Politisi harus mampu mengkreasi ide yang memungkinkan lahirnya ekonomi baru dengan pertumbuhan eksponensial.
Oleh
REDAKSI
·1 menit baca
Beberapa tahun lalu, kita kerap membahas generasi milenial. Kini, sepertinya kita perlu berfokus pada generasi Z. Kita perlu memahami mereka.
Fenomena generasi baru bisa dilihat di berbagai negara. Di India, para pemilih muda dalam pemilihan umum India tahun ini didominasi lulusan perguruan tinggi yang sulit mendapat pekerjaan layak. Mereka berpendidikan tinggi, frustrasi, dan marah. Menjelang pemungutan suara yang dimulai pada 19 April 2024, kenyataan pahit itu menjadi pekerjaan rumah bagi para politisi India. Bertambahnya pekerjaan tak secepat pertumbuhan angkatan kerja yang berkembang secara demografis. Lapangan kerja baru yang saat ini banyak tersedia adalah di sektor pertanian. Namun, sektor ini kurang diminati generasi muda India, sementara lowongan kerja di pemerintahan yang sangat sedikit menjadi rebutan (Kompas.id, 12/4/2024).
Keputusan politik generasi Z menjadi pertimbangan penting para kontestan di beberapa negara saat pemilihan umum, seperti di Filipina, Korea Selatan, dan Indonesia. Mereka yang dapat memahami suara dan masalah generasi ini umumnya bisa menangguk suara. Mereka adalah generasi baru yang dalam hidupnya ditimpa berbagai perubahan, mulai dari disrupsi karena teknologi digital, perubahan iklim, pandemi Covid-19, dan krisis ekonomi. Titik pandang ini perlu dipakai dalam memahami mereka.
Belum lagi, kenyataan bahwa impitan hidup mereka semakin berat ketika pendapatan yang diperoleh ternyata tak mampu untuk membeli properti, tidak bisa digunakan untuk sekolah lanjutan karena makin mahal, dan tak bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan mereka. Keputusan mereka untuk tidak menikah salah satunya juga karena disebabkan kecemasan mereka akibat tidak mampu untuk membiayai berumah tangga.
Fenomena di India terjadi juga di negara lain. Aktivitas ekonomi belum mampu memberi kesejahteraan generasi baru secara memadai. Bahkan, sekadar menampung mereka ke dalam lapangan pekerjaan tradisional juga tak bisa. Masalah makin bertambah karena sektor pertanian mulai ditinggalkan meski memberi lowongan pekerjaan.
Oleh karena itu, di tengah pemilihan umum yang marak di berbagai negara, janji-janji manis mudah sekali memukau generasi Z. Dengan berbagai masalah yang dihadapi, kalimat-kalimat yang mudah dipahami akan langsung diterima mereka. Politisi yang memahami masalah generasi Z dan pintar berkomunikasi dengan mereka tentu akan mendapat suara lebih.
Meski demikian, komunikasi artifisial seperti itu tidak akan memberi dampak jangka panjang. Janji-janji manis tidak akan menyelesaikan masalah yang menimpa mereka. Politisi harus mampu mengkreasi ide yang memungkinkan lahirnya ekonomi baru dengan pertumbuhan eksponensial kemudian mengomunikasikannya dengan baik. Hanya dengan langkah seperti ini masalah generasi Z bisa ditangani.