Ada baiknya memperhatikan catatan tiga hakim konstitusi dalam ”dissenting opinion” mereka.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Respons atas putusan sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024 memberikan optimisme terhadap demokrasi kita. Tugas berikutnya adalah menjaga optimisme itu.
Dalam putusannya, Senin (22/4/2024), Mahkamah Konstitusi menolak permohonan sengketa hasil pemilihan presiden (pilpres) yang diajukan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Namun, putusan ini tidak bulat karena tiga dari delapan hakim konstitusi, yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat, mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda).
Dalam persidangan ini, terdapat sejumlah terobosan. MK memanggil empat menteri untuk dimintai keterangan dan memberikan kesempatan kepada semua pihak terkait untuk menyampaikan kesimpulan. MK juga mempertimbangkan 14 amicus curiae yang diajukan sebelum 16 April 2024.
Setelah MK menyampaikan putusannya, suasana ternyata relatif adem. Pengunjuk rasa di sekitar Gedung MK membubarkan diri. Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud menyatakan menerima serta menghormati putusan MK tersebut sebagai keputusan yang final dan mengikat. Mereka juga mengucapkan selamat bekerja menunaikan harapan rakyat kepada Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Sejumlah partai pengusung kedua pasangan itu juga mengambil sikap yang hampir sama meski dengan sejumlah catatan.
Walau harus dipahami, selain kesadaran menjunjung tinggi hukum dan demokrasi, tak tertutup kemungkinan ada pertimbangan lain sehingga berbagai pihak menerima putusan MK tersebut.
Terlepas dari itu semua, konsentrasi sebagian besar elite politik kini akan segera beralih pada lobi-lobi terkait pembentukan koalisi, baik untuk pemerintahan mendatang maupun dalam Pilkada 2024. Lobi-lobi terkait dua hal itu bahkan sudah mulai terasa sejak beberapa waktu terakhir.
Namun, demi makin berkualitasnya demokrasi di Tanah Air, ada baiknya memperhatikan catatan tiga hakim konstitusi dalam dissenting opinion mereka.
Hakim Konstitusi Saldi Isra, misalnya, antara lain mengungkapkan pembagian bansos atau nama lain untuk kepentingan elektoral menjadi tak mungkin untuk dinafikan sama sekali, atau catatan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih tentang pelanggaran netralitas aparat negara dalam pemilu, hingga Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang menyoroti kegaduhan yang dipicu oleh ketidaknetralan presiden dan aparaturnya.
UU itu memuat rambu-rambu yang jelas bagi presiden dalam memisahkan antara kepentingan pribadi dan publik.
Terkait hal itu, penting, misalnya, memperhatikan usulan Arief Hidayat untuk membentuk undang-undang yang mengatur lembaga kepresidenan. Diharapkan, UU itu memuat rambu-rambu yang jelas bagi presiden dalam memisahkan antara kepentingan pribadi dan publik.
Dengan memperhatikan catatan-catatan itu, hendaknya kita dapat mengurangi potensi terulangnya masalah dan kegaduhan yang terjadi di pemilu ini dalam kontestasi politik berikutnya. Sebab, seperti kata pepatah, hanya keledai yang jatuh dua kali ke lubang yang sama.