Pemilu, Demokrasi, dan Pemerintahan Indonesia
Apa yang salah dengan demokrasi kita yang diterapkan selama era reformasi? Tak kunjung menghasilkan pemerintahan bersih.
Tumbangnya Orde Baru diawali oleh krisis ekonomi 1997 dan gerakan Reformasi 1998. Serangkaian transformasi dramatik menandai berakhirnya corak otoritarianisme rezim Orba yang memerintah selama tiga dekade.
Ini menghasilkan lanskap politik baru dalam kerangka reformasi atau demokrasi. Namun, pasca-Pemilu 2024, kembali muncul pertanyaan apakah lanskap politik yang dihasilkan gerakan Reformasi 1998 akan ditarik mundur dan dimulai sistem yang mengarah ke otoritarianisme?
Meski sempat didera berbagai masalah—gejolak-gejolak politik yang cukup mengkhawatirkan—pemilu lima tahunan bisa berlangsung relatif baik.
Indonesia pasca-Orde Baru (Orba) juga mencatat sejumlah pencapaian reformasi institusional lainnya, seperti amendemen konstitusi, pembentukan institusi-institusi demokrasi (badan-badan, komite-komite), dan kebijakan desentralisasi/otonomi daerah. Perubahan kelembagaan itu telah memperluas partisipasi rakyat dan semakin melembaganya sistem demokrasi meski belum komplet.
Baca juga: Dunia Kehilangan Kepercayaan pada Demokrasi
Salah urus negara
Meski demikian, berbagai capaian tersebut tampaknya belum cukup menggembirakan rakyat. Persoalannya, masih ada kesenjangan antara melembaganya demokrasi prosedural dan masih buruknya kinerja pemerintahan yang dihasilkan oleh pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Salah urus negara dan pemerintahan masih berlangsung. Hal ini ditandai, antara lain, oleh kian maraknya korupsi, pembusukan kekuasaan akibat tidak adanya supremasi hukum, berlangsungnya konflik kelembagaan di antara lembaga-lembaga demokrasi, serta rendahnya komitmen penyelenggara negara dan wakil rakyat dalam melembagakan pemerintahan nasional dan lokal yang efektif.
Apa yang salah dengan demokrasi kita yang diterapkan selama era reformasi? Mengapa pemilu demokratis yang berhasil diselenggarakan negeri ini sejak 1999 hingga 2024 tak kunjung menghasilkan pemerintahan (nasional dan lokal) yang bersih dan mampu menyelenggarakan tata kelola pemerintahan yang baik dan efektif?
Persoalannya, meskipun perubahan atau revisi atas undang-undang (UU) bidang politik—UU Pemilu; UU Partai Politik; UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (MD3); UU Pemilihan Presiden; dan UU Penyelenggara Pemilu—sudah dilakukan, kualitas demokrasi yang lebih baik tidak kunjung dihasilkan.
Kecenderungan penataan politik yang ad hoc dan tambal sulam tersebut, serta tiadanya kesungguhan dan komitmen untuk mewujudkan rasionalitas demokrasi dan/atau tata pemerintahan yang bersih/akuntabel, membuat capaian-capaian yang ada belum signifikan.
Keberhasilan penyelenggaraan pemilu dan pilkada serta pelembagaan sistem demokrasi pada umumnya tidak diikuti dengan kemampuan bangsa ini mengelola politik dan pemerintahan sesuai amanat para pendiri bangsa seperti termaktub di Pembukaan UUD NRI 1945.
Sulit dimungkiri, meskipun hak-hak politik dan kebebasan sipil telah dijamin oleh konstitusi serta partisipasi politik masyarakat semakin luas, pemilu dan pilkada belum mampu mengantarkan rakyat Indonesia benar-benar berdaulat.
Apa yang salah dengan demokrasi kita yang diterapkan selama era reformasi?
Kinerja partai-partai politik sejak 1999 tidak kunjung menghasilkan landasan atau platform politik nasional. Pelembagaan parpol belum cukup kokoh sehingga berpengaruh terhadap pola promosi kader dan dalam membangun koalisi parpol.
Kampanye lebih merupakan pameran pernak-pernik demokrasi daripada untuk memetakan dan menjawab persoalan-persoalan bangsa. Partai-partai politik hanya memperdebatkan ambang batas elektoral (electoral threshold ) sebagai legitimasi kelayakan berkompetisi, tetapi minim wacana mengenai ide atau program apa yang hendak ditawarkan kepada rakyat.
Disebabkan ketiadaan platform nasional ini, maka parpol-parpol hanya berfungsi sebagai wadah mencari keuntungan (rent seeking purposes) dengan memanfaatkan pilkada, misalnya, apalagi dengan tersedianya peluang dalam kaitannya dengan otonomi daerah.
Praktik rent seeking ini marak sekali dilakukan oleh aktor lokal yang memobilisasi sumber daya untuk saling berkompetisi dalam ajang suksesi kepemimpinan lokal.
Di sisi lain, kapasitas aktor lokal untuk bersaing secara sehat dalam ajang pilkada rendah karena minimnya pendidikan politik. Akibatnya, terjadi penguasaan bursa kandidat di tangan segelintir elite lokal yang bersandar pada struktur negara untuk mengikuti pilkada.
Ini menunjukkan, tak jauh dari apa yang terjadi di tingkat nasional, transformasi nilai-nilai demokrasi yang substantif oleh parpol tak terjadi dalam praktik demokrasi lokal. Alhasil, pemimpin daerah atau lembaga perwakilan daerah yang dihasilkan pemilu tak merepresentasikan kepentingan rakyat.
Selain itu, meski telah menjalankan pemilu yang menghasilkan pergantian pemerintah dari satu periode presiden ke periode presiden berikutnya, semakin terlihat indikasi ketidakmampuan negara memberikan jaminan keamanan terhadap warganya. Selama rentang 2014-2019, misalnya, bermunculan kasus berkaitan dengan politisasi SARA/identitas.
Isu politisasi identitas/SARA dan kekerasan politik saling terkait. Ketiadaan kepastian hukum juga telah menjadikan isu SARA dan perilaku kekerasan juga kian meningkat. Publik pun mempertanyakan keberadaan aparat keamanan yang semestinya berperan penting menghadirkan rasa aman. Tindak kekerasan dan premanisme itu akhirnya menjelma menjadi kekuatan represif yang praktiknya terkesan ”menggantikan otoritarianisme Orba”.
Ketidakpastian dalam transisi politik di Indonesia merupakan fakta yang sering dikemukakan. Dari persoalan konflik-konflik parlemen versus presiden sangat jelas bahwa reformasi sebagai kekuatan pendorong menuju transisi demokrasi hanya jadi jargon kosong.
Pemilu yang berkualitas akan menghasilkan pemerintahan yang berkualitas.
Konflik antar-elite dan distorsi
Fenomena konflik elite terus berulang. Ketidakpastian dalam transisi politik itu juga tampak dalam lemahnya penegakan hukum dalam kasus-kasus korupsi yang berlangsung di arena pemilu, ataupun korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara. Posisi dan peran Polri pun acap kali dipertanyakan dalam konteks pemilu belakangan ini.
Sementara kinerja KPK masih terus digerogoti oleh kepentingan elite untuk menghindarkan tersangka dari jerat hukum. Ironisnya, ketua KPK pun terjerat kasus pelanggaran etika dan hukum (2023).
Apakah fenomena negatif di atas terjadi karena kita sejak Mei 1998 menelan bulat-bulat demokrasi yang didorong oleh liberalisme ekonomi global? Apakah ini bermakna demokrasi di Indonesia harus menggali lagi keindonesiaannya untuk menyelenggarakan demokrasi yang substantif yang mengedepankan keterkaitannya dengan kesejahteraan rakyat?
Mungkin bijak untuk memahami makna demokrasi dalam sebuah negara yang majemuk dan Bhinneka Tunggal Ika seperti Indonesia, dengan mengutip teori etik filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), yang mengingatkan bahwa jika dalam suatu masyarakat majemuk tiap-tiap kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, yang menjadi hasil akhirnya adalah konflik.
Setidaknya dapat disimpulkan bahwa faktor utama yang menghambat demokrasi di Indonesia adalah distorsi-distorsi yang dilakukan oleh aktor-aktor dengan irasionalitas (pilihan) politik yang cenderung manipulatif terkait proses dan prinsip-prinsip demokrasi.
Kurun waktu 26 tahun (1998-2024) semenjak mundurnya Soeharto dari kekuasaan, alih-alih melahirkan praktik sinergis antara perubahan struktur dan cita-cita reformasi yang dibawa para aktor dari parpol atau akademisi, yang terjadi power intends to corrupt (kekuasaan cenderung korup) masih terus berlangsung.
Distorsi terhadap cita-cita demokrasi menjadikan upaya reformasi yang diterapkan di Indonesia sulit berhasil.
Distorsi ini berlangsung di semua lini, dari struktur yang paling mendasar, seperti konflik antara legislatif dan eksekutif dengan kepentingan parpol sangat besar, proses amendemen konstitusi yang tak tuntas, dan konsisten dengan sistem kepemimpinan nasional.
Selain itu, pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang memperlihatkan penyimpangan agenda kesejahteraan rakyat menjadi agenda kesejahteraan elite lokal, penyimpangan/pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu, lolosnya partai-partai dalam pemilu yang ditengarai belum valid, dan revisi lima tahunan terhadap paket UU Politik yang tidak didasarkan atas pertimbangan jangka panjang untuk kepentingan nasional Indonesia.
Baca juga: Memperkuat Demokrasi Kita
Perbaikan ke depan
Distorsi-distorsi itu berlangsung dalam konteks intervensi pasar melalui masuknya liberalisasi ekonomi sejak 1998 yang menuntut agar negara mempunyai kelengkapan struktur institusi untuk memuluskan investasi, sementara di sisi lain penegakan demokrasi substansial masih lemah.
Dengan terpetakannya distorsi yang mengiringi pelaksanaan demokrasi dan keindonesiaan dalam konteks pemilu, ke depan diharapkan ada pembenahan/perbaikan yang serius mengenai paradigma demokrasi, keindonesiaan, dan pemilu.
Hal ini diperlukan untuk mencari format yang tepat mengenai demokrasi Indonesia yang mengedepankan aspek-aspek keindonesiaan dalam kaitannya dengan pemerintahan yang governability (yang benar- benar dapat menjalankan fungsi eksekusi yang dimilikinya) sebagai hasil pemilu.
Pemilu yang berkualitas akan menghasilkan pemerintahan yang berkualitas. Tata kelola pemerintahan yang baik tidak mungkin dihasilkan dari pemilu yang silang sengkarut, penuh pelanggaran, dan menghalalkan semua cara, pokoke menang. Tata kelola pemerintahan yang baik dan efektif bisa diwujudkan oleh pemimpin yang kredibel dan akuntabel, yaitu pemimpin yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Melalui pemilu bisa dikompetisikan calon pemimpin yang baik dengan cara langsung, umum, bebas, rahasia (luber), jujur dan adil (jurdil), sehingga menghasilkan pemimpin yang terbaik.
Dalam konteks Indonesia, diperlukan demokrasi ala Indonesia yang mengakomodasi keindonesiaan dan kemajemukan (archipelago) yang memiliki landasan kuat untuk mengimplementasikan semua sila dalam Pancasila.
Suatu demokrasi yang menjunjung tinggi nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Melalui pemilu bisa dikompetisikan calon pemimpin yang baik dengan cara langsung, umum, bebas, rahasia (luber), jujur dan adil (jurdil), sehingga menghasilkan pemimpin yang terbaik, yaitu pemimpin dengan ditopang tata kelola pemerintahan yang baik dan yang memihaki bangsa sendiri: yang bisa memberikan rasa aman, melindungi semua warga masyarakat dan partisipasinya tanpa diskriminasi, mampu menegakkan hukum dan menyejahterakan rakyat.
R Siti Zuhro, Peneliti Utama BRIN