Etika Publikasi Dosen dan Peneliti
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah artikel terbanyak yang terjebak dalam praktik ”predatory journals”.
Etika publikasi dosen dan peneliti di Indonesia menghadapi masalah serius.
Baru-baru ini, salah satu dekan perguruan tinggi swasta di Jakarta, sebagaimana dilansir dalam artikel di Retraction Watch, mengungkapkan adanya praktik culas yang mencatut sejumlah nama peneliti dari kampus di Malaysia. Tidak hanya itu, isu plagiarisme dan produksi artikel yang abnormal dengan jumlah 160 lebih dalam beberapa bulan saja menjadi kecurigaan sebagian besar masyarakat.
Praktik lain yang pernah menghebohkan dunia akademik adalah artikel yang diterbitkan di salah satu penerbit kenamaan berbasis di Swiss yang ditulis oleh 100 lebih peneliti lembaga riset Indonesia.
Meskipun sudah dijelaskan mengenai tanggung jawab atau tugas setiap peneliti dalam satu artikel tersebut, jumlah itu di luar kepatutan dari satu proyek penelitian pada umumnya.
Selain itu, sudah menjadi rahasia umum banyak peneliti dan dosen di Indonesia yang melakukan refabrikasi artikel, mengambil alih (take over) skripsi mahasiswa tanpa izin, melakukan praktik perjokian artikel jurnal, atau memakai dalih penelitian payung yang tentunya hanya menguntungkan peneliti atau dosen belaka. Bahkan, tak jarang praktik ini tersebar dan dipromosikan secara terbuka di media sosial, seperti Instagram dan Facebook.
Baca juga: ”Ghost Writer” Publikasi Ilmiah
Selain itu, fakta bahwa Indonesia negara dengan peningkatan signifikan jumlah publikasi internasional perlu ditanggapi dengan saksama. Euforia tentang peningkatan ini perlu ditelisik secara kritis, terutama dalam proses produksi ilmu pengetahuan berupa artikel ilmiah.
Dalam artikel ”Predatory publishing in Scopus: evidence on cross-country differences” yang terbit di jurnal Scientometrics tahun 2021 menyebutkan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah artikel terbanyak yang terjebak dalam praktik predatory journals.
Meskipun pada tahun yang sama pemimpin redaksi jurnal itu mencabut artikel tersebut, fakta ini menjadi alarm bagi seluruh peneliti dan dosen Indonesia untuk berhati-hati serta menjunjung tinggi integritas dan etika sebagai ilmuwan.
Kondisi ini tentu tidak mendukung iklim akademik yang konstruktif karena esensi pendidikan tinggi dan penelitian terlihat jauh dari tujuan awalnya. Hal itu bisa dibuktikan dari pengamatan penulis yang menemukan masih banyak artikel peneliti di Indonesia yang terbit pada basis data Scopus mengalami discontinued.
Hal ini karena terjadi malapraktik dari proses peer review atau kualitas dari naskah yang dianggap kurang. Praktik ini menjadi bukti degradasi etika yang dilakukan peneliti yang hanya bekerja secara pragmatis demi keuntungan pribadi atau institusi lembaga saja. Padahal, hakikat peneliti adalah memberikan informasi dan pengetahuan yang valid kepada masyarakat luas melalui produksi ilmu pengetahuan yang kredibel.
Tuntutan
Merebaknya praktik nonetis yang dilakukan oleh oknum peneliti atau dosen di Indonesia tidak muncul begitu saja. Ada banyak faktor yang kemudian mendorong praktik itu dilakukan meski dalam praktik ini penulis beranggapan itu tak boleh menjadi pembenaran.
Insentif publikasi, misalnya. Banyak peneliti di Indonesia yang melakukan publikasi ilmiah bukan semata-mata tanggung jawab dia sebagai ilmuwan, melainkan mengejar insentif publikasi yang nilai rupiahnya cukup fantastis di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Publikasi ilmiah juga menjadi syarat mutlak para peneliti dan dosen dalam meningkatkan karier akademiknya.
Publikasi ilmiah yang diproduksi oleh dosen atau peneliti juga dapat meningkatkan reputasi lembaga, baik nasional maupun internasional, sehingga tidak mengherankan banyak lembaga riset yang mendorong para peneliti atau dosen untuk melakukan publikasi ilmiah.
Tidak hanya itu, banyak mekanisme hibah riset yang mensyaratkan wajib publikasi ilmiah yang terbit pada Jurnal Internasional Bereputasi (JIB).
Tuntutan yang dibebankan pada dosen atau peneliti di Indonesia mestinya tidak menjadi beban tersendiri dan menjadi faktor utama praktik nonetis dunia akademik di Indonesia. Tuntutan itu semestinya menjadi motivasi bagi peneliti dan dosen untuk meningkatkan daya saing dan kompetensinya dalam kancah publikasi ilmiah, lebih-lebih pada level internasional.
Praktik ini menjadi bukti degradasi etika yang dilakukan peneliti yang hanya bekerja secara pragmatis demi keuntungan pribadi atau institusi lembaga saja.
Membudayakan kualitas
Berdasarkan data Scimago Journal & Country Rank, jumlah publikasi ilmiah asal Indonesia di jurnal terindeks Scopus sebanyak 58.224 pada 2023. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan 2022 yang 43.300 dokumen.
Jumlah ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-19 dari 234 negara yang terdaftar dalam basis data Scopus. Meski demikian, tak banyak peneliti dan dosen di Indonesia yang artikelnya terbit di JIB dari beberapa penerbit kenamaan, seperti Sciencedirect, Wiley, Emerald Insight, Springer Nature, dan Taylor and Francis.
Sebagian besar peneliti dan dosen Indonesia masih berpikir yang penting memiliki artikel di Scopus dalam jumlah banyak. Padahal, jika artikel itu berhasil terbit di JIB, apalagi di bawah publisher ternama, peluang di mana artikel itu memiliki dampak besar semakin terbuka.
Lagi-lagi praktik mengedepankan kuantitas masih menjadi hal utama, karena kebutuhan mengejar jumlah angka kredit KUM atau indikator kinerja, untuk kepentingan pribadi peneliti dan dosen. Tradisi menjaga kualitas artikel ilmiah perlu dilembagakan melalui kebijakan yang sistematis. Ini untuk menghindari kondisi di mana jumlah artikel kian banyak, tetapi konten yang tertuang layaknya ”sampah akademik”.
Ilustrasi
Menjunjung integritas
Sebagai salah satu pekerjaan yang menuntut untuk memproduksi ilmu pengetahuan di masyarakat, dosen dan peneliti harus mengedepankan aspek moral, etika, dan integritas yang tinggi. Produksi ilmu pengetahuan dalam konteks publikasi ilmiah tak boleh dilakukan sembarangan. Praktik yang culas dan nonetis akan mengaburkan tujuan awal penelitian atau pendidikan di masyarakat.
Publikasi ilmiah bertujuan untuk memberikan informasi yang valid dan komprehensif atas sesuatu yang diperoleh melalui kerangka kerja yang logis. Jika dalam prosesnya terjadi praktik culas, publikasi ilmiah itu tak mengandung nilai informasi dan dampak positif apa pun bagi masyarakat. Oleh karena itu, prinsip publikasi ilmiah yang baik, dengan cara dan proses yang baik dan diterbitkan di tempat yang baik tentu akan membawa hal kebaikan bagi masyarakat luas.
Ali Roziqin, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang