Kerugian Lingkungan, Kerugian Perekonomian Negara?
Kasus pertambangan tanpa IUP berpotensi memiliki implikasi hukum yang lebih luas.
Saat ini, publik menaruh perhatian pada terjadinya dugaan tindak pidana korupsi terkait penambangan timah yang disebut merugikan negara hingga Rp 271 triliun.
Pada 20 Februari 2024, Kompas.id menurunkan laporan ”Mungkinkah Membuktikan Kerugian Perekonomian Negara Rp 271 Triliun di Kasus Timah?”
Pertanyaan ini penting untuk dijawab. Sebab, apabila dilihat dari pasal yang didakwakan, yaitu Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, bukti adanya kerugian keuangan atau perekonomian negara menjadi poin krusial. Bukti ini dapat membuat sebuah tindak pidana biasa menjadi tindak pidana korupsi.
Dalam laporan Kompas di atas, Kejaksaan Agung menyatakan bahwa kerugian perekonomian negara sebesar Rp 271 triliun ”bukan isapan jempol”.
Angka kerugian ini diperoleh dari penghitungan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) No 7/2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
Dengan demikian, penghitungan kerugian lingkungan menjadi bukti bagi adanya kerugian perekonomian negara.
Baca juga: Mungkinkah Membuktikan Kerugian Perekonomian Negara Rp 271 Triliun di Kasus Timah?
Persoalan dasar hukum penghitungan
Tulisan ini hendak menunjukkan bahwa penghitungan kerugian perekonomian negara berdasarkan kerugian lingkungan masih perlu diperdebatkan ulang.
Permen LH No 7/2014 adalah sebuah upaya Kementerian LH untuk memberikan arahan bagi penghitungan kerugian lingkungan. Dengan arahan ini, penghitungan kerugian lingkungan dilakukan berdasarkan metode ilmiah yang sahih.
Kerugian lingkungan, oleh karena itu, menjadi kerugian yang nyata, dapat dihitung, serta dapat dibuktikan secara ilmiah dan hukum.
Namun, apabila kita membaca bagian menimbang dari Permen LH No 7/2014, segera akan ditemukan bahwa peraturan tersebut merupakan pelaksanaan dari Pasal 90 Ayat (2) UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Pasal 90 UUPPLH merupakan pasal tentang hak gugat pemerintah dalam kasus yang menimbulkan kerugian lingkungan.
Untuk menghitung seberapa besar kerugian lingkungan tersebut, dalam konteks hak gugat pemerintah, UUPPLH mengamanatkan Kementerian LH untuk membuat peraturan, yaitu Permen LH No 7/2014.
Dengan demikian, penggunaan Permen LH No 7/2014 di luar hak gugat pemerintah tidaklah tepat. Karena hak gugat selalu terkait dengan sengketa keperdataan, keabsahan penggunaan Permen LH tersebut dalam kasus pidana, apalagi tindak pidana korupsi, patut dipertanyakan ulang.
Penghitungan kerugian lingkungan sendiri sebenarnya dapat dilakukan berdasarkan berbagai metode yang lazim dikenal dalam ekonomi lingkungan tanpa perlu selalu merujuk pada Permen LH No 7/2014.
Dasar penghitungan: negara sebagai pemilik SDA?
UUPPLH adalah salah satu UU terkait sumber daya alam (SDA), mungkin satu-satunya, yang menjelaskan adanya tanggung jawab negara.
Dengan adanya tanggung jawab ini, hak menguasai negara, sebagai perwujudan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, tidak lagi ditafsirkan hanya berupa kewenangan negara untuk mengatur, mengurus, membuat kebijakan, atau melakukan pengawasan. Lebih dari itu, tanggung jawab negara juga melahirkan kewajiban bagi negara untuk melakukan pencegahan atas terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Baca juga: Kerugian Negara Rp 271 Triliun, dari Mana Asalnya?
Secara implisit, hal ini berarti apabila pencemaran dan kerusakan lingkungan telah terjadi, negara dibebani kewajiban untuk memastikan terjadinya pemulihan lingkungan. Konsep semacam ini lazimnya dikenal dalam literatur sebagai doktrin public trust (amanah publik).
Apabila kita bandingkan kewajiban pemulihan ini dengan ketentuan serupa di Amerika Serikat (AS), misalnya, menurut Comprehensive Environmental Response, Compensation, and Liability Act (CERCLA) atau Oil Pollution Act (OPA), terlihat bahwa seluruh ganti kerugian lingkungan yang diminta oleh negara hanya dapat digunakan untuk biaya pemulihan lingkungan yang tercemar atau rusak.
Gagasan kerugian lingkungan, karena itu, hanya muncul dalam kaitannya dengan tanggung jawab negara sebagai pemegang amanah publik (trustee) untuk memastikan hak publik, dalam konteks ini adalah hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, kembali utuh. Dalam bahasa mereka, kerugian lingkungan dan penghitungannya dimaksudkan ”to make the public whole again”.
Klaim atas kerugian lingkungan ini dilakukan melalui skema hukum administratif atau perdata, tetapi tak menjadi dasar bagi pemidanaan.
Pemulihan sebagai tujuan dari klaim kerugian lingkungan di atas sejalan dengan asas tanggung jawab negara sebagaimana diatur dalam UUPPLH.
Dengan asas ini, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 tidak diartikan bahwa negara atau pemerintah adalah pemilik SDA.
Sebaliknya, dengan asas tanggung jawab negara, hak menguasai negara dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 diartikan sebagai amanah publik yang diemban negara, dengan tanggung jawab untuk menjaga amanah tersebut.
Dengan asas tanggung jawab negara, kerugian lingkungan dihitung untuk menentukan sejauh mana pemulihan dilakukan, bukan untuk memperoleh penerimaan negara bukan pajak (PNBP), apalagi untuk menentukan adanya kerugian perekonomian negara.
Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah telah mengajukan penghitungan kerugian lingkungan dalam gugatan perdata lingkungan, terutama dalam kasus kebakaran lahan.
Hampir semua gugatan tersebut dimenangi oleh pemerintah. Beberapa tergugat, yaitu perusahaan pemegang konsesi, bahkan telah membayar ganti kerugian lingkungan sebagaimana diputuskan pengadilan.
Singkatnya, tanpa rencana pemulihan, tidak mungkin ada klaim kerugian lingkungan.
Sayangnya, meskipun beberapa perusahaan telah membayar kompensasi yang diminta, pemerintah tidak menggunakan kompensasi tersebut untuk melakukan pemulihan di daerah yang diklaimnya telah mengalami kerusakan.
Praktik yang tidak tepat ini justru secara implisit dilegalkan dalam Permen LH No 7/2014, yang menyatakan bahwa kompensasi kerugian lingkungan dibayarkan sebagai PNBP tanpa disertai keharusan bagi pemerintah untuk menggunakan uang tersebut untuk upaya pemulihan. Hal ini patut disayangkan karena hak gugat pemerintah tidaklah ditujukan untuk memperoleh uang kompensasi, tetapi untuk menjamin adanya pemulihan lingkungan.
Untuk menghentikan praktik klaim negara atas kerugian lingkungan tanpa disertai adanya pemulihan, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 1/2023 secara tegas mewajibkan adanya rencana pemulihan bagi gugatan perdata yang mengklaim adanya kerugian lingkungan.
Rencana pemulihan ini dimaksudkan agar klaim kerugian tidak didasarkan pada penghitungan hipotetis, tetapi pada pemulihan yang benar-benar telah atau akan dilakukan.
Singkatnya, tanpa rencana pemulihan, tidak mungkin ada klaim kerugian lingkungan. Kewajiban penyusunan rencana pemulihan pada kasus kerugian lingkungan, dengan ini menegaskan keinginan untuk mendudukkan negara sebagai wali, bukan pemilik SDA, sesuai dengan amanah konstitusi kita.
Penulis khawatir penghitungan kerugian lingkungan sebagai bukti kerugian perekonomian negara tidaklah didasarkan pada rencana pemulihan. Sebab, secara konsep pun kerugian lingkungan ini ditempatkan sebagai kerugian perekonomian negara dan bukan dalam konteks pemulihan.
Jika dugaan penulis ini benar, penghitungan kerugian perekonomian negara ini justru menunjukkan semangat yang tidak sejalan dengan semangat yang diusung perma di atas.
Hukum drakonian
Komentar menyeluruh tentang kasus korupsi timah sebesar Rp 271 triliun memerlukan informasi yang lebih pasti mengenai keterlibatan para pihak.
Namun, apabila kita fokus pada laporan Kompas di atas, tampak bahwa kasus korupsi ini merupakan penambangan timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. Dalam kasus tersebut terdapat kegiatan pertambangan tanpa IUP seluas 81.000 hektar lebih, dari total wilayah pertambangan seluas lebih dari 170.000 hektar.
Berdasarkan laporan Kompas itu, terlihat bahwa kasus ”yang diduga” tindak pidana korupsi ini adalah kasus kegiatan pertambangan tanpa izin.
Baca juga: Kerugian Kasus Timah Lebih Besar jika Perhitungkan Ruang Hidup Masyarakat
Lebih dari sekadar isu penghitungan, kasus pertambangan tanpa IUP yang menjadi sorotan Kompas, menurut penulis, berpotensi memiliki implikasi hukum yang lebih luas.
Apabila kita mengizinkan kegiatan ilegal dianggap sebagai tindak pidana korupsi hanya karena terdapat perbuatan yang melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dan menimbulkan kerugian lingkungan, kegunaan pasal pidana dalam undang-undang terkait dengan SDA menjadi terancam.
Lebih buruk lagi, apabila kasus korupsi hanya mengandalkan penghitungan kerugian lingkungan sebagai bukti adanya kerugian perekonomian negara, batas-batas tindak pidana korupsi dan tindak pidana biasa menjadi kabur.
Akibatnya, semua kasus pelanggaran hukum dapat saja berujung menjadi kasus korupsi. Jika ini terjadi, sesederhana seorang yang membuang sampah di sungai pun dapat diancam dengan tindak pidana korupsi! Hukum seperti ini sangatlah menakutkan, drakonian, dan—dalam konteks lingkungan—tidak ada manfaatnya bagi perlindungan dan pemulihan lingkungan.
Andri G WibisanaGuru Besar Hukum Lingkungan dan Ketua Center for Environmental Law and Climate Justice (CELCJ) Fakultas Hukum Universitas Indonesia