Filosofi Susu dan Kebijakan Politik Kesehatan
Sejatinya narasi intervensi gizi apa pun, termasuk kebijakan subsidi susu, akan sangat efektif bila berbasis posyandu.
Sepanjang peradaban manusia, susu berfungsi penting sebagai sumber gizi dan ketahanan pangan hingga peran metafora sebagai lambang kehidupan dan keberlanjutan.
Di banyak kebudayaan, susu mempunyai nilai sosial dan ritualistik, terukir di relief candi-candi kuno hingga tersurat dalam mitologi Yunani klasik.
Menyusui dianggap sebagai tindakan naluriah tertinggi untuk melanjutkan kehidupan. Memiliki ternak sapi perah di masa lampau adalah bagian dari kelas elite di sejumlah negara.
Namun, evolusi teknologi dan industri kemudian turut mengubah hubungan manusia dengan susu tak sekadar kebutuhan gizi semata, tetapi juga menjadi subyek kontroversi, bahkan komoditas politik.
Dinamika politis terkait susu di dunia modern terjadi, antara lain, pada peristiwa pencabutan subsidi susu untuk sekolah dasar di Inggris Raya awal 1970-an oleh Partai Konservatif yang sedang berkuasa, dipelopori oleh menteri pendidikan kala itu, Margaret Thatcher.
Baca juga: Susu Gratis, dari Mana Susunya?
Penghapusan program susu gratis di sekolah dasar dan menengah yang telah berjalan lebih dari satu dekade itu ditujukan untuk penghematan keuangan negara dari anggaran yang tak berhubungan langsung dengan proses pendidikan. Terjadi perdebatan sengit saat itu terkait peran Pemerintah Inggris dalam menyediakan kebutuhan dasar masyarakat, terutama pada anak sekolah.
Kebijakan yang lalu melahirkan sitiran Thatcher The Milk Snatcher itu mengundang pertanyaan prinsip tentang hak asasi manusia, keadilan sosial, dan tanggung jawab pemerintah pada kesejahteraan rakyat. Saat itu, perdebatan seputar susu tak hanya persoalan gizi semata, tetapi juga pertarungan kekuasaan dan nilai-nilai politik yang mendasar.
Ilustrasi
Di tengah kemeriahan pesta demokrasi di Tanah Air, topik susu pun menyeruak di antara isu-isu kampanye capres-cawapres pada kontestasi Pemilu 2024. Topik susu timbul dari janji politik terkait kebijakan subsidi makan siang dan susu gratis di SD, yang kemudian oleh berbagai analisis survei, diyakini menjadi salah satu faktor penentu kemenangan capres-cawapres di pilpres.
Manfaat susu
Secara medis, konsumsi susu, terutama susu pertumbuhan, terbukti memberi manfaat pada kesehatan dan prestasi belajar anak. Penelitian yang diterbitkan di Nutrition Reviews (2020) menunjukkan, konsumsi susu secara teratur pada anak usia SD berkaitan dengan peningkatan status gizi dan tumbuh kembang yang baik. Bahkan, sejumlah studi skala besar, seperti di Scientific Reports (2017), The Journal of Nutrition (2019), dan Journal of Food Sciences and Nutrition (2016), menegaskan manfaat konsumsi susu, terutama susu pertumbuhan secara teratur, pada peningkatan konsentrasi, kemampuan memori, meningkatkan daya tahan tubuh, dan mengurangi risiko penyakit infeksi pada anak.
Semua bukti klinis ini menjadi landasan yang sangat kuat untuk merasionalkan pentingnya konsumsi susu teratur pada anak SD di seantero Indonesia.
Namun, intervensi gizi di masyarakat, terutama populasi anak, harus dicermati secara holistik dan memperhitungkan titik dampak berdasarkan kajian ilmiah mendalam dan sistematis. Banyak bukti klinis yang ekstensif membuktikan, investasi gizi di populasi anak berdampak paling bermakna apabila dilakukan sedini mungkin.
Memiliki ternak sapi perah di masa lampau adalah bagian dari kelas elite di sejumlah negara.
Ini merujuk pada terminologi demografi kesehatan, yaitu populasi seribu hari pertama kehidupan (1.000 HPK), sejak awal kehamilan, periode ASI eksklusif, penyapihan, hingga usia dua tahun. Bahkan, bisa ditarik mencapai usia anak lima tahun atau balita. Ini karena dari aspek tumbuh kembang, di periode inilah 85 persen pembentukan otak, perkembangan kognitif, dan landasan imunitas tubuh telah terbentuk.
Ahmad Suryawan di Sari Pediatri (2017) menekankan, pada periode dua tahun hingga balita, secara praktis otak, sistem kognisi, dan mekanisme dua arah antara pencernaan dan sistem saraf anak telah hampir rampung dan hanya menyisakan 10-15 persen celah proses pematangan organ dan sistem kognitif hingga usia remaja.
Jadi, periode usia 1.000 HPK hingga balita adalah periode emas yang sangat membutuhkan asupan gizi, termasuk susu pertumbuhan, karena akan menjadi modal hidup seorang manusia seumur hidupnya.
Ilmuwan David Barker melalui Barker Hypothesis-nya yang sangat masyhur di komunitas life science menegaskan, peran gizi jadi kunci utama keberhasilan anak melewati periode balita yang kritis dan sensitif ini.
Dalam konsep the developmental origins of the health and disease hypothesis (DOHaD) ini, Barker menjelaskan, potensi genetik yang kurang mumpuni pun dapat diatasi dengan asupan gizi dan stimulasi yang adekuat sejak awal kehidupan.
Ilustrasi/Didie SW
Banyak riset membuktikan keberhasilan negara-negara maju menikmati bonus demografi dan kejayaan teknologi adalah imbas dari keberanian pemerintahnya mengoptimalkan investasi gizi di awal kehidupan, terutama pada ibu dan bayi, sehingga membentuk standar human capital yang superior dan mendominasi peradaban modern. Kuncinya adalah pada intervensi gizi optimal di kelompok 1.000 HPK dan tidak dimulai ketika anak sudah di SD!
Fokus kebijakan
Diskusi dalam konteks subsidi susu dan makan siang, secara disiplin ekonomi kesehatan, berfokus pada besaran nilai investasi yang telah dijanjikan ke publik. Publikasi media menyebutkan program makan siang dan susu gratis diperkirakan membutuhkan anggaran hingga Rp 400 triliun.
Anggaran yang sangat besar! Namun, Bank Dunia menyebutkan, investasi gizi merupakan bentuk smart investment suatu bangsa karena manfaat (return of investment) dari setiap intervensi nutrisi senilai 1 dollar AS akan kembali dalam bentuk dampak kesehatan dan ekonomi jangka panjang sebesar 4 dollar AS.
Namun, penting untuk melakukan analisis korelasi sederhana terkait potensi dampak kebijakan subsidi gizi ini.
Kembali pada konsep fundamental, kapasitas SDM lebih dari 80 persen dibentuk oleh status gizi dan kesehatan yang prima di periode emas 1.000 HPK dan balita. Dengan demikian, subsidi triliunan rupiah pada populasi anak SD tentunya bisa diperdebatkan terkait potensi manfaat dari investasi (return of investment)-nya.
Pertanyaan besarnya, mengapa investasi subsidi tidak dibagi merata hingga ke kelompok ibu hamil, bayi, dan anak balita juga? Bukankah banyak kajian ilmiah yang sahih secara hampir homogen mengerucutkan bentuk intervensi yang paling menguntungkan adalah pada ibu hamil dan usia balita?
Sejatinya narasi intervensi gizi apa pun, termasuk kebijakan subsidi susu dan makan siang gratis, akan sangat efektif bila dilakukan berbasis posyandu.
Mengubah kelompok target intervensi dari anak SD ke bayi dan anak balita pun merupakan keniscayaan karena secara ilmiah ini adalah kelompok target yang paling digdaya menentukan masa depan bangsa.
Strategi subsidi pun menjadi lebih bermakna bila dialihkan dari SD ke pos pelayanan terpadu (posyandu) balita yang secara global menjadi salah satu rujukan intervensi kesehatan ibu dan anak balita oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Bahkan, selama lebih dari empat dekade, posyandu menjadi produk kesehatan komunitas yang paling tepercaya di Tanah Air. Studi Health Collaborative Center (HCC) pada Hari Posyandu 2023 membuktikan, lebih dari 85 persen ibu Indonesia mengandalkan posyandu sebagai tempat monitor tumbuh kembang dan konseling gizi bayinya.
Sejatinya narasi intervensi gizi apa pun, termasuk kebijakan subsidi susu dan makan siang gratis, akan sangat efektif bila dilakukan berbasis posyandu. Hitung-hitungan anggaran pun akan memberi potensi revisi besaran biaya yang jauh lebih rendah dan efektif dibandingkan intervensi pada SD.
Kuantitas dan frekuensi konsumsi bayi tentu tak sebesar anak SD. Varian menu dan olahan pangan pun lebih tidak seberagam anjuran asupan harian anak SD. Secara politis, fokus intervensi di posyandu yang menyasar 1.000 HPK akan menegaskan komitmen negara sesuai amanat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/ SDGs).
Ilustrasi/Heryunanto
Peran makanan pendamping ASI berbasis pangan lokal juga menjadi paket integral apabila dilakukan di posyandu. Subsidi susu pertumbuhan untuk anak balita berusia di atas setahun menjadi potensi intervensi yang secara ilmiah dan etika juga bisa dipertanggungjawabkan. Dampak positif jangka panjangnya juga sarat bukti ilmiah yang semua bermuara ke satu simpulan universal: anak yang sehat jasmani rohani dengan tingkat prestasi akademik yang baik di sekolah.
Perlu diingat, Pemerintah Inggris pun konsisten menghapus subsidi susu pada jenjang sekolah tetapi tetap mempertahankan intervensi nutrisi dan susu pertumbuhan gratis di usia prasekolah, hingga berpuluh tahun sejak peristiwa Thatcher The Milk Snatcher.
Kritik sosial
Dari aspek sosial, kebijakan subsidi ini sangat bisa didukung atas nama narasi membantu mengatasi kesenjangan sosial.
Anak-anak dari keluarga kurang mampu akan mendapatkan asupan susu yang cukup untuk menjamin kesehatan dan proses belajar mereka. Subsidi susu gratis juga dianggap sebagai representasi kebijakan inklusif yang memastikan partisipasi semua anak dalam menikmati fasilitas pemerintah tanpa membedakan latar belakang.
Namun, kritik obyektif bisa dilakukan dengan menyoroti aspek bahwa subsidi susu gratis mungkin tidak mengatasi akar permasalahan kesenjangan sosial yang lebih kompleks.
Peran makanan pendamping ASI berbasis pangan lokal juga menjadi paket integral apabila dilakukan di posyandu.
Pendapat logisnya adalah bahwa sumber daya yang dialokasikan untuk subsidi susu bisa lebih bermanfaat jika digunakan untuk program lain yang lebih holistik, seperti bimbingan dan layanan kesehatan mental yang melibatkan semua anak dan keluarga.
Bahkan, sebaiknya bisa menyasar salah satu kebutuhan mendesak dunia pendidikan Indonesia, yaitu gaji dan kesejahteraan guru, ataupun dukungan fasilitas belajar dan infrastruktur akses ke sekolah di daerah periferi.
Sejujurnya, bagian terhebat dari gagasan kebijakan subsidi susu dan makan siang gratis ini adalah membuncahnya diskusi terkait intervensi gizi yang selama ini dianggap sebagai tema netral dalam perbincangan politik Indonesia. Kini susu tak hanya tentang dimensi gizi semata, tetapi juga tentang bagaimana nilai simboliknya turut membentuk pandangan dan pilihan politik anak bangsa.
Filosofi susu dalam kerangka gizi serta kebijakan politik dan ekonomi kesehatan jadi salah satu isu sentral program kerja pemimpin nasional yang dinantikan seluruh masyarakat.
Ray Wagiu Basrowi, Peneliti Kedokteran Komunitas dan Ketua Health Collaborative Center (HCC)