Negara-negara di kawasan, khususnya ASEAN dan Indonesia, perlu mengelola rivalitas kekuatan adi daya dengan bijaksana.
Oleh
REDAKSI
·1 menit baca
Bagaikan menyusun puzzle, gambar besar kebijakan keamanan kawasan Australia kini tampak jelas. Fokus baru dari strategi keamanan Canberra adalah China.
Secara fisik, dalam beberapa tahun terakhir, Australia mengembangkan postur militernya hingga mampu melakukan serangan jarak jauh. Langkah itu ditandai dengan pembelian 220 unit rudal jelajah Tomahawk yang mengiringi kesepakatan trilateral Australia, Inggris, dan Amerika Serikat (AUKUS). Hasil kesepatakan itu adalah penyediaan kapal selam bertenaga nuklir untuk Australia, platform yang mampu menembakkan Tomahawk.
Selain kapal selam, Australia juga mengembangkan perusak kelas Hobart dan fregat masa depan kelas Hunter. Didukung sistem pertahanan udara Aegis, kapal-kapal kombatan multifungsi itu, secara mandiri, mampu mengeliminasi beragam jenis serangan udara. Pada matra udara, Australia diperkuat lusinan siluman F-35 yang nantinya akan berdampingan dengan MQ.28 Ghost Bat, drone besutan Boeing.
Dalam Strategi Pertahanan Nasional terbaru, Australia menilai bahwa asumsi optimistis tentang situasi kawasan tidak lagi dapat dipertahankan. Postur China yang kian besar, koersif dan asertif membuat Canberra tidak lagi dapat berpangku tangan dan hanya bersikap defensif.
Fokus utama Strategi Pertahanan Nasional Australia pun kini memproyeksikan kekuatan militer mereka lebih jauh ke Asia Pasifik. Dengan anggaran pertahanan hingga 2,4 persen dari produk domestik bruto dalam 10 tahun ke depan, Australia akan membangun kekuatan penggentar untuk melindungi kepentingan Australia, tidak sebatas wilayah teritorialnya semata (Kompas.id, Rabu 17 April 2024).
Selain dalam aspek militer, Australia kini kembali aktif hadir di Pasifik Selatan dan memperkuat relasi ekonomi, sosial dan budaya dengan ASEAN. Salah satu hasil Konferensi Tingkat Tinggi Khusus Australia-ASEAN Maret lalu di Melbourne, Canberra menginvestasikan ratusan miliar rupiah untuk peningkatan Kemitraan Maritim Asia Tenggara. Australia juga mengucurkan Rp 2,3 triliun untuk isu ketahanan di subkawasan Sungai Mekong. Deklarasi Melbourne juga mendukung penerapan Deklarasi Panduan Perilaku di Laut China Selatan.
Langkah Australia ini - meningkatkan kapasitas deterensi dan pengaruh - tentu dapat dipahami dalam konteks rivalitas AS-China di kawasan. Australia memang perlu mengimbangi kehadiran China. Meskipun demikian, negara-negara di kawasan, khususnya ASEAN dan Indonesia, perlu mengelola rivalitas itu dengan bijaksana. Beragam perangkat seperti perjanjian zona bebas nuklir dan prinsip inklusifitas Indo-Pasifik layak ditegaskan kepada semua pihak.
Sebagai negara yang memposisikan diri sebagai bridge builder, Indonesia perlu menegaskan pentingya menjaga kawasan tetap netral, aman, dan stabil. Mengapa demikian? Karena arena dimana pertarungan pengaruh dan kepentingan itu terjadi adalah ruang dimana bangsa Asia hidup bersama.
Editor:
ANDREAS MARYOTO, BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO