Agenda Diplomasi Ekonomi Indonesia di Panggung Selatan
Indonesia perlu melakukan redefinisi “politik bebas aktif” dengan mengembalikan sentralitas dalam kancah politik global.
Indonesia adalah negara strategis karena posisinya di antara dua benua dan dua samudra. Fakta itu amat sering kita dengar, tetapi kini terasa fana. Ini terkait fenomena demokratisasi internet (internet of things) dan komputerisasi global (artificial intelligence) yang menjadi tantangan bagi banyak negara untuk bersikap, terutama dalam memahami geopolitik dan geoekonomi.
Indonesia sebagai negara besar di kawasan selatan harus kembali memainkan peran sentral di percaturan politik global. Ini perlu dilakukan dengan kekuatan solidaritas.
Pada abad ke-19 terjadi konflik panas antara Blok Barat dan Blok Timur yang didasari pandangan ideologis. Amerika Serikat menerbitkan ”Marshall Plan”, dibalas Uni Soviet dengan menerbitkan ”Molotov Plan”. Keduanya memperebutkan hegemoni dalam aspek ekonomi, teknologi, perlombaan senjata, bahkan perjalanan luar angkasa.
Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Pakta Warsawa muncul sebagai bentuk diplomasi militer untuk mencari sekutu.
Baca juga: Indonesia dalam Pusaran Geopolitik dan Geoekonomi
Di tengah kerapuhan kerja sama antarnegara karena perang dingin itu, Indonesia muncul memainkan politik bebas aktif dengan membuka kesempatan dialog dan mendorong solidaritas negara-negara Asia Afrika agar tetap menjaga sentralitas kawasan selatan serta negara berkembang.
Untuk itu, dilaksanakanlah Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 dan diinisiasi Gerakan Non Blok sebagai bentuk solidaritas kawasan selatan untuk menyikapi kondisi global yang sangat rapuh saat itu.
Kini, apakah kompleksitas dan rivalitas global yang terjadi merupakan bentuk nyata pasifnya peran kita di kawasan selatan dan dunia?
Melihat kondisi global saat ini, jelas tidak dapat dimungkiri munculnya berbagai kekuatan baru yang dapat membuat dunia berkarakter Brittle, anxious, non-linear, dan incomprehensible (BANI). Berbagai permasalahan ini adalah bentuk koreksi atas demokrasi hipokrit dan standar ganda negara Barat dalam bersikap pada berbagai isu atau konflik global.
Dalam berbagai kebijakan ekonomi saat ini, awalnya negara Barat percaya pada kerja sama dan dialog dalam kerangka kerja sama bilateral, multilateral, dan regional. Namun, negara adidaya sebesar Amerika Serikat pun sempat keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 6 Juli 2021. Kejadian Brexit pada 1 Februari 2020 juga mengagetkan dunia.
Negara Barat juga sering menerapkan standar ganda pada pemberian sanksi ekonomi. Sebagai contoh, pemberian lebih kurang 16.000 total sanksi dari AS dan sekutunya atas invasi Rusia ke Ukraina. Namun, tidak diberikan satu pun sanksi kepada Israel atas serangannya selama ini ke Palestina.
Negara Barat awalnya menggaungkan perdagangan bebas sebagai upaya kerja sama inklusif. Ini pun kembali menjadi pernyataan hipokrit karena kenyataannya mereka memulai perang dagang, embargo, bahkan saat ini membentuk kebijakan yang konservatif dalam perdagangan internasional dengan hadirnya Deforestation Law di Uni Eropa serta Inflation Reduction Act yang telah disahkan tahun 2022 oleh AS.
Turbulensi geopolitik
Fenomena BANI harus diantisipasi oleh berbagai negara karena dapat menimbulkan kerugian serius di tengah berbagai agenda global lainnya, seperti transisi energi, emisi nol bersih, dan perubahan perilaku menyikapi perubahan iklim. Rivalitas yang kini terjadi bukan hanya antardua hegemoni blok kekuatan, melainkan dapat terjadi antarserver proxy karena sangat mungkin adanya proxy war.
Di waktu mendatang, persaingan geopolitik Blok Barat dan Timur akan sedikit mereda, tetapi menguat persaingan geopolitik 5.0. Ini diawali dengan munculnya blok kawasan utara dan selatan.
Negara Barat juga sering menerapkan standar ganda pada pemberian sanksi ekonomi.
Kawasan Indopasifik dan Laut China Selatan akan menjadi episentrum konflik perebutan sumber daya. Posisi Papua di tengah meningkatnya eskalasi kelompok kriminal bersenjata juga perlu diwaspadai karena dialiri kepentingan barat.
Persaingan geopolitik akan menjadi world war blue yang berbasiskan cyber army. Di situ, teknologi IoT, AI, blockchain, dan remote sensing akan diperebutkan untuk memenangkan percaturan global. Fenomena ini baru mulai terjadi dengan banyaknya negara membentuk angkatan militer ke-4 berbasis cyber untuk mengumpulkan data menjadi big data, mempelajari, serta memengaruhi algoritma manusia.
Perang global ke depan juga akan diwarnai penggunaan teknologi high-frequency active auroral. Banyak pihak menilai hal ini tidak mungkin terjadi melintasi wilayah yurisdiksi negara lain, tetapi belum adanya regulasi akan menimbulkan kecemasan atas konflik global di tengah meningkatnya frekuensi persenjataan nuklir.
Konflik mendatang juga akan diwarnai kompetisi persaingan ekonomi. Pada abad ke-21, China diyakini akan menjadi ekonomi terbesar dunia dengan pangsa 22,68 persen, yakni mencapai 101 triliun dollar AS di tengah perlambatan ekonomi yang sedang terjadi di negeri itu.
Persaingan antarforum kerja sama global, yakni G7, Uni Eropa, OECD, ASEAN, MIKTA, dan BRICS, dinilai akan sangat sengit. Kunci persaingan global ke depan adalah negara yang dapat memegang cadangan minyak dan energi. Selain itu, juga merangkul negara-negara kepulauan sebagai ”investasi” di Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memenangi voting dalam pengambilan keputusan.
Peran Indonesia
Indonesia perlu melakukan redefinisi “politik bebas aktif”, yakni dengan mengembalikan sentralitas dalam kancah politik global. Sebagai negara besar, Indonesia harus menjadi pembawa proposal selatan-selatan ke dunia Internasional.
Hal itu dilakukan dengan berbenah secara ekonomi, sekaligus membangkitkan kembali solidaritas kawasan selatan yang menjadi modal sosial Indonesia selama ini dalam menghadapi kompleksitas global.
Peran negara kepulauan akan menjadi kunci Indonesia melalui sinergi kekuatan gerakan non-blok dengan menghadirkan kerja sama negara berkembang. Solidaritas negara berkembang dapat dibangkitkan dengan model ekonomi Indonesia yang kini tengah menjadi perhatian internasional.
Indonesia juga harus aktif menghimpun modal dari negara G7, OECD, Uni Eropa, BRICS, dan MIKTA sehingga dapat mendorong soft lending facility kepada negara berkembang. Bentuk diplomasi ekonomi ini akan mengembalikan kepercayaan dunia internasional terhadap peran Indonesia.
Indonesia perlu melakukan redefinisi “politik bebas aktif”, yakni dengan mengembalikan sentralitas dalam kancah politik global.
Di dalam negeri, ada kesadaran Indonesia tengah dikepung oleh berbagai pakta pertahanan seperti AUKUS, QUAD, dan potensi reinkarnasi SEATO yang dapat jadi ancaman. Oleh karena itu, diperlukan diplomasi militer untuk memperkuat persenjataan dalam negeri. Posisi Indonesia dapat menjadi bargaining untuk membeli senjata dibarengi alih teknologi.
Politik luar negeri Indonesia perlu didasari lima nilai utama: competency, integrity, accountability, conscience, dan compassion, sebagai modal sosial.
Pertanyaannya, apakah kepercayaan dunia Internasional kepada Indonesia, terutama untuk menghadapi BANI global, akan mencapai titik penuh atau titik jenuh?
Jonathan Ersten Herawan,Junior Analyst Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia