Menggugat Pinjaman Pendidikan
Gagasan pinjaman pendidikan merupakan wacana kapitalis yang bertabrakan dengan semangat konstitusi.
Pada tahun-tahun terakhir, keluhan masyarakat terhadap mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) semakin nyaring terdengar. Biaya kuliah di PTN yang seharusnya terjangkau kini semakin mahal, bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan biaya kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS).
Namun, respons pemerintah cenderung datar, dukungan anggaran untuk PTN terus terbatas. Di sisi lain, biaya operasional PTN tidak henti meninggi. Ketika subsidi stagnan dan tidak mencukupi, kampus secara sederhana membebankan biaya operasional yang tidak tertutupi kepada peserta didik.
Maka, alih-alih berkurang, biaya kuliah yang dibebankan kepada peserta didik terus melambung. Hal ini diperburuk dengan mekanisme penetapan uang kuliah tunggal (UKT) bagi peserta didik yang jauh dari keadilan, di mana besaran UKT yang ditetapkan tidak sesuai dengan kemampuan bayar peserta didik. Banyak peserta didik dibebankan UKT yang jauh melebihi kemampuan finansialnya.
Baca juga: Uang Kuliah Tunggal: Sengkarut Pendanaan Pendidikan Tinggi
Semakin tingginya biaya kuliah yang dibebankan kepada peserta didik di PTN telah menimbulkan banyak kasus yang tidak diinginkan: mahasiswa yang menunggak dan tak mampu membayar UKT, bahkan putus kuliah. Namun, respons kampus untuk membantu peserta didik yang kesulitan membayar UKT amatlah menyedihkan: menjalin kerja sama dengan bank dan bahkan platform pinjaman daring (pinjol) untuk menyediakan pinjaman pendidikan (student loan) kepada mahasiswa.
Alih-alih membantu meringankan kesulitan peserta didik, kampus justru menjerumuskan mereka ke kubangan utang dengan bunga tinggi. Seiring semakin banyaknya kasus mahasiswa yang terjerat utang, pemerintah akhirnya turun tangan. Namun, solusi pemerintah tidak jauh berbeda: pemberian pinjaman pendidikan, dengan pemanis bunga yang lunak dan pembayaran cicilan yang tidak memberatkan.
Ilusi kesejahteraan
Konsep pinjaman pendidikan, sebagaimana diadopsi di negara-negara liberal, adalah pinjaman yang diberikan kepada mahasiswa untuk membiayai kuliah mereka, dengan pembayaran cicilan pinjaman dilakukan setelah mahasiswa lulus kuliah dan bekerja. Pinjaman pendidikan membuat kelas bawah dan menengah kini dapat mengakses pendidikan tinggi, tetapi dengan menggadaikan pendapatan di masa depan.
Ini adalah ilusi kesejahteraan, pendidikan tinggi tidak akan memberi kesejahteraan. Hasil akhirnya akan serupa dengan ketika akses masyarakat ke pendidikan tinggi adalah terbatas, yaitu terjalnya mobilitas sosial-ekonomi oleh si miskin.
Gagasan pinjaman pendidikan merupakan wacana kapitalis yang bertabrakan dengan semangat konstitusi. Konsep pinjaman pendidikan ini cacat konstitusi. Konstitusi sejak awal telah memberi amanat bahwa salah satu intervensi terpenting negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Implikasi tugas konstitusi ini adalah sangat jelas: negara harus menyelenggarakan layanan pendidikan yang berkualitas dan merata untuk semua anak bangsa. Semua anak bangsa harus memiliki peluang yang sama untuk mengakses pendidikan. Dengan mengadopsi konsep pinjaman pendidikan, negara telah lari dari tanggung jawabnya dalam memberi kesempatan berkuliah yang merata bagi semua anak bangsa.
Pinjaman pendidikan membuat kelas bawah dan menengah kini dapat mengakses pendidikan tinggi, tetapi dengan menggadaikan pendapatan di masa depan.
Di negara-negara liberal, pinjaman pendidikan diadopsi secara luas, dan banyak menyebabkan kasus kredit macet yang tinggi karena kegagalan mahasiswa mengembalikan utang, baik mengambil bentuk pinjaman dengan pembayaran tetap (student loan) maupun pinjaman dengan pembayaran sesuai pendapatan (income contingent loan).
Pinjaman pendidikan sering berakhir dengan utang yang tidak mampu dilunasi dan menyebabkan sebagian besar lulusan perguruan tinggi terjerat utang dalam waktu yang panjang sehingga membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar penting seperti rumah.
Alih-alih mengusung konsep pinjaman pendidikan, gagasan yang lebih progresif dan sesuai konstitusi adalah kuliah murah, bahkan kuliah gratis. Kuliah murah bahkan gratis secara jelas adalah lebih mahal dan membutuhkan dukungan anggaran yang masif.
Namun, manfaat dari pendidikan tinggi bagi perekonomian jauh lebih besar daripada biaya yang ditanggung pemerintah dan masyarakat. Akses tanpa batas ke pendidikan tinggi menjanjikan manfaat sosial-ekonomi yang lebih besar ke masyarakat secara keseluruhan.
Kebijakan sekolah gratis telah dirintis sejak 2005 untuk tingkat SD hingga SMA melalui dana BOS (bantuan operasional sekolah). BOS diperkenalkan untuk membebaskan peserta didik dari pungutan biaya operasional sekolah. Sejak 2019, BOS berkembang menjadi tiga jenis, yaitu BOS Reguler, BOS Afirmasi, dan BOS Kinerja.
Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, pembebasan peserta didik dari pungutan biaya operasional sekolah telah meningkatkan angka partisipasi sekolah, terutama siswa dari keluarga miskin. Meski sekolah belum sepenuhnya gratis, BOS secara signifikan telah menurunkan hambatan kelas miskin ke pendidikan.
Kewajiban konstitusi bahwa anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD sejatinya adalah jendela kesempatan yang besar untuk mendorong tingkat partisipasi pendidikan tinggi, terutama mahasiswa dari kelas bawah.
Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, pembebasan peserta didik dari pungutan biaya operasional sekolah telah meningkatkan angka partisipasi sekolah, terutama siswa dari keluarga miskin.
Sejak 2011, pemerintah membentuk dana yang bersifat abadi untuk menjamin pendidikan bagi generasi berikut yang tidak dapat digunakan untuk belanja, yaitu dana abadi pendidikan, yang dikelola oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), sebuah badan layanan umum (BLU) di bawah Kementerian Keuangan. Alokasi dana abadi pendidikan untuk menjamin biaya pendidikan yang terjangkau bagi mahasiswa kelas bawah dan menengah adalah sangat memungkinkan.
Prioritas lain adalah memperluas jangkauan program Bidikmisi (Bantuan Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi) yang diluncurkan sejak 2010. Program ini didesain bukan untuk beasiswa penghargaan atas prestasi akademik, melainkan bantuan biaya pendidikan agar anak keluarga miskin dapat mengakses pendidikan tinggi.
Penerima Bidikmisi seharusnya tidak hanya mahasiswa dari keluarga kelas bawah saja, tetapi juga mahasiswa dari keluarga kelas menengah. Namun, sejak 2020, program Bidikmisi berganti menjadi Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, dengan implikasi pendaftar KIP Kuliah harus merupakan penerima KIP saat SMA atau penerima Program Keluarga Harapan (PKH). Alih-alih memperluas program Bidikmisi, KIP Kuliah justru semakin menyempit penerimanya.
Dengan hanya menyasar kelompok miskin, maka kelompok penduduk yang banyak berada di kategori ”rentan miskin” dan ”hampir miskin” yang akses ke pendidikan tinggi juga terbatas, tidak tercakup dalam program sehingga exclusion error diduga kuat adalah tinggi.
Baca juga: KUR Khusus, Alternatif Sumber Pembiayaan Kuliah Mahasiswa
Ketika targeting program sulit dan banyak salah sasaran, baik inclusion error maupun terlebih exclusion error, maka memberikan subsidi secara langsung kepada fasilitas yang diakses rakyat miskin adalah lebih berkeadilan. Membuka akses masyarakat seluas mungkin ke PTN yang sebagian besar adalah kampus-kampus terbaik di negeri ini menjadi pilihan terbaik.
Maka, gagasan progresif di sini adalah kuliah gratis di semua PTN. Membuka akses masyarakat seluas mungkin ke PTN akan memberi dampak besar dalam menanggulangi kemiskinan dan pemerataan ekonomi.
Biaya kuliah gratis merupakan kebijakan terbaik untuk mendorong partisipasi mahasiswa dan talenta terbaik bangsa untuk menempuh pendidikan tinggi, yang akan membekali mereka dengan keahlian yang relevan dan dibutuhkan oleh bangsa dan perekonomian, baik kapasitas kepemimpinan nasional, kapasitas manajerial dan profesional, maupun kapasitas riset untuk inovasi.
Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS (Institute for Demographic and Poverty Studies)
Instagram: yusufwibisono.ideas