Setiap tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Sedunia atau yang secara internasional lazim disebut May Day. Pada umumnya buruh ialah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. Namun, secara lebih luas, buruh merupakan bagian dari kelas pekerja. Atas pertimbangan itu, pemerintah menetapkan Hari Buruh sebagai hari libur nasional.
Meskipun demikian, May Day setiap tahun dirasa semakin berat dari yang lalu-lalu. Sebelum peringatan Hari Buruh tahun ini, sudah banyak buruh yang libur akibat dirumahkan dan termarjinalisasi secara hak. Kondisi tersebut bukan hanya terjadi pada satu atau dua kasus sehingga pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi tragedi secara nasional.
Situasi diperburuk dengan kelahiran kembali Undang-Undang Cipta Kerja yang sempat dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada November 2021. UU Cipta Kerja baru dengan Nomor 6 Tahun 2023 nyata-nyata masih tetap memuat aturan yang merugikan kelas pekerja.
Baca juga: UU Cipta Kerja, antara Janji dan Realitas
Persoalan
Sedikitnya terdapat sembilan aturan yang dipersoalkan. Pertama, mengenai upah murah. Upah minimum tidak dirundingkan dengan organisasi buruh dan masih ada pedoman mengenai indeks tertentu yang membuat kenaikan upah menjadi lebih rendah.
Kedua, mengenai outsourcing (pekerja paruh waktu) seumur hidup untuk semua jenis pekerjaan. Outsourcing tak ubahnya kata lain dari perbudakan modern (modern slavery). Walaupun diatur mengenai pembatasan mana saja pekerjaan yang boleh outsourcing, dan mana yang tidak, pemerintah semestinya tidak memosisikan diri sebagai agen outsourcing.
Ketiga, isu yang juga krusial yaitu buruh dikontrak terus-menerus tanpa periode waktu, pesangon rendah, PHK dipermudah, dan istirahat panjang dua bulan dihapus. Keempat, hal yang tak kalah memilukan, UU Cipta Kerja mengatur bagi buruh perempuan yang mengambil cuti haid dan melahirkan, tidak ada kepastian mendapatkan upah.
Kelima, buruh yang bekerja lima hari dalam seminggu, hak cuti dua hari yang bersangkutan bisa dihapus. Keenam, beban jam kerja buruh ditambah menjadi 12 jam sehari karena diperbolehkan lembur selama 4 jam per hari sehingga tingkat kelelahan dan potensi kematian semakin tinggi. Ketujuh, tentang buruh kasar dari tenaga kerja asing. Mereka mudah untuk masuk dan dipekerjakan di Indonesia.
Kedelapan, ketertindasan atas UU Cipta Kerja tidak hanya dialami oleh buruh. Kelas pekerja lain, seperti petani, juga semakin terimpit. Bank Tanah yang lahir dari rahim UU Cipta Kerja mendegradasi Reforma Agraria, redistribusi tanah kepada petani, dan orang-orang yang bekerja di perdesaan.
Bank Tanah melalui hak pengelolaan yang tidak pernah diatur sebelumnya memudahkan korporasi untuk merampas tanah-tanah rakyat dengan dalil investasi, pembangunan infrastruktur, dan bahkan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Petani lalu dihantam aturan yang memperbolehkan impor pangan kapan pun, tanpa memedulikan produksi pangan petani dalam negeri dan di tengah musim panen raya.
Ketertindasan atas UU Cipta Kerja tidak hanya dialami oleh buruh. Kelas pekerja lain, seperti petani, juga semakin terimpit.
Kesembilan, kondisi yang sama dirasakan oleh nelayan. Sebelumnya, nelayan kecil menjadi prioritas dalam pemberdayaan. Demikian juga keleluasaan para nelayan kecil untuk mengakses sumber daya perikanan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, UU Cipta Kerja mengubahnya, dari izin-izin yang ada seperti Surat Izin Usaha Perikanan dan Surat Izin Penangkapan Ikan, UU Cipta Kerja menyederhanakannya menjadi satu izin, yaitu cukup izin berusaha.
Kemudian, untuk pengurusan perizinan diatur secara terpusat di Jakarta. Dengan wilayah Indonesia yang luas dan izin yang sama diberlakukan juga bagi nelayan kecil, maka akan terjadi petarungan yang tidak sehat antara korporasi perikanan dan nelayan kecil.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Hari Buruh Sedunia tahun 2024 ini tidak lebih baik dibandingkan ketika sejarah pertama kali May Day diperingati pada 1 Mei 1886. Kala itu para buruh di Heymarket, Chicago, Amerika Serikat, berunjuk rasa menuntut durasi kerja 8 jam per hari. Sebab, sebelumnya buruh dipekerjakan bisa mencapai 18 jam per hari. Tuntutan akhirnya dipenuhi dan menjadi gelombang gerakan yang lebih luas.
Menimbang situasi perburuhan nasional itu, sepintas penyebutan May Day bisa bergeser jadi ”Mayday”. Meski hanya dibedakan jarak di antara kedua kata, makna menjadi berbeda. Mayday merupakan tanda bahaya saat terjadi kedaruratan. Kata ini berasal dari bahasa Perancis, m'aidez, yang berarti ’bantu aku’.
Baca juga: Hari Buruh, Adakah Hari Majikan?
Jadi peringatan May Day tahun ini serupa dengan mayday. Mulai darurat hukum akibat UU Cipta Kerja, darurat ekonomi yang semakin timpang, darurat kesehatan dan pendidikan terkait jaminan sosial.
Sesungguhnya ada satu lagi kedaruratan yang sangat laten, yakni darurat moral. Praktik suap-menyuap sebagai syarat bekerja seolah lumrah dan telah menjadi rahasia umum. Namun, pemerintah seakan terus menutup mata untuk menyingkap kenyataan ini.
Fenomena sosial tersebut kian menunjukkan bahwa masalah perburuhan belum teratasi. Atas dasar itu berbagai kedarurutan yang masih berlangsung kemudian menyulut majas: ”May Day, Mayday this is Emergency!”
Angga Hermanda, Kepala Bidang Kajian dan Diklat Ikatan Keluarga Alumni Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa