Migrasi Berantai Pasca-Lebaran
Migrasi berantai pasca-Lebaran menunjukkan sektor perdesaan makin tak kompetitif. Perlu gerakan pembangunan perdesaan.
Beberapa hari ketika perayaan Lebaran berlalu seperti saat ini, kembali mengingatkan penulis pada peristiwa sekitar 15 tahun lalu. Saat itu pembantu rumah tangga yang telah belasan tahun bekerja dan sudah kami anggap sebagai saudara mendadak meminta izin berhenti bekerja.
Meski sudah kami cegah dengan berbagai cara, tetap tak berhasil. Tekadnya merantau ke Jakarta sudah tak terbendung lagi. Kami pun melepas kepergiannya ke Jakarta meski dengan berat hati.
Namun, selang dua bulan kemudian ia datang lagi ke rumah kami meminta agar diterima kembali bekerja. Tanpa diminta ia bercerita betapa Jakarta tak seramah yang dibayangkan.
Baru beberapa minggu berada di Jakarta ia terjaring operasi yustisi kependudukan (OYK) yang digelar oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI. Karena tak memiliki surat izin tinggal dan Kartu Tanda Penduduk Jakarta, ia dipulangkan ke daerah asalnya.
Baca juga: Untung dan Buntung Urbanisasi Pasca-Lebaran
Itulah Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia. Selagi Jakarta dan kota-kota besar ini masih menjadi tempat beredarnya 90 persen uang di republik ini, selama itu pula Jakarta dan kota-kota besar lainnya, seperti Surabaya dan Bandung, akan tetap menjadi magnet yang sangat menarik bagi kaum urban. Semut-semut akan terus berjibaku menelusuri jalan berliku menuju arah di mana lumbung gula berada.
Lebih-lebih saat ini, saat arus informasi tentang Jakarta dan kota-kota besar lain begitu masif melalui media cetak, elektronik, serta media sosial. Suasana kehidupan Jakarta secara tidak sadar telah ditransformasikan ke seluruh pelosok negeri.
Gemerlap Jakarta hadir di rumah-rumah pemirsa televisi dan di layar sentuh HP android melalui berbagai platform media sosial. Tersebar di seluruh penjuru Tanah Air, mulai bangun tidur hari ini hingga bangun tidur hari berikutnya.
Gerontokrasi perdesaan dan pertanian
Efek pamer (demonstration effect) yang ditimbulkan sangat luar biasa. Daya tarik Jakarta dan kota-kota besar lain bagi orang-orang kampung begitu hebat, mulai dari mereka yang berbekal segepok sertifikat keahlian hingga mereka yang sekadar berbekal bondho nekat alias tak punya keahlian apa pun. Dapat menetap dan bertahan hidup (survive) di Jakarta menjadi impian dan barometer kesuksesan hidup semua orang, termasuk pembantu rumah tangga penulis.
Sangat masuk akal jika fenomena migrasi berantai (chain migration) selalu terjadi seusai perayaan Lebaran. Fenomena migrasi berantai merupakan migrasi yang mengandalkan hubungan pihak lain. Seusai merayakan Lebaran di kampung, kaum urban kembali ke Jakarta dengan mengajak saudara, tetangga, atau kerabatnya. Mereka yang telah berhasil melakukan migrasi lebih dulu akan menanggung sementara kehidupan pengikutnya.
Dari kacamata ilmu sosial, maraknya migrasi berantai ini menunjukkan sektor perdesaan yang semakin tidak kompetitif. Kenyataan ini sekaligus merupakan sinyal bahwa negara ini tidak mampu lagi mempertahankan konsistensinya sebagai negeri agraris.
Sektor pertanian dan sektor perdesaan identik dengan kemiskinan. Berdasarkan data Sensus Pertanian Tahun 2023, jumlah petani pengguna lahan pertanian di Indonesia saat ini sebanyak 27,8 juta petani. Dari jumlah tersebut, terdapat petani gurem (mengusahakan lahan kurang dari 0,5 hektar) sebanyak 17,25 juta petani.
Sangat masuk akal jika fenomena migrasi berantai ( chain migration) selalu terjadi seusai perayaan Lebaran.
Kurangnya insentif yang diberikan negara kepada petani, baik secara fiskal maupun nonfiskal, mengakibatkan terjadi alih fungsi lahan pertanian yang subur secara besar-besaran. Menurut data Kementerian Pertanian (Kementan), alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian mencapai 90.000 hingga 100.000 hektar setiap tahun.
Jika kita tengok ke belakang sejarah panjang negeri ini, kepala desa dan sekretaris desa merupakan tokoh yang sangat dihormati. Mereka mendapatkan tanah bengkok beberapa hektar sebagai imbalan pengabdian. Dari hasil usaha tani pada tanah bengkok cukup menjadikan mereka kaya dan terpandang di desa.
Namun, kondisi saat ini telah berubah, sektor pertanian tidak lagi menjanjikan sebagai gantungan hidup. Fenomena tuntutan ribuan sekretaris desa se Jawa-Madura yang minta diangkat menjadi pegawai negeri sipil beberapa tahun silam boleh jadi merujuk pada tesis ini.
Stigma seperti ini membuat kaum muda tak tertarik lagi tinggal di desa. Fenomena gerontokrasi di perdesaan tak terhindarkan.
Gerontokrasi perdesaan dan pertanian ditandai oleh dominasi kaum tua tidak produktif, anak-anak, serta kaum wanita lanjut usia, dalam struktur ketenagakerjaan sektor pertanian dan perdesaan. Data Sensus Pertanian Tahun 2023 menyebutkan, hanya sekitar 21,93 persen (sekitar 6,18 juta orang) petani kita yang berumur 19-39 tahun, sebagian besar sisanya adalah para petani tua.
Pendekatan aset produktif
Pertumbuhan pesat sektor informal di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya telah menjadi magnet bagi tenaga kerja produktif perdesaan untuk beramai-ramai menyerbu kota. Kota-kota besar kemudian menjadi imagined community yang dipenuhi dengan simbol-simbol maya.
Meminjam istilah involusi pertanian (agriculture involution) yang dipopulerkan Clifford Geertz, urbanisasi di negeri ini lebih mengarah kepada urban involution. Suatu kondisi yang menggambarkan perkembangan kota yang stagnan akibat sektor informal mengalami pertumbuhan lebih cepat dibanding sektor industri.
Tingginya tingkat urbanisasi merupakan tantangan berat bagi kota-kota besar. Angka kemiskinan, kriminalitas, dan pengangguran akan menjadi persoalan yang tiada berujung. Permasalahan sosial baru beranak pinak, misalnya munculnya daerah rural-urban dan kampung-kampung kumuh (slum).
Timpangnya pembangunan perkotaan dan perdesaan makin memperlebar jurang pemisah di antara keduanya. Langkah paling tepat untuk mengurangi urbanisasi ini adalah dengan membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya di daerah.
Baca juga: Urbanisasi dan Tantangan Pembangunan Perdesaan
Lipton and Vyas (1981) menyarankan agar negara lebih mengarahkan kegiatan investasi ke sumber daya utama, yaitu pertanian yang merupakan potensi terbesar negara ini. Sektor perdesaan dan pertanian merupakan pengguna investasi terbatas yang lebih responsif dibanding perkotaan.
Untuk membangun perdesaan yang memiliki daya ungkit lebih besar perlu dilakukan melalui pendekatan aset. Kurangnya aset produktif yang dimiliki warga miskin menjadi penyebab utama sulitnya keluar dari kemiskinan.
Pendekatan aset ini ditawarkan untuk menstimulasi secara maksimal warga miskin dari utilisasi aset produktif. Salah satu di antaranya melalui legalisasi tanah-tanah petani dalam bentuk sertifikat hak milik yang dapat digunakan sebagai agunan dalam akses kredit bank (Sherraden, 1991; de Soto, 2001).
Saatnya ”Gerakan Kembali ke Sawah” digemakan lagi secara serius dan berkelanjutan. Juga Gerakan ”Bali Ndesa Mbangun Desa” yang pernah menjadi visi pembangunan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah digelorakan kembali. Berbagai gerakan pembangunan itu jika dilaksanakan sesuai pakemnya akan memiliki daya ungkit (leverage) sangat besar bagi pembangunan perdesaan.
Toto Subandriyo, Pengamat Sosial Ekonomi Pertanian; Bergiat pada Forum Pengkajian Pangan Pertanian dan Lingkungan (FP3L)