Kelelahan mental dan stres tak semata karena beban yang berlebih, tetapi dapat pula diakibatkan oleh lingkungan kerja.
Oleh
BUDI W SOETJIPTO
·5 menit baca
Baru-baru ini kita dikejutkan oleh berita tertidurnya pilot dan kopilot salah satu maskapai penerbangan swasta nasional saat menerbangkan pesawatnya dari Kendari ke Jakarta. Mereka tertidur ”hanya” 28 menit, tetapi akibatnya, jalur penerbangannya (jauh) melenceng dari yang seharusnya. Kita yang terbiasa terbang ke sana kemari pasti terkejut bahwa saat kita berada di ketinggian sekian ribu kaki di atas permukaan laut, ternyata pesawat yang kita tumpangi dikendalikan secara otomatis, entah menuju ke mana, sedangkan pilot dan atau kopilotnya tertidur.
Sudah diduga bahwa faktor penyebab utama tertidurnya mereka adalah kelelahan. Penerbangan dilakukan dini hari. Ini waktu normal kita beristirahat. Menurut informasi di berbagai media, alasan kopilot tertidur karena istrinya baru melahirkan bayi kembar sehingga kurang tidur akibat bergantian mengurus bayi. Kita yang pernah punya bayi pasti paham situasinya. Namun, persoalannya bukan alasannya, tetapi akibat tertidurnya seseorang di tempat kerja yang bisa berdampak fatal. Oleh karena penyebabnya adalah kelelahan, mari kita bahas sejenak masalah kelelahan ini.
Aaronson dan kawan-kawan (1999) mendefinisikan kelelahan fisik sebagai kegagalan fungsional organ-organ tubuh kita sebagai akibat penggunaan energi yang berlebihan. Kelelahan ini dapat diakibatkan oleh demam, infeksi, gangguan tidur atau kehamilan. Namun, kelelahan fisik yang kronis merupakan sesuatu yang tidak normal dan tidak biasa yang akan mengganggu kualitas hidup individu. Sementara Grandjean (1979) mengatakan bahwa kelelahan fisik membuat kita seolah tak mampu melakukan aktivitas apa pun; badan kita seakan terasa berat dan mata kita seolah tak mampu kita buka alias mengantuk yang amat sangat.
Van Dijk and Swaen (2003) menemukan bahwa ternyata 20 persen pekerja mengalami kelelahan fisik. Dua peneliti negeri kincir angin itu menyoroti konsekuensi dari kelelahan tersebut, yaitu pekerja menjadi tidak kompeten dalam bekerja yang bisa mengakibatkan kecelakaan kerja dengan korban dirinya sendiri dan atau orang lain. Mereka juga mengatakan bahwa kelelahan fisik dapat mengganggu kehidupan sosial pekerja di luar tempat kerja.
Dalam sebuah penelitian yang lebih terkini, Caldwell dan kawan-kawan (2019) membahas kekurangan tidur sebagai penyebab kelelahan fisik. Mereka menyebutkan, tidur sebagai kebutuhan biologis manusia seperti halnya makan, minum, dan oksigen. Hanya saja, tidur seharusnya merupakan pilihan individu, tetapi faktanya banyak faktor sekeliling kita yang memengaruhi pilihan tersebut, seperti kondisi tempat tinggal dan lingkungan sekelilingnya, serta beban dan jadwal kerja.
Dalam kasus pilot dan kopilot di atas, jelas bahwa kondisi tempat tinggal (baru punya bayi kembar) dan jadwal kerja yang membuat mereka tak bisa memilih tidur karena pada jam yang seharusnya beristirahat, mereka harus bekerja. Menurut Hirshkowitz dan kawan-kawan (2015), manusia perlu tidur antara 7 dan 9 jam per hari, tetapi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat menemukan 36,7 persen pekerja tidur kurang dari 7 jam selama tahun 2013-2014. Temuan ini tampak lebih buruk dari temuan Van Dijk dan Swaen di atas. Caldwell dan kawan-kawan menyatakan bahwa kekurangan tidur membuat seseorang tertidur di tempat kerja serta berpengaruh pada mood, kinerja, dan kesehatan individu.
Apa, sih, yang membuat seorang pekerja tak memiliki waktu tidur yang cukup? Menurut Caldwell dan kawan-kawan, salah satu penyebabnya adalah kerja berdasarkan pembagian waktu kerja (shift). Biasanya sehari ada 3-4 shift, dan setiap pekerja mendapat giliran di setiap shift. Artinya, waktu tidur para pekerja berubah-ubah sehingga mereka acapkali kesulitan menyesuaikan waktu tidur mereka. Pilot dan kopilot adalah contoh nyata individu yang bekerja berdasarkan shift.
Menurut Drake dan Wright (2011), sebesar 18-26 persen orang di Amerika Serikat bekerja berdasarkan shift, suatu jumlah yang cukup signifikan. Di Indonesia, pekerja shift masih belum mendapat perhatian karena fokusnya pada perolehan pekerjaan untuk menekan angka pengangguran. Yang penting dapat kerja dulu. Namun, ada juga individu yang tak punya waktu tidur cukup karena apa yang disebut sleep apnea atau insomnia, yaitu kesulitan untuk tidur meski badan sudah amat lelah. Berdasarkan penelitian Peppard dan kawan-kawan (2013), jumlahnya mencapai 6-13 persen populasi di Amerika Serikat.
Dikutip dari sebuah warta daring, individu di Indonesia yang mengalami gangguan tidur mencapai 10 persen dari jumlah populasi. Dengan demikian, baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, individu yang kurang tidur jumlahnya bisa mencapai puluhan juta orang yang tersebar di berbagai bidang pekerjaan. Mereka yang kurang tidur ini bak ancaman terselubung terhadap keselamatan dan kualitas kerja. Jadi, kasus tertidur pilot dan kopilot sesungguhnya hanyalah puncak gunung yang terlihat oleh kita, sedangkan bukit-bukit di bawahnya bagaikan api dalam sekam yang siap mengancam.
Ada lagi yang membuat seorang pekerja mengalami gangguan tidur, yaitu apa yang disebut sebagai burnout. Ekstedt dan kawan-kawan (2006), dalam penelitian mereka menemukan bahwa awal tidur kita yang terganggu merupakan indikasi dini burnout. Apa, sih, burnout itu? Banyak orang yang mengartikannya sebagai kelelahan walaupun kelelahannya lebih dari sekadar fisik, tetapi sudah merambah ke mental dan dikaitkan dengan stres.
Kelelahan mental dan stres tak semata-mata karena beban kerja yang berlebih, tetapi dapat pula diakibatkan oleh lingkungan kerja, termasuk perilaku dan perlakuan atasan dan rekan kerja, suasana kerja di kantor, serta kemacetan lalu lintas dari dan ke tempat kerja. Memang waktu kerja resmi hanya 8 jam sehari, tetapi ditambah waktu perjalanan, bisa mencapai 12 jam per hari. Belum lagi bila suasana di kantor kurang mendukung, kita akan semakin stres dan mengalami kelelahan secara mental.
Tak jarang kelelahan dan stres ini terbawa ke kamar tidur sehingga kita jadi sulit beristirahat secara maksimal. Davis (2023) menyebutkan bahwa burnout tak hanya meliputi kelelahan dan sinisme kronis yang individu alami di kantor, tetapi juga ketakmampuan individu tersebut untuk memperoleh dan mendayagunakan sumber daya yang dibutuhkan (job resources) guna menyelesaikan pekerjaannya.
Demerouti dan kawan-kawan (2001) kemudian menambahkan satu faktor lain, yaitu tuntutan pekerjaan (job demand) sebagai pemicu burnout. Burnout akan makin parah ketika sumber daya pekerjaan tak sebanding dengan tuntutan pekerjaan. Kita dituntut menyelesaikan suatu pekerjaan, tetapi sumber daya yang dibutuhkan tak disediakan atau tersedianya minimal.
Singkat kata, ada banyak faktor yang menyebabkan tertidurnya seseorang di tempat kerja. Kita tak bisa serta-merta menyalahkan yang bersangkutan. Organisasi tempatnya bekerja pertama-tama harus mengintrospeksi diri dulu suasana dan lingkungan kerjanya. Berapa pertanyaan perlu dijawab, misalnya adalah: (1) apakah organisasi telah menyediakan sumber daya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan?, (2) apakah tuntutan pekerjaan yang dibebankan kepada pekerja telah sesuai dengan kemampuannya?, (3) apakah atasan dan rekan-rekan kerjanya telah memberikan dukungan yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan?, (4) apakah shift telah diatur sedemikian rupa agar pekerja memiliki waktu yang cukup untuk menyesuaikan waktu tidurnya sehingga ia memiliki waktu tidur yang cukup?
Secara paralel, organisasi perlu pula mengecek profil kesehatan dan lingkungan tempat tinggal pekerja yang, antara lain, meliputi apakah ia menderita gangguan tidur, waktu tempuh yang lama dari dan ke kantor, serta kenyamanan suasana rumah untuk beristirahat. Tentu masalah-masalah pribadi pekerja tak sepenuhnya menjadi tanggung jawab organisasi tempat kerjanya, tetapi setidaknya organisasi perlu membantu memberikan jalan keluar apabila memang organisasi masih ingin pekerjanya berkinerja maksimal dan dalam bekerja tak membahayakan diri sendiri dan orang-orang sekitarnya.
Budi W Soetjipto adalah dosen FEB Universitas Indonesia dan Dewan Pembina ISMS.