Salah Kaprah Gelar Profesor
Satu hal yang sering dilupakan adalah profesor atau guru besar merupakan jabatan akademik, bukan gelar akademik.
Tahun 2023, dunia pendidikan tinggi Tanah Air ditandai dengan maraknya pengukuhan profesor-profesor baru, jauh lebih banyak dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini buntut dari terbitnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan & RB) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berimbas juga ke para dosen, baik dari perguruan tinggi negeri (PTN) maupun swasta (PTS).
Dosen berbondong-bondong mengajukan penilaian angka kreditnya sebelum regulasi baru diberlakukan. Pernah, di sebuah perguruan tinggi (PT), 27 dosen sekaligus dikukuhkan sebagai profesor baru dalam sebuah acara. Atau, di PT lain diselenggarakan pengukuhan profesor baru dalam empat minggu berturut-turut, setiap kali dikukuhkan 7-8 profesor baru. Entah apakah fenomena seperti ini pernah terjadi di negara lain.
Baca juga : Profesor yang Produktif dan Profesor yang Mandul
UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Karena itu, perolehan jabatan fungsional atau jabatan akademik tertinggi ini pantas dirayakan dan dijadikan kebanggaan, baik bagi yang bersangkutan, keluarga, maupun institusinya. Sapaan pun banyak yang berubah, bukan lagi Pak atau Ibu, berganti jadi Prof, kependekan dari profesor.
Profesor itu jabatan, bukan gelar
Bukan hanya sumber kebanggaan dan kehormatan, jabatan profesor setidaknya juga diganjar tunjangan profesor tiga kali gaji pokok. Usia pensiun juga diperpanjang dari 65 ke 70 tahun, bahkan berpotensi diperpanjang sebagai dosen khusus hingga 79 tahun.
Dengan segala kehormatan yang diperoleh ini, tak jarang berbagai upaya yang melanggar etika dan norma dihalalkan untuk meraihnya, termasuk munculnya ”efek kobra” akibat lebih mengutamakan eksistensi dibandingkan dengan esensi (Kompas, 17/4/2024).
Satu hal yang sering dilupakan adalah profesor atau guru besar merupakan jabatan akademik, bukan gelar akademik. Gelar akademik, entah itu sarjana, magister, atau doktor, umumnya bersifat permanen, melekat pada pribadi yang memperolehnya. Beda halnya dengan jabatan, sifatnya tidak permanen, sebaliknya memiliki batas waktu.
UU No 14/2005 menegaskan bahwa jabatan fungsional dosen, termasuk jabatan profesor, melekat pada seorang dosen selama yang bersangkutan masih menjalankan fungsinya sebagai dosen atau masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi atau belum pensiun. Setelahnya, tentunya jabatan akan berakhir, ia tidak lagi menunaikan jabatan sebagai profesor atau guru besar.
Di universitas-universitas terkemuka dunia, seorang profesor yang pensiun masih diberi hak menyandang gelar profesor bilamana yang bersangkutan dipandang memiliki prestasi dan kontribusi istimewa, disebut profesor emeritus. Profesor emeritus umumnya tak menerima gaji lagi, tetapi masih diberi berbagai fasilitas, seperti kantor, kartu nama, e-mail, dan tempat parkir mobil. Tak semua profesor menerima kehormatan ini.
Pemimpin di dunia akademik
Sebagai pemangku sebuah jabatan, profesor memiliki tanggung jawab dan wewenang tertinggi di dunia akademik. Karena itu, selain tanggung jawab yang pada umumnya harus diemban dosen, seorang profesor juga masih diberi tambahan tanggung jawab khusus, antara lain, menulis buku, memublikasikan karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi, dan mendesiminasikannya kepada masyarakat ilmiah dan umum.
Baca juga : Profesor karena Joki
Profesor juga diberi wewenang membimbing calon doktor dan dosen dengan jabatan lebih rendah. Artinya, seorang profesor justru memiliki tanggung jawab dan tuntutan kinerja lebih tinggi dibandingkan dengan dosen-dosen dengan jabatan akademik lebih rendah dalam pelaksanaan Tri Dharma PT. Singkatnya, profesor mengemban tugas sebagai pemimpin di dunia akademik (academic leader).
Sebagai academic leader, seorang profesor atau guru besar justru dituntut menunjukkan kinerja yang lebih baik lagi dibanding sebelumnya, tak terbatas di bidang-bidang Tri Dharma PT saja.
Dari seorang profesor diharapkan keteladanan dan kepemimpinan, kesediaan membimbing, mengangkat kolega lain dan mahasiswa yang lebih muda, serta berkontribusi positif untuk masyarakat, bangsa, dan negara. Sederhananya, ketika seorang dosen menjadi profesor, harus makin produktif dalam hal publikasi seyogianya juga makin produktif dan lebih berkualitas, mengajarnya lebih baik dan lebih inovatif, demikian juga kepemimpinannya. Bukan sebaliknya.
Mungkin sudah waktunya juga untuk mengevaluasi prosedur dan kriteria promosi jabatan akademik ini.
Profesor dituntut kinerja tertinggi
Karena merupakan jabatan tertinggi, wajar seorang profesor diberikan tuntutan kinerja yang tertinggi, sejalan dengan wewenang dan haknya yang tertinggi, bukan sebaliknya.
Kadang dimaknai, setelah jabatan profesor dicapai, berhenti pula upaya keras untuk meningkatkan kinerja dalam hal pembelajaran mahasiswa, pengembangan keilmuan, ataupun dalam mengabdikannya kepada masyarakat.
Hal ini ada benarnya dengan gelar akademik, tetapi tidak dengan jabatan. Salah kaprah ini yang harus diluruskan.
Dalam salah satu kesempatan memberikan sambutan di acara pengukuhan profesor baru, setengah berseloroh saya sampaikan akan memeriksa akun Scopus para profesor baru ini di tahun-tahun berikutnya. Harus tetap produktif serta menghasilkan publikasi internasional yang baru dan makin meningkat, bukan hanya dari sisi jumlah, tetapi juga kualitas. Bukan hanya di prosiding, tetapi juga di jurnal internasional, yang tentunya bereputasi.
Singkatnya, profesor seyogianya terus membangun reputasi dan kolaborasinya di ranah internasional.
Saat ini dunia pendidikan tinggi di Indonesia sedang dihadapkan pada banyak tantangan yang luar biasa. Selain disrupsi akibat Revolusi Industri 4.0, dunia pendidikan juga dihadapkan pada berkembang pesatnya kecerdasan buatan (AI) dan hadirnya perguruan-perguruan tinggi asing di Tanah Air.
Makin agresifnya serbuan perguruan tinggi asing dalam perekrutan mahasiswa di Tanah Air menambah kompleks tantangan yang dihadapi. Belum lagi berbagai tantangan akibat perubahan iklim global. Dalam banyak hal, pendidikan tinggi kita masih kalah bersaing. Sudah rahasia umum, perguruan tinggi kita masih kalah jauh dalam persaingan dan kontribusinya di ranah global.
Dalam situasi inilah, bertambah banyaknya jumlah profesor di Tanah Air seyogianya menjadi titik terang pembawa harapan. Bertambah banyaknya jumlah profesor artinya bertambah banyak jumlah pemimpin andal di bidang akademik yang akan menjadi lokomotif pembawa perubahan dan peningkatan kualitas pendidikan tinggi kita.
Profesor seyogianya tak dibiarkan berjuang sendiri. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan regulasi harus senantiasa melengkapi diri dengan mental bertumbuh (growth mindset), dengan cepat terus mengadopsi hal-hal baru yang relevan, mengevaluasi regulasi yang ada, memangkas yang menghambat, memberikan berbagai dukungan dan fasilitas, serta menciptakan suasana kondusif dan adil di tengah persaingan dan tantangan perubahan yang kian luar biasa ini.
Sebagai pemangku sebuah jabatan, profesor memiliki tanggung jawab dan wewenang tertinggi di dunia akademik.
Mungkin sudah waktunya juga untuk mengevaluasi prosedur dan kriteria promosi jabatan akademik ini. Apakah tidak sebaiknya dipercayakan pada otonomi PT, tidak terpusat secara nasional, yang bahkan juga berlaku untuk dosen-dosen PTS? Demikian juga apakah tidak sebaiknya dilakukan secara kualitatif, bukan kuantitatif, melalui penghitungan jumlah angka kredit (KUM) seperti yang selama ini berlaku?
Sepertinya prosedur seperti ini hanya berlaku di Indonesia, satu-satunya di dunia, tidak berlaku di negara-negara lain. Dan, sepertinya kurang memacu kinerja dan pertumbuhan.
Djwantoro Hardjito, Profesor dan Rektor di Universitas Kristen Petra, Surabaya