajian guru dan betul-betul memperhatikan peningkatan kesejahteraan guru. Jangan sampai tuntutan tinggi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dibebankan di pundak guru tidak linear dan sebanding dengan penghasilan yang diberikan. Janji capres terhadap peningkatan kesejahteraan guru ini harus betul-betul diwujudkan agar beban tugas guru yang berat sebanding dengan penghasilan yang layak diterima.
Perlindungan hukum profesi guru
Selain kesejahteraan, profesi guru rentan mendapat perlakuan yang tidak sewajarnya karena menjalankan profesinya. Kasus kekerasan verbal maupun fisik kerap dialami para guru di berbagai daerah. Yang terbaru, kasus penganiayaan terhadap Damianus Dolu, Guru SMAN 1 Nubatukan Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terjadi 19 Februari 2024 (Kompas.id, 14 Maret 2024).
Damianus Dolu, guru honor di SMAN 1 Nubatukan, dianiaya dua laki-laki dari keluarga salah satu siswi kelas XI-C yang tidak diterima karena ditegur Damianus. Penganiayaan tersebut terjadi saat Damianus mengajar di kelas, dan disaksikan murid-murid lainnya.
Fenomena kekerasan yang dialami Damianus adalah kasus kesekian dari rentetan kasus lain yang dialami guru saat menjalankan tugas profesinya di kelas. Tidak jarang kasus perundungan terhadap guru ini gaungnya jarang terdengar dan diperhatikan publik dibandingkan kasus perundungan yang dialami siswa.
Baca juga: Karut-marut Pengelolaan Guru yang Belum Juga Berakhir
Guru yang mengalami kasus kekerasan ini pun tidak jarang menderita trauma panjang bahkan hingga menderita luka permanen. Seperti kasus yang dialami salah satu guru di Provinsi Bengkulu yang harus kehilangan salah satu bola matanya akibat kekerasan yang dilakukan orangtua siswa.
Beberapa kasus kekerasan yang dialami guru turut menjadi perhatian Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). PGRI kerap turun memberikan advokasi terhadap permasalahan hukum yang dialami para guru di berbagai penjuru Tanah Air.
PGRI menilai penting ada undang-undang perlindungan terhadap profesi guru dan Badan Guru Nasional yang mengatur manajemen tata kelola guru secara komprehensif dari hulu hingga hilir. Regulasi saat ini seperti Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Guru dipandang belum mampu mengakomodir permasalahan yang kerap dialami guru di lapangan terutama terkait kesejahteraan dan perlindungan hukum.
Kaum Oemar Bakrie hingga kini masih sering dirundung berbagai persoalan yang menjadikan guru dipandang sebelah mata dan menjadi profesi kelas dua di masyarakat karena dianggap tidak ada jaminan keamanan dan kenyamanan secara finansial. Penghargaan dan pengakuan terhadap profesi ini pun semakin tergerus dan nyaris mendekati titik nadir.
Harapan para guru, janji-janji presiden dan wapres terpilih untuk meningkatkan kesejahteraan para guru dapat direalisasikan sehingga kualitas pendidikan Indonesia dapat melesat cepat.
Anak-anak muda berbakat dan berprestasi cemerlang pun enggan melirik profesi ini. Hal ini ditambah dengan perekrutan guru tidak lagi sebagai Pegawasi Negeri Sipil (PNS) dalam tiga tahun terakhir ini menjadikan guru kian jauh dari profesi idaman anak-anak muda yang cerdas dan hebat di negeri ini.
Guru harus terus meningkatkan kompetensinya sebagai insan cendekia pembelajar sepanjang hayat. Pemerintah baru nanti diharapkan pula dapat memberikan perhatian terhadap peningkatan kompetensi semua guru dan memberikan kesempatan yang sama bagi mereka untuk berkembang dan meningkatkan kariernya.
Harapan para guru, janji-janji presiden dan wapres terpilih untuk meningkatkan kesejahteraan para guru dapat direalisasikan sehingga kualitas pendidikan Indonesia dapat melesat cepat. Pendidikan nasional yang berkualitas tentu akan terwujud apabila guru-guru terjamin kesejahteraannya dan terlindungi secara hukum dalam menjalankan profesinya.
Catur Nurrochman Oktavian, Wakil Sekretaris Jenderal PB PGRI; Kepala SMPN 3 Tenjo Kabupaten Bogor, Jawa Barat