Rapor Sepuluh Tahun UU Desa
Peran aktif masyarakat dalam perencanaan dan pembangunan desa juga menjadi faktor penentu keberhasilan pembangunan desa.
Tahun ini genap sepuluh tahun pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Dalam satu dasawarsa itu, implementasi UU ini telah menghasilkan berbagai capaian, khususnya dalam pembangunan manusia dan kebudayaan. Apabila kita dalami, spirit di balik UU ini adalah pembangunan desa yang terpusat pada manusia (people-centered village development).
Selain itu, pelaksanaan UU Desa juga mengacu pada prinsip ”Desa Membangun” dan ”Membangun Desa”. Intinya, pembangunan dilaksanakan bersama-sama masyarakat dengan kombinasi pendekatan top-down dan bottom-up serta memberikan kewenangan yang lebih luas kepada desa.
Sejak 2015 hingga 2023, melalui instrumen kebijakan dana desa (DD), telah dialokasikan dan disalurkan Rp 539 triliun DD kepada sekitar 74.960 desa di seluruh Tanah Air. Jumlahnya meningkat pesat dari sekitar Rp 280 juta (2015) menjadi Rp 1,1 miliar-Rp 1,3 miliar per desa (2023) dengan persentase penyerapan rata-rata 99 persen.
Kriteria tingkat kemajuan desa pun telah ditetapkan menjadi tiga peringkat. Secara berturut-turut, yaitu desa mandiri, desa maju, dan desa tertinggal. Selama 2015-2023, jumlah desa mandiri naik dari 174 menjadi 11.456. Desa maju dari 3.608 menjadi 23.035. Sebaliknya, desa tertinggal turun drastis dari 33.592 menjadi 7.154.
Baca juga : Sepuluh Tahun Undang-Undang Desa
Pembangunan desa telah menunjukkan dampak positif dalam menurunkan angka kemiskinan. Penurunannya lebih baik dibandingkan dengan di perkotaan. Berdasarkan data BPS, kemiskinan di desa turun 1,99 poin persen dari 14,21 persen (2015) menjadi 12,22 persen (2023). Adapun kemiskinan kota turun 1,00 poin persen dari 8,29 persen jadi 7,29 persen.
Pembangunan manusia
Pembangunan manusia di desa, sebagaimana termaktub dalam UU Desa, mencakup berbagai aspek, yaitu pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, dan pemajuan kebudayaan.
Sementara yang lebih spesifik dan mendesak adalah penghapusan kemiskinan ekstrem, peningkatan status gizi dan kesehatan ibu-anak, penurunan stunting (tengkes), pendidikan vokasi, dan pemerataan pembangunan, baik antarwilayah maupun antara desa dan kota.
Dari aspek pendidikan, angka partisipasi kasar (APK) PAUD dan pendidikan dasar 12 tahun di desa juga naik. Kenaikan tertinggi terjadi pada APK SMA/sederajat dari 70,23 persen (2015) menjadi 82,56 persen (2023).
Dari aspek kesehatan, akses penduduk desa terhadap fasilitas dan pelayanan kesehatan juga semakin meningkat. Ini ditandai dengan pengurangan jumlah desa yang mengalami kesulitan mengakses rumah sakit, puskesmas rawat inap, dan puskesmas tanpa rawat inap. Pembangunan puskesmas di desa, program imunisasi, dan promosi kesehatan telah mengurangi angka kematian ibu dan bayi serta meningkatkan harapan hidup di desa.
Untuk aspek pemberdayaan ekonomi lokal, melalui DD, desa mampu mengembangkan perekonomiannya dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang tersedia. Dengan ekosistem ekonomi perdesaan yang terbentuk diharapkan semua penduduk desa usia produktif dapat terberdayakan. Mereka terlibat aktif dalam mata rantai proses ekonomi perdesaan agar terwujud desa tanpa pengangguran.
Dalam mendukung pembangunan manusia dari aspek pemberdayaan perempuan dan kelompok rentan, DD telah menjadi andalan untuk menurunkan kesenjangan jender dan kesenjangan sosial di desa. Berbagai program inklusi sosial dan ekonomi juga telah digulirkan.
Peran aktif masyarakat dalam perencanaan dan pembangunan desa juga menjadi faktor penentu keberhasilan pembangunan desa.
Penghapusan kemiskinan ekstrem
Dari sisi program pendidikan dan pelatihan vokasi, jenis dan tingkatannya dipadupadankan dengan kebutuhan tenaga kerja di desa dan kawasan perdesaan (link and match). Masyarakat desa, khususnya generasi muda, selain menjadi pelaku utama ekonomi desa, juga diberi peluang seluas-luasnya meningkatkan kemampuan, keterampilan, dan daya saing di pasar kerja.
Dalam aspek infrastruktur, sebagian besar desa masih sangat membutuhkan pembangunan infrastruktur dasar, seperti jalan desa, listrik, air minum, dan air bersih, guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa. Lebih dari 325.000 km jalan desa telah dibangun dengan DD selama 2015-2023.
Keluarga pengguna sumber air juga meningkat sekitar 7,28 persen dalam kurun 2018-2021. Jumlah keluarga bukan pengguna listrik berkurang signifikan, yaitu sekitar 47 persen.
Demikian juga dalam aspek pengelolaan sumber daya alam (SDA). Melalui program pelestarian lingkungan dan pengembangan pertanian berkelanjutan, masyarakat desa dapat memanfaatkan SDA untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Untuk ketahanan pangan, desa wajib mengalokasikan minimal 20 persen dari pagu DD.
Pada aspek penghapusan kemiskinan ekstrem, berbagai program dan kebijakan telah diluncurkan, terutama untuk mengurangi beban pengeluaran keluarga miskin ekstrem. Keluarga miskin ekstrem bisa menerima sekaligus beberapa program bantuan sehingga daya beli bisa naik ke atas batas garis kemiskinan ekstrem, yaitu 1,9 dollar AS berdasarkan paritas daya beli atau setara Rp 11.571 per hari per orang untuk rata-rata nasional.
Di sini DD menjadi instrumen kunci untuk membuat semua desa bisa ”menuju desa tanpa kemiskinan ekstrem”, sejalan dengan target Presiden Joko Widodo, yakni kemiskinan ekstrem nol persen pada 2024.
Berpusat pada manusia
Peran aktif masyarakat dalam perencanaan dan pembangunan desa juga menjadi faktor penentu keberhasilan pembangunan desa. Hal itu dapat dilakukan melalui musyawarah desa (musdes) di mana masyarakat memiliki kesempatan luas untuk berperan langsung dalam proses perumusan, penetapan, dan pelaksanaan program pembangunan desanya.
Pembangunan desa telah menunjukkan dampak positif dalam menurunkan angka kemiskinan.
Baik itu program yang berasal dari/dan oleh masyarakat desa sendiri, atau dari kementerian teknis sektoral, pemda, mitra pembangunan, perguruan tinggi, dan swasta.
Pembangunan desa yang menjadikan manusia sebagai pusat juga harus memperhatikan dan memberikan pelayanan yang selayak mungkin kepada kelompok rentan, yaitu lansia, difabel, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), ibu hamil-menyusui, serta anak balita. Tak boleh diabaikan juga keberadaan para perempuan kepala rumah tangga di desa karena dari sekitar 10,4 juta rumah tangga, sekitar 12,73 persen dikepalai oleh perempuan (data BPS 2023).
Muhadjir EffendyMenteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan