Ramadhan bergulir separuh bulan. Gencatan senjata di Gaza yang diangankan terjadi Ramadhan ini belum juga terwujud.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Gencatan senjata, satu-satunya cara menghentikan petaka kemanusiaan di Gaza, seperti menegakkan benang basah. Dewan Keamanan PBB kerap berakrobat diplomasi.
Setelah perang Hamas-Israel berkobar di Gaza, sejak hampir enam bulan lalu, hanya tujuh hari pertempuran berhenti. Sejak itu, sudah lebih dari 32.000 warga Palestina di Gaza tewas dan 74.500 orang luka-luka. Di pihak Israel, sekitar 1.200 orang tewas dan sekitar 250 orang disandera. Data citra satelit PBB memperlihatkan 35 persen bangunan di Gaza hancur.
Di enklave yang kerap disebut ”penjara terbuka” terbesar di muka Bumi itu, menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (UN OCHA), sedikitnya 576.000 warga atau seperempat dari total populasi Gaza sudah mendekati tahap kelaparan (famine). Yang memantik ”kegeraman moral”, kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, adalah tindakan memblokade bantuan kemanusiaan bagi warga Gaza.
Sampai kapan kegilaan ini akan berakhir? Pernyataan mengiris nurani ini dilontarkan Philippe Lazzarini, Kepala Badan Bantuan Sosial dan Pekerja PBB, UNRWA, yang mengurus pengungsi Palestina. Tak ada cara menghentikan ”kegilaan” itu selain mewujudkan gencatan senjata untuk kemanusiaan (humanitarian cease-fire). Cara ini diamini Guterres.
Namun, sampai kini belum ada tanda-tanda gencatan senjata bakal segera terwujud. Semula banyak kalangan berharap, gencatan senjata itu—meski sementara, yang diharapkan menjadi jalan menuju permanen—bisa terjadi sebelum Ramadhan tiba. Akan tetapi, sampai Ramadhan bergulir separuh bulan, tak ada sinyal kesepakatan gencatan senjata di Gaza.
Negosiasi tidak langsung antara Hamas dan Israel, dengan mediasi Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat, tak membuahkan hasil. Begitu pula langkah PBB, khususnya di Dewan Keamanan, organ berpengaruh dengan tugas menjaga perdamaian dan keamanan. Sejauh ini, hasilnya juga nol besar.
Dari delapan rancangan resolusi mengenai isu Gaza sejak 7 Oktober 2023, hanya dua yang berhasil diadopsi. Itu pun lebih pada seruan bantuan kemanusiaan, bukan seruan gencatan senjata. Penyebabnya adalah veto yang digenggam lima anggota DK PBB (AS, China, Inggris, Perancis, dan Rusia).
Terakhir, Jumat (22/3/2024), DK PBB kembali gagal mengadopsi resolusi yang diusung AS akibat veto Rusia dan China. Dua negara ini menilai draf usulan AS ambigu dan mengelabui komunitas internasional yang ingin melihat gencatan senjata di Gaza. Sebelumnya, AS juga telah memveto tiga rancangan resolusi yang mendesak gencatan senjata di Gaza.
AS, seperti dilontarkan mantan anggota Dewan Legislatif Palestina, Hanan Ashrawi, kepada Al Jazeera, cenderung memanipulasi DK PBB lewat akrobat-akrobat diplomasinya dengan mengalihkan perhatian dari isu-isu utama krisis Gaza demi membela Israel. Ada satu kesempatan lagi bagi DK PBB, yakni pada pemungutan suara rancangan resolusi usulan 10 negara anggota DK PBB, Senin (25/3/2024), apakah mereka dengan otoritasnya mampu mendorong gencatan senjata di Gaza.
-------
Catatan editor:
Pada Senin (25/3/2024) malam WIB, setelah artikel Tajuk Rencana ini naik cetak, sidang DK PBB mengadopsi resolusi gencatan senjata di Gaza setelah AS memilih abstain.