Indonesia Emas dari Arsitektur
Arsitektur kota hendaknya membuat wajah kota manusiawi, menjunjung pembangunan berkelanjutan untuk keemasan Indonesia.
Mohammed Ali Berawi menulis IKN Nusantara dan Indonesia Emas 2045 (Kompas.id, 6/3/2024). IKN Nusantara dirancang sebagai kota global yang layak huni dan dicintai, IKN Nusantara dibangun dengan visi menjadi kota modern masa depan yang hijau, berketahanan, berkelanjutan, cerdas, dan inklusif sebagai simbol transformasi dan kemajuan peradaban Indonesia.
Penjabaran tersebut menarik sebab disinyalir sebagai peradaban berkarakter, sebagai identitas kebangsaan melalui produk (space) arsitektur. Pembacaan (semiotika) arsitektur dalam simbol identitas serta persilangannya dengan produk (space) arsitektur dan (history) waktu, aspek sosial-politik-budaya dalam formasi arsitektur secara sinkronik-diakronik.
Indonesia dari sejarah kepemimpinan tiga presiden (Soekarno, Soeharto, dan Joko Widodo) telah menempatkan produk arsitektur menjadi media komunikasi terhadap kebijakan politik identitasnya. Kendati pendekatan arsitektur dari ketiga presiden tersebut memiliki perbedaan mendasar dalam pengejawantahannya, arsitektur sangat berkaitan dengan kebijakan politik pemimpinnya pada waktu berkuasa.
Baca juga: Bung Karno, Istana, dan Simbol Padma
Soekarno menggunakan pendekatan arsitektur modern sebagai sarana pemersatu keragaman, eksistensi jati diri, dan mengangkat martabat bangsa yang hancur di era kolonialisme. Soeharto lebih menggunakan keberagaman arsitektur sebagai identitas arsitektur (regionalism) dengan pendekatan politiknya yang sentralistik dan otoriter. Sementara Joko Widodo menggunakan keragaman arsitektur (Nusantara) yang kekinian menuju keemasan Indonesia.
Kota (urban) adalah arena pergaulan antarberbagai kepentingan, konflik, dan ketidakpastian akan timbul tanpa dapat dihindari. Misalnya, konflik antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan, pembangunan fisik dengan pelestarian lingkungan, sektor formal dan informal, kebijakan dan harapan serta kepentingan warga.
Tanpa menegasikan hal-hal tersebut, persoalan yang cukup akut akan ”identitas diri” perlahan menguap lenyap tanpa disadari. Identitas itu sebuah proses budaya yang tiada pernah berhenti dan berkaitan dengan keadaan serta dinamika aspek sosial-politik-budaya. Pembacaan ini bermakna sebagai pencarian identitas diri (arsitektur Indonesia) yang terkadang membelenggu, menjauhkan dari realitas (akar) permasalahan yang melingkupi.
Indonesia dari sejarah kepemimpinan tiga presiden (Soekarno, Soeharto, dan Joko Widodo) telah menempatkan produk arsitektur menjadi media komunikasi terhadap kebijakan politik identitasnya.
Akan halnya, ”wajah kota” dan anggapan bahwa desainlah yang dipertaruhkan, ini sekadar mempersoalkan satu atau dua aspek dari struktur dan bentuk yang dihasilkan sebagai proses transformasi budaya. Misalnya, sebagaimana umumnya aktivitas masyarakat urban, wajah kota modern memang harus manusiawi, selain menjunjung tinggi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable) dengan berwawasan lingkungan. Di sini, mereka mempersoalkan desain dengan menghasut bentuk-bentuk dalam skala besar.
Rancangan memproduksi identitas kolektif melalui produk arsitektur (urban design) seperti Soekarno juga terjadi di beberapa negara, salah satunya Mesir (era Anwar Sadat). Ia ingin menampilkan ”identitas Kairo baru” ke hadapan dunia.
Di Indonesia, transformasi budaya sebagian besar kota-kotanya terlihat bahwa wajah kota hanya menjadi media komunikasi menyampaikan pemikiran dan perasaan, belum membentuk pemikiran sebagai ”world view”.
Masih tertinggal
Mengapa lompatan kita masih tertinggal?
Tampaknya memang ada yang problematik dalam cara kita memandang kota. Di pihak lain, ada semacam kecurigaan bahwa wajah kota jangan-jangan merupakan konstanta di jagat perencana dan perancang kota dari masa ke masa.
Pernyataan ini bisa dibantah oleh mahakarya yang cukup besar di masa silam, seperti terungkap di kajiannya JJ Rizal, kolumnis masalah sejarah Batavia tempo doeloe di Moesson Het Indisch Maanblad, dan karya di wilayah-wilayah lain (Nusantara) yang ternyata tidak cuma menunjukkan dominasinya pemikiran indrawi.
Terdapat struktur canggih dan rumit pada bangunan percandian, keraton di Nusantara, ada kesederhanaan yang agung, bersahaja (dalam tatanan Kampung Tua) di perkampungan tradisional Nias, Badui, dan lain-lain.
Menjadi permasalahan kini adalah kenapa tradisi pemikiran yang telah menghasilkan struktur yang canggih dan rumit ini terpotong dan gayut menjadi identitas diri dasar penciptaan?
Lihat Galeri Foto: Arsitektur dari Budaya, Lokalitas, dan Tren
Barangkali penyebabnya ada di politik perkotaan yang ambigu antara keinginan ”setengah hati” menonjolkan spirit nasionalisme dan ketakberdayaan atas gempuran urban desain dengan cirinya yang efisien dan cenderung praktis-pragmatis yang diusung kapitalisme global.
Akibat buruknya, tanpa disadari adalah bahwa (tradisi) kita kemudian terpotong dari masa silam kita sendiri, desain dengan spirit lokal mungkin tak lagi ”menggairahkan” di implementasikan dalam sebuah bangsa yang secara sangat nasionalistis mempromosikan hanya satu wajah.
Terputusnya tradisi juga telah mengakibatkan khazanah lokal yang sebetulnya sangat kaya itu tidak lagi menjadi dasar penciptaan. Karena kita tidak memiliki dasar tradisi untuk penciptaan wajah kota kini, di sisi lain kita masih gayut untuk berdialog dengan karya-karya di luar sana. Kendati beberapa arsitek Indonesia, dengan karyanya merambah lingkup Internasional bahkan ada yang memenangi penghargaan internasional.
Realitasnya, mutu karya wajah kota kita memang belum menunjukkan identitas yang signifikan, berbanding dengan karya di luar sana, apalagi dengan tradisi yang terjadi di masa silam. Upaya mengarahkan sumber daya, tenaga, ke arah awal pencarian (simbol) ”identitas diri”.
Identitas diri itu cara merawat ”karakter” dan ”sifat beda” kita yang umumnya jadi referensi penting sebagai eksistensi identitasnya. Memahaminya perlu cermin pembanding, kehadiran ”mereka” sebagai pembanding berbeda menjadi penting memahami siapakah adanya ”kita”. Pembacaan lapisan karakter identitas yang hadir haruslah dibaca sebagai keanekaragaman guna memperkaya budaya, memperunik gugusan arsitektur di Indonesia.
Kemudian, dalam upaya pengembangan identitas budaya dengan bertolak dari khazanah tradisi dapat dimulai dengan menyosialisasikan gagasannya dengan melibatkan, seperti pemerintah daerah, provinsi, lembaga pendidikan arsitektur dengan lintas-sektoral yang programnya lebih menekankan arti pentingnya politik kebudayaan dari citra nasional ketimbang ekonomi turisme.
Dengan menempa sebentuk regionalism, tradisi harus atau setidaknya bersandar pada argumen pascamodernisme. Tentu dengan menelaah ”zeitgeist” dalam modernisme yang dianggap telah membuat arsitektur dan kota mengabaikan genius loci yang esensial bagi perasaan betah kita.
Sebab, ”suara yang lain” memang telah dianggap menyatakan semangat zaman (zeitgeist) yang begitu menekankan keragaman subyektivitas yang kreatif. Namun, sekarang kita perlu bertanya apakah genius loci dalam berbagai bentuk mutakhir tidak malah menjemukan karena telah menjadi ortodoksi irasional dan menyebabkan kemiskinan dalam menanggapi tantangannya zaman?
Pembacaan lapisan karakter identitas yang hadir haruslah dibaca sebagai keanekaragaman guna memperkaya budaya, memperunik gugusan arsitektur di Indonesia.
Kini banyak ”karya arsitektur” menjadi prestasi sejarah sebab hanya mampu menjawab permasalahan waktu sebagai tantangan bentuk, sedangkan permasalahan ”place” merupakan tantangan programatik. Arsitektur yang demikian menciptakan, bukan mengikuti tempat.
Arsitektur yang terbukti oleh sejarah baik dan menjadi milik tempat tertentu pastilah arsitektur yang ”kontemporer” ketika diciptakan. Beberapa karya arsitektur bahkan ada yang terasa lebih ”mengkini” justru setelah lebih dari setengah abad berdiri pada saat diciptakan mengesankan futuristik(candi Borobudur, Prambanan).
Kekinian memang memilik kekuatan mengakomodasi masa depan yang lebih panjang. Sementara subyek, dengan tingkat kemampuan yang berbeda-beda, dapat melihat kondisi tertentu dari kekinian sebagai bagian tidak terhindarkan dari masa depan.
Polemik demikian, dibutuhkan sebagai resep bagi para pengembang ”buta” yang menyokong penguasa yang hanya menangguk keuntungan sendiri bersama golongannya. Selain itu, dibutuhkan respons permasalahan ketimpangan sosial-ekonomi, dan ancaman krisis lingkungan guna menghasilkan kreativitas peradaban keadilan, kesetaraan, berdaya saing global untuk keemasan Indonesia.
Noval Hanan Irianto, Arsitek dan Penulis