Ketimbang ”penjalin”, kata ”rotan” lebih kuat dalam bahasa keseharian dan kelekatan pada aspek ruang.
Oleh
HERI PRIYATMOKO
·2 menit baca
Urusan nama acap bikin bimbang serta berujung pada perdebatan. Kendati demikian, dengan adanya dialektika perkara nama itu yang didasari pada argumen logis, berbasis data yang kuat, dan dilambari kelapangan hati, justru akan tersibak sisi terang mengenainya, juga melahirkan kesepakatan bersama.
Ambillah contoh soal terminologi rotan atau penjalin. Hasil industri kerajinan tradisional itu bermarkas di Desa Trangsan, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Hampir semua penghuni kampung menekuni bisnis tersebut yang sudah terwariskan tiga generasi lebih, dan jangkauan pemasarannya sampai ke luar negeri.
Mencuat kasak-kusuk terkait pilihan nama mengingat di kampung ini ajek digelar kirab budaya bernama Grebeg Penjalin, bukan Grebeg Rotan, yang lebih melekat pada kawasan ini sedari lama. Selain itu, dari catatan sezaman, jurnalis Belanda pada tahun 1937 menulis berita berkepala ”Het Rotanwerk Als Huisvlijt” yang mengabarkan tentang kerajinan rumah rotan Trangsan.
Ia tak memakai terminologi penjalin sebagaimana dicomot untuk identitas kirab. Juru warta asing ini mengatakan bahwa industri rotan justru lahir saat krisis ekonomi dunia bergejolak. Lidah wong Jawa menyebut ”krisis mleset”, dengan kondisi perekonomian remuk serta industri perkebunan dan perusahaan Eropa gulung tikar. Tak pelak, terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran dan kemiskinan mendera.
Terminologi rotan Trangsan tidak berkisah soal tumpuan hidup semata, tetapi juga manifestasi kemampuan manusia Jawa perdesaan berdikari selama hampir seabad. Jauh sebelum penjalin didekap dalam kehidupan sehari-hari oleh penduduk setempat dekade ketiga awal abad XX, Gericke en Roorda dalam kamus klasik Javaansch-Nederduitsch Woordenboek (1847) sudah memprasastikan terminologi panjalin (penjalin) yang mengandung arti ’panjatos, rottan, rotting’.
Pekamus Eropa tersebut tidak sembarangan memahat terminologi panjalin tanpa menimbang realitas sosial. Selain menyediakan petunjuk spasial dan temporal, indolog ini meyakinkan sederet pembaca kala itu untuk mereken produk lokal yang hadir di telatah Hindia Belanda. Ingat, periode sebelum abad XIX di sekujur Vorstenlanden tumbuh semerbak industri kerajinan masyarakat berbahan bambu, kayu, tanah, batu, tembaga, kuningan, dan kain, selain rotan.
Petunjuk lain datang dari Poerwadarminta. Lewat kamus Bausastra Jawa (1939), dia menyebutkan panjalin adalah panjatos, tetuwuhan wite digawe dandanan warna-warna. Istilah penjalin dibabar, yakni tetuwuhan rambat wite digawe dandanan. Dari penjelasan ringkas ini, kini benderang bahwa panjalin merupakan sinonim dari rotan, bukan varietas lain tanaman rotan. Panjalin ialah tumbuhan merambat dari pohon yang dijadikan bahan membuat barang dengan aneka kreasi.
Diusut lebih jauh, muasal terminologi panjalin dari kata jalin. Tafsir ini selaras dengan uraian Poerwadarminta (1939), yakni berjalin-jalin: gegubedan, ubed-ubedan; dijalin: disunduki lan direntengi (gawe lampit, welit). Pada praktiknya, rotan memang dianyam, dijalin, disunduki, direntengi, diubed untuk menjadi barang yang siap pakai. Maklum jika muncul sebutan ”kursi penjalin”, yang terbuat dari anyaman rotan, dijalin rapi, hingga dibalut berkali ulang. Kata penjalin di sini juga bisa merujuk pada aktivitas yang lumrah dikerjakan warga.
Dari uraian di atas jelas bahwa nama penjalin memang lebih terkesan lawas dan berakar pada bahasa lokal. Hanya saja, mengacu dalam bahasa keseharian dan kelekatan pada aspek ruang, nama rotan lebih kuat.
Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta