Tak Semua Teknologi Diperlukan
Keputusan mengenai adopsi suatu tren bukanlah keputusan yang hanya dilakukan satu kali, tetapi ditinjau terus-menerus.
Siapa yang tak kenal Google, Microsoft, Apple, atau Amazon? Perusahaan-perusahaan keren yang pionir berinovasi dan memproduksi teknologi yang fenomenal dan legendaris, seperti Google Maps, Google Drive, Chrome, Youtube, Prime, Kindle, Alexa, Windows XP, Xbox 360, Microsoft Office, iPad, iPhone, iMac, dan Vision Pro. Mereka sukses menguasai pasar.
Sebaliknya, tak banyak yang mengenal Nexus Q, Google Fiber, Magic Leap, Ara, Google Glass, Tango, Google Reader, Daydream, atau Google+, produk-produk teknologi buatan Google yang cepat menghilang, bahkan ada yang layu sebelum berkembang, mati sebelum diinisiasi ke publik.
Hal yang sama terjadi pada produk Microsoft, seperti Microsoft Band, Windows 8, Kinect, Windows RT, Zune, Windows Phone, dan Microsoft Kin. Apple juga gagal memasarkan beberapa produknya: Apple Watch, Newton, AirPower, Antennagate, Apple Maps, dan Butterfly Keyboard-nya. HQ2 dan The Fire Phone dari Amazon juga kandas, sama nasibnya dengan Bixby dan Galaxy Fold-nya Samsung serta Qwikster-nya Netflix.
Tak semua produk mutakhir lahir dengan selamat, disambut antusias, dan diterima oleh pasar (konsumen). Tak sedikit produk teknologi bahkan mengalami kematian mengenaskan dan menggerus keuangan pengembangnya. LeEco, yang dikenal sebagai Netflix-nya China, bangkrut tak lama setelah mengembangkan TV Visio dan mobil listrik Faraday Future. HP menderita kerugian hampir 300 miliar dollar AS, dampak gagalnya produk TouchPad. Produk Wii U menyumbangkan kerugian 48,6 miliar dollar AS pada Nintendo.
Banyak produk yang sukses, tetapi tak sedikit yang mati prematur. Marx Payne (Fortune, 2023) dengan provokatif menyatakan bahwa persentase produk atau layanan inovatif yang gagal di pasar bukan 50 persen, melainkan bahkan mencapai 90 persen.
Perusahaan-perusahaan ini memiliki sejarah produk yang sukses dan memahami apa yang diperlukan untuk menciptakan produk yang sukses. Mereka memiliki orang-orang pintar, semua teknologi, dan IP yang relevan. Mereka bahkan mempunyai manajemen yang visioner dan pelaksana yang cerdas. Mereka merasakan denyut nadi pelanggan. Mereka punya uang dan sumber daya. Gejolak pasar yang menguntungkan juga membantu memengaruhi momentum. Namun, tidak satu pun dari bermacam faktor ini yang menjamin mereka menghasilkan produk yang sukses. Teknologi mereka ternyata tak semuanya diperlukan (oleh pasar).
Tren teknologi yang relevan
Tidak semua tren teknologi diciptakan sama. Banyak perusahaan yang menjadi korban dari daya tarik inisiatif teknologi yang spektakuler, tetapi pada akhirnya hanya memberikan sedikit manfaat. Faktanya adalah tren teknologi tidak dapat diprediksi, terus berkembang, dan relevansinya terhadap bisnis dapat berfluktuasi.
Mengingat betapa besarnya teknologi mendasari begitu banyak tren dan meningkatnya laju inovasi, para pemimpin perusahaan akan mendengar lebih banyak tentang tren tersebut serta merasakan tekanan untuk mengambil tindakan terhadap tren tersebut. Maka, kemampuan untuk mengevaluasi tren teknologi dengan cepat dan mengomunikasikan relevansinya dengan bisnis menjadi penting bagi CEO saat ini.
Mereka memerlukan seperangkat parameter yang jelas untuk diandalkan dalam mengevaluasi tren dan menentukan sikap mana yang harus diambil untuk berinteraksi dengannya. Bossert dan Richter(2024) memetakan empat parameter tren teknologi dalam relevansinya dengan bisnis sesuai atribut bawaan yang menjadikannya sangat berharga bagi bisnis apa pun.
Pertama, nilai bisnis yang disruptif. Tren ini dapat menghasilkan nilai yang terukur bagi bisnis. Hampir semua tren mempunyai potensi untuk meningkatkan sesuatu dalam suatu organisasi. Pertanyaannya adalah apakah perbaikan tersebut sepadan dengan biaya yang dikeluarkan? Penting untuk memahami mana yang bermanfaat (trade-off).
Apakah nilai tambah tersebut hanya bersifat inkremental atau signifikan dan apakah kesuksesan dapat diukur dengan jelas dalam key performance indicator (KPI)? Jika suatu tren meningkatkan proses TI, tetapi tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan keuntungan bisnis, hal tersebut mungkin tidak bernilai investasi yang signifikan.
Nilai dari beberapa tren juga sangat kontekstual. Blockchain, misalnya, mempunyai potensi untuk menciptakan banyak nilai pada beberapa bidang jasa keuangan, seperti mata uang kripto dan manajemen agunan. Namun, di industri lain, seperti barang kemasan konsumen, potensi nilainya kurang jelas.
Kedua adalah tentang kemandirian. Tren ini memungkinkan perusahaan untuk bekerja dalam unit yang lebih kecil dan lebih independen. Salah satu tantangan utama adalah teknologi sering kali memiliki terlalu banyak saling ketergantungan yang menyebabkan utang teknis dan proses administratif seperti rapat penyelarasan dan koordinasi proses serta pertemuan menjadi konsekuensi yang tidak bisa dihindari.
Konsep ”modularitas” telah populer selama hampir dua dekade, tetapi antusiasme terhadap hal tersebut secara umum belum diimbangi dalam penerapannya. Di sinilah peralihan menuju model pengoperasian produk dan platform—dengan tim independen mengerjakan produk yang dapat dilihat oleh pengguna, sementara tim platform membangun kemampuan untuk mendukung produk tersebut—dapat memberikan dampak yang signifikan.
Bagi beberapa industri dengan margin rendah, kesepakatan outsourcing skala besar setidaknya berhasil sebagian meskipun ketergantungan sistem tidak berubah. Jadi, seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan kecepatan dan fleksibilitas dalam teknologi, penghematan dari outsourcing semakin besar.
Ketiga, konektivitas. Tren ini mengurangi gesekan dalam konektivitas organisasi. Meskipun independensi merupakan hal yang penting, tren operasional seperti struktur satelit, atau membagi organisasi menjadi unit-unit yang tidak terhubung, tidak akan menghasilkan dampak yang besar. Ada perbedaan antara ketergantungan, yang tidak baik, dan kemampuan menggunakan aset (leverage) yang sangat penting untuk memberikan nilai.
Virtualisasi adalah tren lain yang menyoroti perlunya menyeimbangkan independensi dan konektivitas. Awalnya berfokus pada peningkatan penggunaan aset perangkat keras—khususnya CPU—virtualisasi juga membuat aplikasi tidak terlalu bergantung satu sama lain dan pada sistem yang lebih besar dengan tidak memaksa semuanya berjalan di satu server, tetapi memberikan konektivitas terbatas di antara mesin virtual individual. Sebaliknya, pola layanan mikro modern bertujuan untuk meningkatkan independensi dan memperjelas antarmuka sehingga meningkatkan konektivitas dengan mengurangi kebutuhan atas komunikasi atau mekanisme koordinasi terpusat.
Keempat, ekstentabilitas. Tren ini secara luas dapat membentuk dan meningkatkan praktik teknologi dan manajemen organisasi. Dampak tren teknologi meningkat seiring dengan penerapan dan koherensinya di seluruh bidang produksi. Tren teknologi yang hanya menyentuh satu bagian dari bidang TI secara terpisah atau dikelola hanya sebagai ”produk teknologi” sering kali tidak memiliki dampak luas seperti halnya inovasi sejati.
Virtualisasi, layanan mikro, atau layanan berbasis SaaS, misalnya, kurang berhasil jika dikelola sebagai produk teknologi murni. Hanya ketika dikombinasikan dengan faktor-faktor pendukung di sisi operasional, seperti kegesitan (agile) dan struktur pendukung yang diperlukan (seperti peran dan dukungan SDM), dampaknya akan jauh lebih besar. Demikian pula agilitas bekerja paling baik ketika semua bagian yang relevan dalam perusahaan bekerja dengan cara yang kegesitan.
Adopsi atau tidak?
Penggerak pertama: Keterlibatan ini paling masuk akal jika tren mempunyai dampak signifikan terhadap model bisnis inti perusahaan (artinya, ini adalah masalah kelangsungan bisnis). Pendekatan ini umumnya melibatkan investasi sumber daya waktu, manusia, dan uang yang signifikan.
Pengikut cepat: Pendekatan ini paling baik diterapkan ketika tren dapat memberikan dampak penting pada model bisnis atau membuka aliran pendapatan yang signifikan. Postur keterlibatan ini dapat berhasil ketika tren masih terlalu dini dalam siklus kematangannya untuk memahami cara terbaik memanfaatkannya, atau ketika bisnis belum memiliki kemampuan yang memadai untuk bertindak berdasarkan tren tersebut.
Pengadopsi yang lambat: Pendekatan ini merupakan pilihan yang dapat diterima ketika tren tersebut tidak relevan secara langsung dengan bisnis inti atau belum matang. Ini mungkin masuk akal untuk penerapan khusus suatu tren. Bahayanya adalah sikap berpuas diri dan pandangan yang terlalu sempit terhadap relevansi tren, akan membuat perusahaan tertinggal terlalu jauh untuk mengatasi ketertinggalannya.
Non-adopsi: Beberapa tren tidak masuk akal untuk diadopsi oleh suatu bisnis. Pandangan yang jelas mengenai tujuan bisnis dan dampak tren terhadap tujuan tersebut sangatlah penting. Teknologi tidak semuanya harus diadopsi, tetapi keputusan ini bisa berbahaya ketika didorong oleh pola pikir bahwa tren tertentu ”tidak berlaku bagi kita”. Keputusan mengenai apakah dan bagaimana mengadopsi suatu tren bukanlah keputusan yang hanya dilakukan satu kali.
Hal ini memerlukan peninjauan terus-menerus seiring dengan semakin matang dan berkembangnya teknologi, model penerapan baru dan skala layanan pendukung, atau perubahan situasi pasar. Namun, CEO yang menggunakan keempat parameter tersebut sebagai kompas untuk menentukan relevansi dan memikirkan pilihan keterlibatan mereka dapat memandu perusahaan dengan lebih baik dalam mengubah tren menjadi nilai.
Sebagaimana ditulis dalam buku klasik tahun 1946 oleh Friedrich Georg Jünger, The Failure of Technology, teknologi bisa berdampak baik dan buruk serta memiliki keterbatasan. Dalam momen hari raya Idul Fitri saat ini, misalnya, segala bentuk teknologi canggih, seperti IG, Twitter, FB, Line, dan WA, tidak bisa menggantikan hangatnya silaturahmi personal dengan sanak keluarga meskipun harus dengan berdesak-desakan mudik ke kampung halaman.
Zainal Arifn, Dosen Program Studi Pascasarjana di Institut Teknologi PLN dan Pengurus Indonesia Strategic Management Society
Email: zainal_pln@yahoo.com