Menimbang Komitmen Transformasi Kesehatan
Kompleksitas masalah kesehatan lebih dari sekadar akselerasi tenaga kesehatan dan distribusi alat kesehatan canggih.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah menggulirkan kebijakan transformasi kesehatan yang menyentuh berbagai dimensi, baik prevensi maupun kuratif. Terkait aspek kuratif, kebijakan berfokus pada empat penyakit penyebab kematian tertinggi, yakni penyakit jantung, stroke, gagal ginjal, dan kanker.
Menkes Budi rupanya geregetan. Dalam kurun waktu yang telah begitu panjang sejak kemerdekaan negeri ini, masih saja terdapat diskrepansi pelayanan medis. Hal ini lantaran keterbatasan sumber daya manusia dan fasilitas medis.
Pelayanan kesehatan canggih hanya terkonsentrasi di sejumlah kota besar. Karena itu, Kementerian Kesehatan bermaksud mengakselerasi pemerataan pelayanan kesehatan hingga ke sejumlah wilayah kota dan kabupaten.
Untuk mencapai tujuan itu, Menkes memicu akselerasi kecukupan tenaga spesialis dan subspesialis dengan mendorong penataan ulang sistem pendidikan dokter sehingga tidak hanya terkonsentrasi pada rumah sakit pendidikan yang ada. Kemenkes juga memfasilitasi bantuan biaya pendidikan.
Selain itu, Kemenkes menyiapkan fasilitas alat kesehatan dasar dan canggih.
Baca juga: Politik Kesehatan
Dalam bidang kesehatan jantung, sejumlah mesin canggih, termasuk mesin katerisasi jantung, kamera modern penyelisik pembuluh darah, dan mesin pengikis pengapuran jantung, dikirim ke berbagai rumah sakit pemerintah, bahkan hingga ke wilayah kabupaten.
Transformasi kesehatan dalam era Budi Gunadi Sadikin menyajikan terobosan baru yang dirasakan begitu cepat. Hal ini sulit dan gamang untuk diikuti organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia dan organisasi profesi dokter spesialis di bawahnya, termasuk institusi pendidikan dokter.
Situasi itu memicu debat berkepanjangan, baik dalam pola perubahan sistem pendidikan spesialis/subspesialis, percepatan tenaga kesehatan, maupun distribusi masif modalitas diagnostik dan terapeutik modern berbasis alat-alat canggih.
Pertanyaan filosofis yang selalu mewarnai setiap terobosan kebijakan kesehatan, apakah kebijakan tersebut akan berimplikasi positif terhadap daya ungkit kesehatan masyarakat atau sebaliknya?
Renungan Zollikon
Pertanyaan demikian itu yang juga mengantarkan Medard Boss, dokter ahli jiwa kenamaan asal Swiss, untuk menemui Heidegger di pedepokan bukit Todtnauberg, Jerman. Heidegger adalah filsuf terkemuka dunia.
Dokter Boss, berbeda dengan banyak dokter lainnya, tidak segera bersukacita terhadap perkembangan pesat teknologi medis pada tahun 1960-an. Ia malah prihatin.
Terpengaruh buku Being and Time, karya Heiddegger tahun 1927, Boss memandang bahwa perkembangan teknologi sains medis mengarah pada paradigma mekanistik yang menyudutkan manusia sebagai obyek. Sebagai dokter yang memahami kejiwaan manusia, Boss tidak tahan menanggung derita batin seorang diri.
Ia ingin berbagi kekhawatiran dengan sejawatnya. Namun, bagaimana caranya? Ia mengundang sang filsuf itu ke Zollikon, Swiss, untuk secara rutin ”menasihati” para dokter dan mahasiswa kedokteran.
Heidegger yang sedang mengisolasi diri itu pun setuju. Serial nasihat berupa seminar pun berlangsung dalam kurun waktu sepuluh tahun (1959-1969). Heidegger tanpa segan mengkritik tajam modernitas ilmu pengetahuan, termasuk bidang medis. ”Kami mengkritisi sains karena sains sendiri kurang merenungkan dirinya sendiri,” ujar Heidegger.
Ilmu medis, menurut filsuf fenomenologi tersebut, telah memandang manusia semata sebagai organisme fisikal yang ditentukan oleh hukum kausalitas.
Transformasi kesehatan sudah tentu berimplikasi pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Dokter Boss mengamini pandangan Heidegger. Menurut Boss, sains medis melahirkan dogma-dogma aneh, antara lain penentu sehat atau sakit seorang manusia adalah parameter angka.
”Sesuatu baru dianggap realistis jika bisa diukur,” ungkap Boss. Teknologi medis modern alih-alih lebih mudah menentukan sehat atau sakit malah menjadikan batas pemisah sakit dan sehat semakin tidak jelas.
Pada awalnya dokter hanya melakukan observasi indrawi terhadap kegagalan fungsi tubuh. Namun, seiring dengan kemajuan alat-alat detektor medis, disfungsi subtil organ telah dapat terdeteksi lebih dini.
Kemajuan teknologi diagnostik canggih molekuler memungkinkan untuk mendapati seseorang yang tampak sehat, tetapi sesungguhnya menyimpan penyakit.
Aktris Hollywood, Angelina Jolie, misalnya, memutuskan operasi kedua payudaranya pada usia 37 tahun karena tes genetik mengisyaratkan bahwa ia memiliki kemungkinan 87 persen menderita kanker payudara dan 50 persen menderita kanker indung telur. Jolie saat itu tidak mengeluhkan rasa sakit apa pun, tetapi tes genetik menyatakan ia berisiko tinggi sakit.
Kemajuan demikian di satu sisi amat membantu. Di sisi lain, tanpa informasi dan keputusan medis yang bijak dapat menciptakan horor bagi masyarakat karena terhantui prediksi derita penyakit yang akan dialami kelak.
Para ahli yang berkumpul di Zollikon merasakan bahwa ilmu kedokteran modern mereduksi manusia melalui hasil pemeriksaan kimia darah laboratorium, pemeriksaan rekaman jantung, dan apa yang didengar dari stetoskop.
Baik Heidegger maupun Boss tidak bermaksud menisbikan peran penting perkembangan ilmu dan teknologi medis. Namun, mereka mewanti-wanti agar praktisi medis jangan hanya fokus pada disfungsi organ tubuh dengan pandangan partikular dan hanya bersandar pada data statistik medis sebagai satu-satunya parameter penentu superioritas opsi terapi.
Kompleksitas realitas kesehatan
Kompleksitas masalah kesehatan butuh lebih dari sekadar akselerasi tenaga kesehatan dan distribusi alat kesehatan canggih. Tenaga kesehatan yang tidak terlatih dengan tepat dan alat kesehatan yang tidak digunakan dengan cermat akan memicu penyakit baru akibat medical error yang jauh lebih sulit diatasi dibandingkan penyakit dengan penyebab alami.
Tindakan invasif jantung, termasuk pada serangan jantung, amat bermanfaat pada sebagian pasien, tetapi tidak pada yang lain. Penyakit akibat komplikasi atau medical error menimbulkan implikasi klinis lebih serius dan lebih sulit diatasi dibandingkan penyempitan alami itu sendiri.
Organisasi profesi perlu secara aktif melakukan advokasi dan turut mengawal agar transformasi kesehatan berorientasi pada kualitas kesehatan.
Pada awal 1990-an muncul kasus serangan jantung jenis baru, yaitu serangan jantung akibat gagal stent (stent failure). Stent adalah semacam cincin metal yang dipasang untuk melebarkan pembuluh darah jantung.
Salah satu faktor gagal stent adalah implantasi stent yang tidak dilakukan semestinya. Perbaikan desain stent tidak menghentikan kejadian seperti itu.
Panduan dan konsensus medis amat ketat melarang tindakan invasif tanpa indikasi yang jelas dan dilakukan begitu saja tanpa kelengkapan medis yang semestinya.
Namun, panduan medis bak jeritan di padang pasir. Kompleksitas realitas pelayanan kesehatan tidak sepenuhnya hitam putih. Relasi dokter dan pasien tidak berada di ruang hening keputusan mereka berdua. Ada pihak ketiga—baik kebijakan rumah sakit, pemerintah daerah, sistem kesehatan, maupun aturan asuransi kesehatan—yang juga berpengaruh terhadap opsi diagnostik dan terapeutik.
Keterpaduan
Transformasi kesehatan terlihat sebagai kebijakan top-down memiliki tantangan yang tidak ringan. Keterpaduan berbagai pihak dibutuhkan agar pemerataan dan kualitas pelayanan kesehatan dapat menyentuh rakyat di sejumlah daerah.
Komitmen pemda dan dukungan partai politik tak hanya diperlukan untuk mendorong dan membantu meningkatkan kualitas rumah sakit. Komitmen dan dukungan itu juga diperlukan untuk membangun infrastruktur yang memudahkan akses bagi masyarakat mendapat pelayanan kesehatan.
Pimpinan rumah sakit juga tidak sekadar berorientasi mendapatkan keuntungan pelayanan kesehatan, tetapi juga perlu secara aktif melakukan audit internal kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan.
Kebijakan Kemenkes dalam memperbanyak jumlah tenaga medis, khususnya spesialis dan subspesialis, tak serta-merta dimaknai dengan pendidikan yang asal-asalan. Dengan demikian, institusi pendidikan tidak lantas berlomba memperbanyak jumlah peserta didik.
Pemerataan pelayanan kesehatan akan menjadi lebih buruk walaupun tersedia alat canggih apabila tidak didukung dengan kecakapan tenaga kesehatan.
Transformasi kesehatan sudah tentu berimplikasi pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Konsekuensi pengeluaran pembiayaan medis oleh BPJS yang menjadi lebih besar tidak terhindarkan apabila jenis pelayanan kesehatan semakin merata.
Dukungan BPJS dengan demikian amat penting dalam keberhasilan transformasi kesehatan ini. Organisasi profesi perlu secara aktif melakukan advokasi dan turut mengawal agar transformasi kesehatan berorientasi pada kualitas kesehatan.
Transformasi kesehatan dapat menjadi kesempatan untuk secara komprehensif menata pelayanan kesehatan bagi Indonesia yang lebih baik jika tantangan pada setiap tahap implementasi, termasuk kesiapan lini depan yang menjadi target kebijakan ini, turut aktif berperan.
The devil is in the detail.
Achmad Fauzi Yahya, Ketua Perhimpunan Intervensi Kardiologi Indonesia (PIKI)