Paskah, Kegagalan Salib, dan Demokrasi
Sebagaimana kegagalan salib, semoga demokrasi yang dinilai gagal di Pilpres 2024 berbuah kemenangan bagi bangsa kita.
Umat Kristiani akan merayakan Paskah pada 31 Maret 2024, momentum spiritual teologis bahwa kegagalan salib diubah menjadi kebangkitan yang mengalahkan maut! Secara manusiawi, salib Yesus dapat dipandang sebagai kegagalan, tetapi secara ilahi merupakan kemenangan.
Kiranya relevan dan signifikan merefleksikan Paskah bagi bangsa Indonesia yang baru saja melaksanakan pesta demokrasi melalui Pemilu 2024. Di satu sisi, proses demokrasi dinilai gagal dan demokrasi dianggap mengalami kemunduran oleh sejumlah kalangan karena berbagai alasan, baik politis maupun etis.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Anggapan ini datang terutama dari kubu yang dalam kontestasi pilpres tidak puas terhadap hasil penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sejumlah pihak juga mempertanyakan proses demokratisasi yang lemah dan dinodai oleh kepentingan politik yang tidak etis, beraroma koruptif, kolutif, dan nepotif!
Sementara di sisi lain, pesta demokrasi dianggap berhasil dilaksanakan dengan damai. Partisipasi masyarakat warga dalam konteks Pilpres 2024 memberikan kemenangan telak kepada pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Baca juga: Paskah dan Ketiadaan Diri
Hasil Pilpres 2024 sebagaimana ditetapkan KPU, Prabowo-Gibran mendapatkan 58,6 persen perolehan suara sah atau sebanyak 96.214.691 dari total suara sah nasional, Selasa (20/3/2024). Pasangan Prabowo-Gibran unggul di 36 provinsi. Pasangan Anies-Cak Imin unggul di dua provinsi lainnya dengan 40.971.906 suara (24,9 persen), sementara Ganjar-Mahfud tak menang di provinsi mana pun, dengan 27.040.878 suara (16,5 persen).
Bagaimana memahami hasil pemilu dengan proses demokrasi yang di satu sisi dinilai gagal, tetapi di sisi lain terdapat kemenangan mayoritas yang telak? Dapatkah kemenangan Prabowo-Gibran dinilai sebentuk kegagalan demokrasi? Bagaimana merenungkan realitas yang dinilai sebagai kegagalan, tetapi masih bisa ditemukan keberhasilan yang di luar nalar dalam terang kegagalan salib dan Paskah?
Kegagalan salib?
Bagi umat Kristiani, Paskah tak bisa dilepaskan dari peristiwa salib Yesus, yang pada awalnya dipandang sebagai kegagalan yang mengerikan, bahkan hingga para murid Yesus dicekam ketakutan dan bersembunyi karena khawatir mengalami nasib seperti Yesus, dibunuh dan disalibkan! Dalam 1 Korintus 1:18-25, Paulus menyebut kematian Yesus di kayu salib sebagai bertentangan dengan nilai-nilai dunia dengan sejumlah alasan.
Pertama, pemberitaan tentang salib adalah kematian bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi orang yang diselamatkan, pemberitaan itu adalah kekuatan Allah. Salib adalah tanda kasih Allah yang paling agung dalam kisah sengsara Yesus.
Kedua, orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat. Dalam konteks ini, Paulus mengatakan, kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan.
Namun, untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. Yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya daripada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat daripada manusia.
Pemberitaan tentang salib adalah kematian bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi orang yang diselamatkan, pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.
Ketiga, bagi Paulus, menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang. Namun, apa yang bodoh bagi dunia dipilih Allah untuk mengalahkan orang-orang yang berhikmat; dan apa yang lemah bagi dunia dipilih Allah untuk mengalahkan apa yang kuat; dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia dipilih Allah; bahkan apa yang tidak berarti dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah (lihat 1 Kor 1:18-29).
Maka, salib merupakan kegagalan kalau hanya dipandang secara manusiawi, bahkan merupakan kebodohan dan batu sandungan. Namun, salib yang dipandang sebagai kegagalan tersebut menjadi hikmat yang menyelamatkan karena ada campur tangan Allah yang mengangkat salib menjadi jalan penebusan dan menyelamatkan semua orang, tanpa diskriminasi.
Dalam kegagalan salib terpancar kerendahan hati dan pemuliaan bagi siapa saja yang direndahkan dan dihina. Salib yang pada awalnya merupakan tanda penghinaan yang bodoh dan batu sandungan, berkat Paskah Kristus diubah menjadi tanda kemenangan, kemuliaan, dan kebangkitan. Campur tangan Allah selalu memihak kepada siapa pun yang dihina dan direndahkan oleh kecongkakan dan arogansi!
Demokrasi ”vox populi vox Dei”
Apa hubungan kegagalan salib dengan ”kegagalan demokrasi” kita? Dapatkah slogan vox populi vox Dei ditempatkan untuk membaca, merenungkan, dan menerima proses demokratisasi di negeri ini, yang oleh sejumlah kalangan dinilai gagal?
Terminologi vox populi umum digunakan di Republik Romawi pada zamannya. Namun, referensi paling awal yang kita ketahui menyamakannya dengan suara Tuhan hingga muncullah slogan vox populi vox Dei. Dengan segala pro dan kontra yang ada, slogan tersebut lantas dikaitkan dengan sarjana dan guru Saxon Alcuin dari York (735-804), yang saat itu menjabat Master of the Palace School di Aachen.
Dalam suratnya kepada Kaisar Charlemagne pada 800, Alcuin menulis, ”Dan orang-orang yang selalu mengatakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan tidak boleh didengarkan (begitu saja) karena kerusuhan yang terjadi di masyarakat selalu mendekati kegilaan” (John Guttman, 2013).
Baca juga: Renungan Paskah: Mengingat yang Menderita
Keberatan Alcuin dapat kita terima apabila suara rakyat disertai kerusuhan yang destruktif. Yang demikian bukanlah suara Tuhan. Namun, dalam konteks yang konstruktif, suara rakyat bisa diterima sebagai suara Tuhan, seperti tampak dalam sejarah kehidupan Santo Ambrosius.
Dia yang bahkan saat itu belum dibaptis sebagai orang Katolik, dengan posisinya sebagai pejabat publik, Kepala Dewan Kota Liguria dan Emilia di kota Milan, atas persetujuan Kaisar Valentinianus, Ambrosius pun ditahbiskan menjadi Uskup Milan, l7 Desember 374, menggantikan Uskup Auxentius yang meninggal pada 373.
Pengangkatan dan penahbisan Ambrosius sebagai Uskup Agung Milan tidak melalui proses yang wajar secara nalar. Hanya karena teriakan satu anak di tengah proses pemilihan uskup yang panas dan sengit, lantas semua yang hadir setuju bahwa Ambrosius yang bahkan tidak memiliki latar belakang pendidikan sebagai imam pun akhirnya ditahbiskan menjadi uskup.
Di situlah vox populi vox Dei mendapatkan kebenaran, berbeda dari yang dikritisi Alcuin. Bahkan, Uskup Ambrosius pun tak hanya hadir sebagai Uskup Metropolit Milan, hingga saat ini dia dikenal sebagai Bapa Gereja bersama Agustinus, Hieronimus, dan Leo Agung.
Bagaimanakah dengan demokrasi Pilpres 2024? Apa bisa disimpulkan bahwa kemenangan telak Prabowo-Gibran yang meraih 58,6 persen atau sebanyak 96.214.691 dari total suara sah nasional dengan keunggulan di 36 provinsi tersebut sebagai vox populi, dan dengan demikian juga vox Dei? Ataukah realitas sosial politik tersebut akan tetap dipahami sebagai kegagalan (pendidikan) demokrasi kita?
Mari kita refleksikan realitas itu dengan terang kegagalan salib yang berbuah Paskah. Dalam tradisi Kristiani, Salib Kristus menunjukkan kepada dunia cara berbeda untuk mengukur kesuksesan. Kesuksesan tidak diukur dengan perspektif sekular, tetapi paradigma spiritual.
Dalam paradigma ini, perlulah dipahami secara teologis cara Tuhan melihat hasil kerja manusia. Karena itu, ketika upaya dan pekerjaan kita tampaknya gagal dan tidak membuahkan hasil, kita perlu ingat bahwa akan selalu ada campur tangan Tuhan dalam setiap peristiwa kehidupan kita.
Kendati secara manusiawi kehidupan Yesus Kristus berakhir dengan kegagalan salib, tetapi sesudah kegagalan salib lahirlah keberhasilan Paskah.
Sebagai warga bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, kita selalu menempatkan segala perjuangan kebangsaan tak lepas dari campur tangan Allah, bahkan dipahami sebagai ”atas berkat dan rahmat Allah Yang Maha Kuasa”.
Paradigma spiritual teologis inilah yang dihayati umat Kristiani dalam memahami kegagalan salib yang berbuah kemenangan Paskah. Kendati secara manusiawi kehidupan Yesus Kristus berakhir dengan kegagalan salib, tetapi sesudah kegagalan salib lahirlah keberhasilan Paskah. Semoga demokrasi yang dinilai gagal dalam Pilpres 2024 berbuah kemenangan bagi bangsa kita menuju Indonesia Emas yang sejahtera.
Selamat Paskah bagi yang merayakannya.
Aloys Budi Purnomo, Rohaniwan dan Pengajar Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang
Instagram: aloys_budip_pr