Publik diharapkan cermat dalam memilih paket haji dan umrah ke Tanah Suci. Jangan mudah tergiur paket murah dan cepat.
Oleh
Redaksi Kompas
·2 menit baca
Menjelang pelaksanaan haji tahun 1445 Hijriah, masyarakat diimbau bijak memilih paket haji dan umrah. Jangan tergiur paket murah, cepat, tetapi sebenarnya rentan penipuan.
Saat ini calon jemaah haji Indonesia tengah melunasi biaya perjalanan ibadah haji. Penerbangan pertama ke Arab Saudi dijadwalkan pada 12 Mei 2024. Wukuf di Arafah sebagai puncak haji pada pertengahan Juni. Setelah menjalani rangkaian ibadah, jemaah bakal pulang ke Tanah Air dengan kelompok terbang terakhir pada 22 Juli 2024.
Berdasarkan data Kementerian Agama RI, kuota jemaah haji Indonesia tahun 2024 sebanyak 221.000 orang, serta 20.000 kuota tambahan, sehingga total 241.000 orang. Jumlah itu terdiri dari 213.320 jemaah haji reguler dan 27.680 jemaah haji khusus.
Meski kuota haji reguler dan khusus telah resmi ditetapkan, sejumlah biro perjalanan masih mencoba menawarkan paket haji dan umrah. Paket ini mengincar visa mujamalah (kehormatan) yang diberikan Kerajaan Arab Saudi. Jemaah diberangkatkan secara mandiri di luar jalur yang dikelola Kementerian Agama RI sehingga lazim disebut haji furoda.
Di luar itu, muncul juga tawaran paket dengan modus lain, seperti haji dengan visa ziarah (kunjungan), haji visa umal (pekerja), umrah murah, dan umrah backpacker. Paket-paket itu cukup menggoda, terutama bagi masyarakat yang ingin pergi haji, tetapi enggan antre lama melalui haji khusus atau jalur reguler. Maklum, daftar antrean keberangkatan haji resmi masih panjang, bahkan hingga puluhan tahun.
Namun, perlu diingat, tidak semua skenario paket haji-umrah cepat itu berjalan lancar, bahkan sering mengorbankan jemaah. Dalam sejumlah kasus, calon jemaah terlunta-lunta di bandara Arab Saudi setelah gagal masuk ke Tanah Suci karena visanya tidak sesuai peruntukan. Terkadang, ada jemaah yang memakai visa dari negara lain. Visa umal memungkinkan pekerja masuk ke Arab Saudi, tetapi tidak otomatis bisa melaksanakan haji karena memerlukan izin dari majikan dan membayar paket masyair (biaya di Arafah, Muzdalifah, Mina) kepada Arab Saudi.
Mengacu data Kompas selama 10 tahun terakhir, tercatat 14 kasus besar penipuan haji dan umrah dengan puluhan ribu korban. Salah satunya kasus First Travel pada 2017 yang mengelabui 63.310 korban yang telah menyetor dana, tetapi justru diselewengkan untuk membeli aset pribadi. Beberapa pimpinan biro perjalanan ini telah dipenjara.
Di tengah tawaran paket haji-umrah, masyarakat diimbau untuk memastikan layanan, penerbangan, visa, serta biro perjalanannya jelas dan berizin resmi. Periksa kembali data penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) atau penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK). Jika tidak mendapat kepastian, sebaiknya jangan diambil. Saat bersamaan, Kementerian Agama RI perlu lebih proaktif untuk mengawasi biro perjalanan haji dan umrah dan mengambil langkah-langkah pencegahan agar kasus penipuan itu tidak berulang.