Narasi korupsi desa yang terlalu berat telah meruntuhkan kepercayaan terhadap desa. Ini merugikan keseluruhan warga.
Oleh
IVANOVICH AGUSTA
·3 menit baca
Begitu cakrawala 2024 terbit, desa babak belur digempur narasi akbar korupsi. Isu video Dirty Vote serta opini media massa dan sosial tentang korupsi desa yang dikaitkan dengan pilihan politik kepala desa, tak salah.
Akan tetapi, sesungguhnya korupsi desa tak semasif itu dalam realitasnya, dilihat dari proporsi kasus dan nilainya terhadap total jumlah kasus dan nilai uang negara yang dikorupsi secara nasional. Narasi korupsi desa yang terlalu berat telah meruntuhkan kepercayaan terhadap desa. Ini merugikan keseluruhan warga.
Proporsi korupsi
Meskipun data korupsi desa tersedia di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Indonesia Corruption Watch (ICW), narasi yang mengalir ke publik lebih banyak dikonstruksi dari informasi ICW.
Setiap tahun ICW melansir tren penindakan dan vonis kasus korupsi. Korupsi desa dilirik lantaran jumlah koruptor paling banyak meski rekor nilai korupsi tertinggi mengucur dari pemda, swasta, dan pada beberapa kasus dari aparat pusat.
Pada 2022, korupsi desa mencapai Rp 381 miliar, setara dengan 0,89 persen dari keseluruhan nilai korupsi di Indonesia sebesar Rp 42,747 triliun.
Setiap kebijakan harus berbasis data, analisis, dan rekomendasi kegiatan, yang bisa diakses publik.
Hanya saja, angka koruptor dan nilai korupsi desa tidak persis sama saat dibandingkan antarlaporan lintas tahun. Ada kalanya kategori kepala desa terpisah, pernah disatukan dengan perangkatnya, juga sempat tergabung bersama camat. Konsekuensi selisihnya tidak terlalu besar secara kumulatif sehingga dapat diabaikan.
Kepala desa terdakwa korupsi meningkat dari 22 orang pada 2016 menjadi 374 orang pada 2022. Dibandingkan dengan jumlah desa yang sebanyak 74.754 desa pada 2016, angka itu berarti 0,03 persen dari total jumlah kepala desa. Dan untuk 2022, sebanyak 0,05 persen dari total 74.961 kepala desa.
Proporsi nilai korupsi desa juga kecil. Pada 2016 nilai korupsinya Rp 22 miliar atau 0,09 persen dari dana desa Rp 46,9 triliun. Pada 2022, nilai korupsi desa Rp 68 miliar atau 0,56 persen dari dana desa.
Dengan demikian, untuk sinyalemen adanya mobilisasi politik kepala desa karena sandera kasus korupsi, kalaupun itu benar, ada kesan terlalu dilebih-lebihkan mengingat proporsinya yang terlalu kecil.
Perlu dicermati rata-rata angka korupsi tiap kepala desa koruptor. Pada 2016, koruptor merugikan desa rata-rata Rp 1,8 miliar. Ini angka yang terlalu tinggi untuk korupsi setahun, kecuali untuk desa terpencil.
Sampai 2022, koruptor rata-rata merugikan desa Rp 1 miliar. Dengan membandingkan rata-rata penyaluran dana desa Rp 930 juta per desa, dan nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) yang rata-rata Rp 1,6 miliar per desa, nilai korupsi itu terlalu besar untuk disembunyikan di desa. Korupsi sebesar itu semestinya mudah diendus warga.
Pada 2022, saat 0,5 persen atau 374 kepala desa menggangsir APBDes, 35 persen atau 26.487 desa justru meraih status desa maju dan mandiri. Artinya, jauh lebih banyak kepala desa yang membangun desa dan memberdayakan warga ketimbang mengorupsi dana desa.
Dibanding dengan tahun sebelumnya, jumlah kepala desa koruptor memang bertambah 129 orang atau naik 0,17 persen. Namun, jauh lebih banyak yang sukses menaikkan status desa menjadi desa maju dan mandiri, yaitu 11 persen atau 7.897 kepala desa. Berarti, bertambahnya kepala desa yang aktif membangun berlipat ganda, lebih dari sepuluh kali lipat ketimbang yang nakal mengorupsi dana desanya sendiri. Mestinya ini sudah cukup untuk tetap percaya pada desa.
Tulisan ini bukan dimaksudkan sebagai apologi korupsi. Proporsi korupsi desa yang sangat kecil, tidak sebanding dengan diskursusnya. Apalagi, kepala desa yang menyejahterakan warga jauh lebih banyak.
Korupsi mesti diberantas sampai titik nadir. Warga harus langsung melaporkan korupsi desa melalui layanan Sipemandu Kementerian Desa PDTT (https://sipemandu.kemendesa .go.id) yang terkoneksi dengan Jaga Desa KPK (https://jaga.id). Atau ke Lapor! kepada Presiden (https://www.lapor.go.id). Laporan korupsi desa lazim ditanggapi dengan serius.
Kekhawatiran terhadap impunitas kepala desa dalam draf revisi UU Desa Pasal 26 perlu diakhiri dengan adanya jaminan perolehan bantuan hukum.
Setiap kebijakan harus berbasis data, analisis, dan rekomendasi kegiatan yang bisa diakses publik. Selanjutnya, keputusan diambil bersama melalui musyawarah desa. Menteri Dalam Negeri juga perlu mendapatkan wewenang mencopot jabatan kepala desa begitu vonis korupsi inkracht.
Ivanovich Agusta, Sosiolog Perdesaan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi